Meski berlokasi di Gang Kecil, Sanggar Taman Suci tidak kenal lelah Menggaungkan Abadi Seni Tari Bali

Sanggar Taman Suci adalah bukti nyata bagaimana sebuah keluarga mampu menjaga seni Bali tetap hidup dari generasi ke generasi. Dari awal bernama Dharma Suci hingga kini, sanggar telah melewati tantangan, pandemi, hingga perubahan zaman. Uniknya, Taman Suci menjadi ruang inklusif di mana laki-laki maupun perempuan bisa belajar tari, tabuh, dan gender wayang. Dari sebuah gang kecil di Baturiti, sanggar ini membuktikan bahwa seni Bali tidak sekadar tradisi, melainkan nafas kehidupan yang diwariskan dengan cinta.

Dec 12, 2025 - 06:46
Dec 11, 2025 - 20:39
Meski berlokasi di Gang Kecil, Sanggar Taman Suci tidak kenal lelah Menggaungkan Abadi Seni Tari Bali
Sanggar Taman Suci (sumber: koleksi pribadi)

Di pusat Sanggar Taman Suci berdiri sosok Putu Gde Chaksu Raditya Uttama, yang akrab disapa Kak Tude. Lebih dari sekadar seorang pengajar, ia adalah penjaga budaya yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan dan merawat seni Bali. Bersama keluarganya, Kak Tude meneruskan warisan sanggar ini, memastikan Taman Suci bukan hanya tempat belajar, melainkan juga rumah bagi kreativitas dan tradisi.

Taman Suci bukan sekadar studio tari—ia adalah sebuah ruang seni multidisiplin. Di sini, anak-anak hingga remaja belajar tari Bali, tabuh (gamelan), dan gender wayang. Sanggar menekankan pentingnya menjaga repertoar tradisional, sekaligus menyesuaikan dengan kebutuhan modern seperti persiapan lomba. Dengan menyeimbangkan warisan dan inovasi, Taman Suci tumbuh sebagai pusat di mana seni dipertahankan sekaligus diciptakan kembali.

Area Latihan Sanggar Taman Suci (sumber: koleksi pribadi)

Perjalanan sanggar dimulai pada akhir 1980-an, ketika Kak Tude—saat itu masih berstatus pelajar di sekolah seni—mulai mengajar dengan nama Dharma Suci. Pada tahun 2008, keluarganya memulai babak baru dengan mendirikan Sanggar Taman Suci, sebuah titik balik penting dalam sejarah mereka. Perjalanan ini tentu tidak selalu mulus. Saat pandemi COVID-19 melanda, Taman Suci harus menghentikan kelas tabuh karena keterbatasan sumber daya manusia. Beberapa murid pun berpindah ke sanggar lain. Namun, Taman Suci tetap bertahan dengan terus membuka kelas tari dan gender wayang, meskipun dengan jumlah peserta yang lebih sedikit.

Meski berlokasi di sebuah gang kecil di Baturiti, Sanggar Taman Suci memiliki pengaruh yang jauh melampaui ruang sederhana itu. Sanggar ini dikelola oleh tiga pengajar inti dari keluarga, dengan Kak Tude sebagai sosok sentral. Sistem pengajarannya terbagi dua: kelas reguler untuk latihan dasar, dan kelas privat untuk siswa yang fokus pada persiapan lomba. Pola ini memastikan bahwa baik pembelajar kasual maupun calon juara dapat menemukan tempatnya di sini.Terlepas dari tantangan—mulai dari keterbatasan sumber daya hingga gangguan akibat pandemi—Taman Suci terus bertahan berkat komitmen keluarga, semangat kebersamaan, dan dedikasi tanpa henti dari Kak Tude.

Murid-murid Sanggar Taman Suci (sumber: koleksi pribadi)

Ada satu hal yang cukup menarik: kelas gender wayang di Taman Suci kini justru didominasi murid perempuan. Hal ini jarang terjadi di masa lalu karena gender wayang identik dimainkan laki-laki. Fenomena ini menjadi tanda perubahan mindset generasi muda Bali, bahwa seni tabuh dan tari tidak lagi terikat pada batasan gender. “Sekarang siapa saja boleh belajar, mau perempuan atau laki-laki, semua sama,” begitu penuturan pengelola.

Di sisi lain, dunia tari di sanggar ini juga mengalami perubahan tren. Jika dulu murid belajar banyak tarian agar menguasai repertoar luas, kini sebagian besar fokus pada kompetisi. Dari sinilah lahir dua sistem: kelas reguler untuk pengenalan dasar, dan kelas privat khusus persiapan lomba. Lewat kelas privat, murid-murid didampingi lebih intens agar siap menghadapi panggung kompetisi. Dari sinilah lahir penari-penari muda yang menjadi ikon sanggar, sering meraih juara di berbagai lomba tingkat daerah hingga provinsi.

Bagi pengelola, setiap kemenangan murid adalah kebanggaan tersendiri. Namun lebih dari sekadar piala, yang paling penting adalah semangat anak-anak untuk terus belajar dan mencintai seni Bali. “Kalau dulu lomba hanya sesekali, sekarang hampir setiap tahun ada saja murid yang ikut lomba. Itu menandakan semangat mereka makin besar,” ungkapnya.

Kini, Sanggar Taman Suci dijalankan oleh tiga pengajar inti, semuanya masih keluarga. Meskipun sesekali mengundang teman atau kerabat sebagai pengganti, peran inti tetap dipegang sendiri. Hal ini menjaga nuansa kekeluargaan yang sejak awal menjadi identitas sanggar. Jadwal latihan pun padat, terutama hari Minggu, di mana hampir semua kelas—tari, tabuh, dan gender—berlangsung penuh sejak pagi hingga siang.

Dengan perjalanan lebih dari tiga dekade, Sanggar Taman Suci bukan sekadar tempat belajar tari atau tabuh. Ia adalah ruang pewarisan, di mana seni Bali dijaga agar tetap hidup, meski harus melalui tantangan zaman, keterbatasan, hingga pandemi. Dari sebuah gang kecil, suara gamelan dan hentakan kaki penari terus bergema, membawa pesan sederhana namun mendalam: seni Bali tidak pernah padam, selama ada generasi yang setia melanjutkannya.