Puncak Karya Agung: Ngenteg Linggih dan Dimensi Spiritualitasnya
Pada tanggal 5 Oktober 2024, bertepatan dengan perayaan Hari Kuningan, masyarakat Desa Mengwitani menggelar upacara Ngenteg Linggih di Pura Desa Puseh, menandai sebuah peristiwa budaya yang langka dan sarat makna yang menguatkan warisan dan identitas mereka. Upacara ini menjadi simbol harapan dan kebangkitan, mencerminkan cinta komunitas terhadap bumi pertiwi di tengah tantangan modern. Rangkaian ritual dimulai sejak pagi dan mencapai puncaknya dengan upacara Ngenteg Linggih sekitar pukul 09.00, dipandu oleh tiga pemimpin spiritual, yang menekankan hubungan antara alam spiritual dan fisik. Aspek kunci dari upacara ini termasuk penyucian alam dan harmonisasi unsur-unsur untuk mencapai kesucian spiritual, yang berpuncak pada upacara Mapeselang yang esensial, melambangkan penciptaan dan berkah kemakmuran. Proses berikutnya, yaitu Mapapasaran dan Mapedanan, dilakukan sebagai ungkapan syukur dan pemberian berkah bagi masyarakat.
Pada tanggal 5 Oktober 2024, bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, Krama Desa Adat Mengwitani merayakan puncak Karya Agung Ngenteg Linggih di Pura Desa Puseh, sebuah peristiwa yang langka dan sarat makna. Dalam suasana penuh khidmat dan keagungan, masyarakat Mengwitani bersatu merayakan warisan budaya yang tak ternilai, sekaligus meneguhkan identitas dan tradisi yang telah diwariskan dari nenek moyang. Karya Agung ini menjadi simbol harapan dan kebangkitan, menggugah rasa cinta terhadap bumi pertiwi dan yang semakin berharga di tengah tantangan arus zaman modern.
Momen karya ini bagaikan jendela menuju masa lalu, di mana generasi sekarang tampak tidak mengetahui kapan ngenteg linggih terakhir kali dilaksanakan, atau mungkin memang tidak pernah terlaksana sebelumnya di pura ini. Berdasarkan informasi di lapangan, sekitar tahun 1978, upacara yang dijalankan di desa ini adalah Ngusaba Desa/Ngusaba Nini, bukan Ngenteg Linggih.
Rangkaian upacara Ngenteg Linggih di Pura Desa Puseh Mengwitani dimulai dengan pada pukul 05.00 pagi, diawali dengan prosesi Ida Bhatara lunga Beji pesucian. Prosesi ini berlangsung kurang lebih selama 2,5 jam hingga Ida Bhatara kembali melinggih. Acara dilanjutkan dengan ngias Ida Bhatara, diikuti oleh ngaturan pendet pesalin, serta prosesi Ida Bhatara murwa daksina yang dilakukan sebanyak 9 kali mengelilingi pura. Di antara prosesi tersebut, juga berlangsung ritual Tegak Gede. Setelah selesai semua prosesi itu barulah kemudian ke acara pokok, yaitu Ngenteg Linggih.
Upacara Ngenteg Linggih dimulai sekitar pukul 09, dipimpin oleh 3 Sulinggih, yaitu: Ida Pedanda Gede Ngurah Putra Keniten dari Griya Kediri Sangeh, Ida Pedanda Gede Jelantik Puta Cawu Manuaba dari Griya Gede Manuaba Cawu Blayu, dan Ida Pedanda Gede Jelantik Giri Santa Citta dari Griya Tegal Jadi.
Sulinggih yang memimpin Ngenteg Linggih
Ngenteg Linggih merupakan upacara yadnya untuk menjadikan bumi sebagai tempat berstananya Ida Sanghyang Widhi. Ini merupakan konsep dari Niskala menuju Sekala, mewujudkan Tuhan yang tidak nyata menjadi nyata, mewujudkan Tuhan yang abstrak menjadi konkret. Kita menjemput kehadiran Ida Sanghyang Widhi untuk berstana di alam sekala (Bumi). Dalam konteks yang lebih kecil, alam sekala ini sering kita sebut sebagai pura, kahyangan, atau tempat suci lainnya. Jadi makna Ngenteg linggih adalah mengukuhkan kembali Ida Sanghyang Widhi dalam ManifestasiNya sebagai Ista Dewata untuk berstana kembali di pura tempat kita melangsungkan upacara.
Untuk menstanakan Ida Sanghyang Widhi di Bumi maka alam sekala dan niskala harus berada dalam satu kesatuan. Untuk itulah dalam rangkaian Ngenteg Linggih dilangsungkan upacara Mapadudusan Agung, yaitu suatu prosesi upacara penyucian alam sekala (bumi) sehingga terwujud kesatuan alam semesta, kesatuan alam sekala dan niskala. Hanya dalam keadaan suci, manusia dapat lebih mendekat dengan sumber kesucian itu sendiri, yaitu Ida Sanghyang Widhi.
Untuk dapat mewujudkan kesucian bumi, maka tahap awal yang harus dilakukan adalah membawa semua unsur Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa berada dalam keadaan seimbang. Segala energi negatif dinetralkan. Untuk itulah diselenggarakan upacara Bhuta Yadnya Tawur Balik Sumpah. Melalui upacara tawur balik sumpah ini, segala isi alam (sarwa prani) dimuliakan sehingga terwujud keseimbangan atau harmoni di bumi. Keseimbangan atau harmoni inilah merupakan syarat utama terwujudnya kesucian di bumi. Upacara tawur ini telah dilaksanakan sebelumnya, yaitu tanggal 2 Oktober 2024 bertepatan dengan Tilem sasih Katiga.
Ida Pedanda Istri Parwati Kemenuh menjalankan Prosesi Senjata Nawa Sanga
Ida Pedanda Putra Pasuruan membacakan tuturan dialog Mapajejiwan bersama Ida Pedanda Istri Parwati Kemenuh
Puncak dari prosesi Ngenteg Linggih adalah upacara Mapeselang. Upacara ini memiliki esensi yang sangat tinggi dan dianggap sebagai inti dari keseluruhan prosesi, yang diyakini menjadi penentu keberhasilan upacara. Dalam Mapeselang, Ida Bhatara turun dari stananya menuju Sanggar Paselang. Di sanggar ini, Ida Bhatara berwujud Sanghyang Semara Jaya dan Semara Ratih. Secara filosofis, ini dimaknai sebagai proses penciptaan, di mana Beliau memberikan hidup dan kehidupan untuk kemakmuran di dunia. Makna penciptaan tersebut tersirat dalam tuturan dialog Mapajejiwan yang dibacakan oleh Ida Pedanda Putra Pasuruan selaku Yajamana Karya dari Griya Gede Taman Lukluk dan Tapeni, Ida Pedanda istri Parwati Kemenuh dari Griya Gede Keramas Kemenuh. Melengkapi Mapajejiwan, terdapat prosesi Ngindang yang dipimpin oleh Ida Pedanda Istri Made Oka Pasuruan dari Griya Oka Pasuruan. Ngindang secara jelas tersirat dalam naskah Mapajejiwan dan dimaknai secara simbolis sebagai perputaran dunia serta pembentukan segala unsurnya.
Prosesi Mapapasaran
Prosesi Mapedanan
Ida Pedanda Gede Ketut Putra Timbul memimpin prosesi Mapapasaran
Ida Peranda Gede Isana manuaba memimpin prosesi Mapedanan
Mapaselang dapat dikatakan sebagai akhir dari prosesi Ngenteg Linggih. Namun, dalam Karya Agung terdapat dua prosesi tambahan, yaitu Mapapasaran dan Mapedanan. Di tempat lain, kedua prosesi ini juga sering dilakukan setelah upacara Tawur, bukan setelah Ngenteg Linggih. Mapapasaran dimaknai sebagai menjual peralatan atau sarana untuk pembuatan bahan-bahan Yadnya, sementara Mapedanan sebagai simbol Ida Bhatara memberkati manusia yang didalamnya terdapat prosesi pemberian (sedekah) kepada manusia baik berupa dana maupun barang. Prosesi Mapapasaran dipimpin oleh Ida Pedanda Gede Ketut Putra Timbul dari Griya Kawi Purna Timbul, sementara prosesi Mapadanan dipimpin oleh ida Peranda Gede Isana manuaba dari Griya Lebah Manuaba Kedampal.