Batukaru: Di Mana Alam Menyimpan Keheningan Bali yang Abadi

Di jantung hijau Pulau Bali, di mana kabut menggantung seolah menahan waktu, berdirilah Gunung Batukaru — penjaga senyap yang menatap lautan dari kejauhan. Tak ada riuh tawa wisatawan, tak ada gemerlap lampu malam, hanya hutan yang bernafas pelan, seperti sedang berdoa. Di sinilah, Bali tidak lagi menjadi tujuan, melainkan perenungan.

Nov 7, 2025 - 04:05
Nov 6, 2025 - 22:05
Batukaru: Di Mana Alam Menyimpan Keheningan Bali yang Abadi
Saya dengan Plakat dan Spot Ikonik Batukaru (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Gunung ini bukan sekadar tanah yang menjulang, tetapi altar alam tempat hening menjadi bahasa dan langkah kaki menjadi doa. Di lerengnya, pohon-pohon tropis tumbuh rapat, diselimuti lumut tebal dan kabut abadi. Setiap embun yang jatuh di batang kayu adalah air suci yang menuruni altar para dewa.
Di sisi selatan, berdiri Pura Luhur Batukaru, pura agung yang dipersembahkan untuk Dewa Mahadewa, sang penjaga arah barat Bali pusat spiritual yang membuat gunung ini lebih menyerupai tempat sujud daripada tempat wisata.

Sunrise dengan view Gunung Agung dari puncak Batukaru (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Menapaki Batukaru adalah menapaki kesunyian. Jalannya lembab, udara dingin, dan suara dunia perlahan menghilang di antara desau daun. Kabut datang tanpa suara, menutup pandangan seolah memaksa setiap pendaki menunduk hormat. Di tengah perjalanan, sering kali muncul seekor anjing putih penjaga jalur yang seolah tahu siapa datang dengan hati yang bersih. Ia berjalan mendahului, menjadi penuntun tanpa kata, penjaga yang tak diminta namun selalu setia.

Semakin tinggi menapak, semakin dalam jiwa ditarik ke dalam sunyi. Udara menjadi doa, langkah menjadi meditasi. Di puncak ketinggian dua ribu meter lebih, lautan awan terbentang di bawah kaki, menelan lembah dan hutan dalam putih yang lembut. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkannya karena di sini, pemandangan bukan sekadar keindahan, tetapi kehadiran.

Danau Tamblingan dari puncak Batukaru (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Gunung Batukaru bukan milik manusia, ia milik doa. Bagi masyarakat Bali, gunung ini adalah roh penjaga, satu dari sembilan poros spiritual dalam nawa sanga yang menjaga keseimbangan Pulau Dewata.

Setiap dupa yang menyala di desa-desa sekitar adalah sapaan lembut untuk sang penjaga hening. Tak ada patung besar atau prasasti kemegahan di puncaknya, hanya kesederhanaan yang mengajarkan makna suci dari diam.

Pura Puncak Batukaru (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Namun di balik kesuciannya, Batukaru menyimpan kesepian yang indah. Tak banyak wisatawan yang mengenalnya; mungkin karena ia tidak menjanjikan gemerlap atau spot selfie yang viral. Tetapi bagi mereka yang datang bukan untuk mencari gambar, melainkan ketenangan, Batukaru membuka dirinya dengan lembut, seperti seorang pendeta yang hanya berbicara kepada hati yang siap mendengarkan.

Pura Luhur Batukaru (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Turun dari gunung ini bukan berarti meninggalkan Batukaru. Kabut memang sirna, tapi sunyi yang ia tanam di dada tetap tinggal. Gunung ini tidak memanggil banyak orang hanya mereka yang haus akan makna, bukan sekadar panorama.

Dan mungkin, di sinilah letak Bali yang sesungguhnya: bukan pada pesta dan riuh pasar seni, melainkan pada keheningan yang hidup di jantung Batukaru, di mana alam masih berbisik dalam bahasa para dewa.