Pura Gunung Lebah di Jantung Desa Ubud

Sejarah dan keunikan Pura Gunung Lebah di Desa Ubud adalah bagian penting dari warisan budaya Bali yang kaya. Pura ini tidak hanya merupakan tempat ibadah, tetapi juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin memahami lebih dalam kebudayaan dan sejarah pulau ini.

Sep 8, 2023 - 08:32
Sep 8, 2023 - 19:01
Pura Gunung Lebah di Jantung Desa Ubud

Pura Gunung Lebah (Sumber Photo: Youtube.com/Pujangga Nagari Nusantara)

Bali, sebuah pulau yang kaya akan budaya dan tradisi Hindu, menjadi rumah bagi banyak pura yang menakjubkan. Pura di Bali digunakan umat beragama Hindu untuk menyembah bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Terdapat empat jenis pura yang terkenal, antara lain Pura Kawitan, yang digunakan sebagai tempat ibadah oleh individu yang memiliki ikatan keluarga atau kasta yang sama, Pura Kahyangan Desa, yang digunakan oleh penduduk desa pakraman atau desa adat tertentu, Pura Swagina, yang digunakan sebagai tempat ibadah bagi mereka yang memiliki kesamaan dalam profesi mereka, dan Pura Kahyangan Jagat, yang digunakan sebagai tempat ibadah umum yang tidak membedakan asal keluarga, asal desa, atau profesi seseorang.

 

Selain Pura Kahyangan Tiga yang merupakan parahyangan pokok dari sebuah desa adat. Di Desa Pakraman Ubud sendiri memiliki pura penyungsungan adat yang lain, seperti Pura Gunung Lebah. Pura Gunung Lebah memiliki sejarah dan keunikan tersendiri. Pura ini bukan hanya sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu Bali, tetapi juga menjadi salah satu destinasi wisata yang menarik para pengunjung yang ingin menggali kekayaan sejarah dan keindahan alam pulau ini.

 

Pura Gunung Lebah awalnya didirikan oleh Rsi Markandeya, seorang pendeta suci asal India pada abad ke-8. Dalam Lontar Markandeya Purana, beliau adalah tokoh agama Hindu yang sangat dihormati dan juga dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan agama Hindu di Bali. Dalam perjalanannya Rsi Markandeya juga mendirikan Pura Besakih dan membuka perkampungan Taro sebagai tempat kedatangan para migran dari Jawa.

 

Ketika Rsi Markandeya melakukan perjalanannya di tanah Bali, sampailah beliau di lereng atau bukit kecil yang memanjang dari utara ke selatan. Di sebelah barat dan timur bukit itu mengalir dua sungai yang jernih, yang kemudian bukit ini diberi nama Gunung Lebah, sedangkan kedua sungai yang mengitari bukit itu disebut Tukad Yeh Wos Kiwa dan Tukad Yeh Wos Tengen. Kedua sungai ini bertemu di selatan Gunung Lebah, yang kemudian pertemuan air sungai tersebut disebut Campuhan atau Pecampuhan. Sebutan "Uos" atau "Wos" untuk kedua sungai tersebut menjadi nama yang sesuai dengan maknanya untuk pemukiman di masa itu, dimana lembah ini dulunya tumbuh banyak tanaman obat. Sesuai dengan isi lontar Markandeya Purana, "Wos atau Uos ngaran Usadi, Usadi ngaran Usada, dan Usada ngaran Ubad". Dari kata "Ubad" inilah kemudian ditranskripsikan menjadi "Ubud", yang menjadi nama desa yang kita kenal saat ini.

Sesuhunan di Pura Gunung Lebah (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

 

Keyakinannya akan kekuatan magis di kawasan tersebut menjadi dasar pendirian Pura Gunung Lebah. Di Pura Gunung Lebah, Dewi Danu di Gunung Batur dipuja sebagai manifestasi Tuhan. Menurut beberapa prasasti, Gunung Batur sendiri berasal dari salah satu puncak Gunung Semeru di Jawa Timur. Nama Pura Gunung Lebah sendiri berasal dari kata "Gunung" yang berarti bukit dan "Lebah" yang berarti lembah. Artinya, pura ini terletak di bukit kecil yang berada di lembah sungai Campuhan. Sampai hari ini, masyarakat setempat sangat yakin akan kesakralan dan kekuatan magis yang ada di tempat ini, dan seringkali menggunakannya sebagai tempat meditasi untuk mencari kedamaian batin. Awalnya, Rsi Markandhya menggunakan lokasi ini sebagai tempat meditasi untuk mencapai kesatuan spiritual dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan harapan mendapatkan pembebasan diri dan kedamaian dalam dirinya. Karena kehadiran kekuatan magis di lembah Campuhan ini, maka Pura Gunung Lebah didirikan di sana.

 

Struktur Pura Gunung Lebah ini terdiri dari tiga halaman. Halaman pertama disebut Nista Mandala atau sering disebut Jaba Sisi. Mandala kedua disebut Madya Mandala atau sering disebut Jaba Tengah. Bagian ini memisahkan antara nista mandala dengan utama mandala. Mandala ketiga disebut Utama Mandala atau sering disebut Jeroan. Bagian ini merupakan area yang paling suci.

 

Pura Gunung Lebah memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari pura-pura lain di Bali. Salah satu hal yang mencolok adalah lokasinya yang berada di lembah sungai, sementara sebagian besar pura di Bali biasanya berada di tempat yang lebih tinggi, mencerminkan gunung sebagai simbol kesucian dan kesuburan. Meskipun berada di lembah sungai, orientasi pura ini tetap mengarah ke Gunung Batur, menciptakan suasana spiritual yang khas.

 

Selain itu terdapat cerita-cerita lisan dari masyarakat setempat juga mengisahkan tentang dua raksasa, seorang wanita dan seorang pria, yang tinggal di sebuah goa di sekitar Tukad Yeh Wos Kiwa. Mereka sering memakan manusia yang berpartisipasi dalam upacara di Pura Gunung Lebah. Kedua raksasa ini akhirnya mati, satu diantaranya karena ditusuk oleh seorang petani dari Penestanan, dan yang lainnya karena goanya dibakar oleh masyarakat setempat. Peninggalan-peninggalan dari raksasa tersebut masih dapat ditemukan di sekitar kawasan Pura Gunung Lebah, seperti goa, lesung raksasa, pasar raksasa, dan kuburan raksasa.

Upacara di Pura Gunung Lebah (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

 

Sejarah dan keunikan Pura Gunung Lebah di Desa Ubud adalah bagian penting dari warisan budaya Bali yang kaya. Pura ini tidak hanya merupakan tempat ibadah, tetapi juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan yang ingin memahami lebih dalam kebudayaan dan sejarah pulau ini. Dengan perpaduan antara alam yang indah dan nilai-nilai spiritual yang mendalam, Pura Gunung Lebah adalah salah satu destinasi yang harus dikunjungi bagi siapa pun yang berlibur ke Bali.