Pura Taman Beji Sibang Gede: Panglukatan Tirta Amerta di Goa Mata Air yang Hening
Pura Taman Beji Sibang Gede di Desa Sibang Gede, Badung, adalah pura beji dengan mata air suci. Keberadaannya mencerminkan harmoni Tri Hita Karana, yakni hubungan manusia, alam, dan Tuhan, yang terus dijaga oleh masyarakat setempat.

Bali tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata dunia dengan panorama alam dan budaya yang memikat, tetapi juga sebagai pulau spiritual dengan sebutan Pulau Seribu Pura. Hampir di setiap desa terdapat pura yang menjadi pusat kegiatan keagamaan sekaligus simbol ikatan masyarakat Hindu Bali dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Salah satu pura yang memiliki keunikan tersendiri adalah Pura Taman Beji Sibang Gede, yang berada di Desa Sibang Gede, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Pura ini tidak hanya difungsikan sebagai tempat pemujaan, tetapi juga terkenal sebagai lokasi melukat atau penyucian diri dengan air suci.
Goa di Pura Taman Beji Sibang Gede (Sumber: Koleksi Pribadi)
Keunikan utama Pura Taman Beji Sibang Gede terletak pada sumber mata air yang ada pada goa di dalamnya. Air tersebut dipercaya memiliki kekuatan sakral untuk membersihkan kotoran sekala (lahir/fisik) maupun niskala (batin/spiritual). Karena itu, umat Hindu yang datang ke pura ini tidak hanya melakukan persembahyangan, tetapi juga menjalani prosesi melukat. Ada kepercayaan bahwa tetesan air suci dari Pura Taman Beji mampu meredakan beban hidup, menenangkan pikiran, dan membawa keseimbangan jiwa.
Pura ini dikelola oleh krama desa yang secara turun-temurun menjadi pengempon pura. Masyarakat desa memiliki tanggung jawab penuh menjaga kesucian pura, membersihkan area sekitarnya, dan melaksanakan berbagai upacara. Setiap perayaan keagamaan di pura ini selalu melibatkan kebersamaan warga desa, sehingga pura tidak hanya menjadi tempat suci, tetapi juga pusat persatuan sosial.
Kolam di Pura Taman Beji Sibang Gede (Sumber: Koleksi Pribadi)
Lokasi pura ini cukup strategis, hanya berjarak sekitar 30 menit perjalanan dari Kota Denpasar. Lingkungan sekitarnya masih alami dan dikelilingi pepohonan rindang. Suasana pedesaan yang sejuk membuat pura terasa semakin sakral. Kombinasi antara kesucian pura dan keindahan alam menjadikan Pura Taman Beji sebagai tempat ideal untuk menenangkan diri sekaligus menyatu dengan alam. Ini merupakan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan dikenal dengan konsep Tri Hita Karana. Pura Taman Beji merupakan wujud nyata dari konsep ini, karena keberadaannya menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan lingkungan.
Kegiatan keagamaan di Pura Taman Beji Sibang Gede berlangsung sepanjang tahun. Pura ini ramai pada hari-hari suci umat Hindu, seperti purnama (bulan penuh) dan tilem (bulan mati). Pada saat itu, umat berbondong-bondong datang dengan membawa sesajen dan doa. Selain itu, pura ini juga menjadi lokasi pelaksanaan upacara odalan atau piodalan, yaitu perayaan hari jadi pura yang digelar setiap enam bulan sekali menurut kalender Bali. Perayaan ini biasanya berlangsung meriah dengan prosesi keagamaan, tarian sakral, dan berbagai tradisi adat. Meski begitu, pura tetap terbuka setiap hari bagi siapa saja yang ingin melakukan sembahyang atau melukat. Banyak umat memilih datang pada waktu tertentu, misalnya sebelum menikah, setelah mengalami musibah, atau ketika ingin memulai babak baru dalam hidup.
Tempat Persembahyangan di Pura Taman Beji Sibang Gede (Sumber: Koleksi Pribadi)
Keberadaan Pura Taman Beji Sibang Gede sangat penting, baik dari sisi religius maupun budaya. Dari segi religius, pura ini menyimpan mata air suci yang diyakini sebagai anugerah langsung dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Air tersebut tidak hanya dipakai dalam prosesi melukat, tetapi juga dalam berbagai ritual keagamaan lainnya sebagai tirta atau air suci. Dari sisi budaya, pura ini menjadi simbol identitas desa Sibang Gede. Masyarakat desa merasa memiliki kewajiban moral dan spiritual untuk menjaga kelestariannya, sehingga pura menjadi pusat kebersamaan.
Prosesi di Pura Taman Beji Sibang Gede diawali dengan matur piuning, yaitu memohon izin kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar prosesi berjalan lancar. Setelah itu, umat melakukan persembahyangan di pelinggih utama dengan membawa canang sari atau sesajen sederhana. Usai bersembahyang, prosesi dilanjutkan dengan melukat. Pemangku pura atau tokoh adat biasanya memimpin jalannya upacara. Air suci dari mata air akan dituangkan ke tubuh, wajah, dan kepala umat sebagai simbol pembersihan lahir batin. Selama prosesi, umat memanjatkan doa agar terlepas dari pengaruh negatif dan memperoleh kesehatan, kedamaian, serta semangat baru dalam menjalani kehidupan.