Pura Taman Sari, Desa Pupuan: Tempat Memohon Rezeki, Kesembuhan, dan Keturunan
Desa Pupuan di Bali adalah desa tua dengan sejarah dan tradisi yang kaya, terbukti dari Prasasti Bahtiran dan ritual sakral seperti Tari Rejang Ayunan. Di desa ini terdapat Pura Taman, pura suci dengan lontar kuno dan batu keramat, tempat warga berdoa memohon keturunan, kesembuhan, atau keberhasilan. Pura ini terus berkembang, namun kesakralannya tetap dijaga.
Desa Pupuan adalah salah satu desa tua di Bali yang memiliki bukti sejarah berupa Prasasti Bahtiran, yang menunjukkan jejak sejarah panjang dan pentingnya desa ini dalam peradaban Bali. Karena termasuk desa tua, Pupuan kaya akan tradisi dan ritual yang hingga kini masih terjaga keasliannya, mencerminkan warisan budaya yang mendalam. Berbagai tradisi sakral yang diwariskan turun-temurun masih dilestarikan di desa ini, seperti Tari Rejang Ayunan, Tari Balawadwa, dan Rejang Pulu. Tarian-tarian ini bukan sekadar hiburan, melainkan ritual sakral yang menjadi bagian dari upacara keagamaan dan dipercaya memiliki makna spiritual yang kuat.
Selain itu, Desa Pupuan memiliki beberapa pura yang dianggap sangat suci dan menjadi pusat pemujaan serta kegiatan spiritual masyarakat. Beberapa pura yang terkenal di antaranya adalah Pura Griya Sari Udaya Raya dan Pura Taman, yang keduanya memiliki sejarah dan makna mendalam bagi warga desa.
Pura Taman Sari, Desa Pupuan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pura Taman memiliki keterkaitan erat dengan keberadaan dan sejarah Desa Adat Pupuan. Dahulu, Desa Adat Pupuan berada di sekitar wilayah Sege, sebuah pemukiman yang terdiri dari sekelompok warga. Di sebelah timur desa ini, berdiri sebuah pura yang sejak awal dikenal dengan nama Pura Taman. Pada awalnya, pura ini hanya berupa bebaturan, yakni susunan batu, dan dijaga oleh empat kepala keluarga (KK) yang bertanggung jawab atas keberadaannya. Seiring waktu, saat penduduk Pupuan Sege berpindah ke wilayah selatan, Pura Taman tetap terpelihara dan dikelola oleh empat KK tersebut. Namun, karena penduduk mendirikan Tri Kahyangan, Pura Taman kini tampak terpencil dari Desa Pupuan, letaknya berada di tengah hutan dan sawah.
Puseh dan Gedong (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pura Taman memiliki prasasti berupa lontar yang disimpan di rumah Taksu Jro Mangku. Lontar ini disucikan pada hari Saraswati dan purnama sasih kedasa, dan hanya dibaca oleh orang-orang tertentu yang terlibat dalam pemujaan di pura tersebut. Meskipun pernah dibaca oleh pihak arkeologi, hasil yang diharapkan belum berhasil diperoleh. Pembacaan lontar ini bertujuan untuk mengetahui kapan Pura Taman didirikan serta siapa yang dipuja di sana. Terdapat pula kepercayaan bahwa sebuah batu di pura ini merupakan tempat di mana sosok suci tersebut mencapai moksa pada tengah malam saat bulan purnama sasih kedasa. Oleh karena itu, puncak upacara piodalan pura ini dilaksanakan pada purnama sasih kedasa.
Seiring berjalannya waktu, banyak hal supranatural yang terjadi di Pura Taman. Orang-orang yang datang ke pura ini sering memanjatkan permohonan dengan janji untuk ikut menjaga pura jika permohonan mereka dikabulkan. Beberapa jenis permohonan yang umum diajukan antara lain meminta keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan. Dalam ritual ini, prasasti di pura diturunkan dan dicelupkan ke dalam air tirta. Dengan cara yang diyakini sakral, mereka yang memohon anak kerap dikabulkan keinginannya.
Piasan Pura Taman SariĀ (Sumber: Koleksi Pribadi)
Selain permohonan keturunan, ada juga permohonan kesembuhan bagi orang yang sakit, kebingungan, atau mengalami gangguan berbicara. Setelah dilukat (disucikan) di tiga tempat sekitar pura, banyak dari mereka yang kembali sehat. Tidak hanya itu, mereka yang hendak melamar pekerjaan juga sering datang untuk memohon restu, dan sebagian besar dari mereka berhasil dalam karirnya.
Awalnya, Pura Taman hanya dijaga oleh empat KK, namun seiring berjalannya waktu, jumlah pengempon atau pemelihara pura meningkat hingga mencapai 102 KK. Mayoritas berasal dari Desa Pupuan, tetapi banyak pula yang datang dari luar, seperti Buleleng, Tabanan, dan bahkan Denpasar.
Pohon Pakuaji (Sumber: Koleksi Pribadi)
Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya jumlah pengempon, Pura Taman mengalami berbagai perubahan dan pengembangan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan spiritual umat. Jika pada awalnya pura ini hanya berupa bebaturan, yaitu susunan batu sederhana yang berfungsi sebagai tempat pemujaan, kini Pura Taman telah memiliki berbagai pelinggih sebagai bentuk penghormatan yang lebih lengkap dan layak bagi Ida Betara yang berstana di pura tersebut. Perubahan ini bukan sekadar penambahan fisik, tetapi juga bentuk upaya menjaga kesakralan serta relevansi Pura Taman bagi para pengempon dan masyarakat yang memujanya.
Awalnya, pemujaan di Pura Taman dilakukan di bawah pohon pakuaji yang sangat besar dan dianggap keramat. Pohon tersebut, yang diperkirakan sudah ada sejak zaman dahulu, menjadi simbol perwujudan alam yang sakral dan diyakini menjadi tempat berstana Ida Betara. Namun, seiring waktu, pohon ini memerlukan penyesuaian karena sifat alaminya yang rentan dengan usia. Untuk menjaga kekhusyukan dan ketertiban pemujaan, dibangunlah berbagai pelinggih sebagai tempat persemayaman dewa dan simbol-simbol suci lain. Salah satu pelinggih utama yang kini ada di Pura Taman adalah Pelinggih Puseh, yang didirikan sebagai wujud penghormatan bagi dewa pelindung desa.
Pelinggih Pesiraman, Pelinggih Ratu Mas Meketel (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pura Taman memiliki beberapa elemen sakral, di antaranya air pancuran untuk melukat (penyucian) pertama, beji untuk pengelukatan kedua, dan natar pura untuk pengelukatan ketiga. Terdapat aturan ketat, seperti larangan membawa daging babi ke dalam jeroan (utama mandala). Prasasti hanya boleh disentuh oleh orang tertentu, dan genta atau bajra hanya boleh dibunyikan saat pengambilan tirta.
Pura Taman juga kerap diiringi suara gong yang bergema dengan nyaring, menambah kesakralan tempat ini. Demikianlah sejarah singkat Pura Taman yang hingga kini masih menjadi bagian penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Desa Pupuan.