Raja Airlangga: Bangkit dari Kubur untuk Memerintah Jawa

Perjalanan Prabu Airlangga, dari seorang pangeran pengungsi menjadi penguasa pulau Jawa. Setelah menyaksikan kehancuran kerajaannya dan melarikan diri ke hutan, Airlangga bangkit dan memulihkan kejayaan Medang, menaklukkan musuh-musuhnya, dan membangun ibu kota baru. Legenda ini menggambarkan Airlangga sebagai simbol kebijaksanaan dan ketangguhan, meninggalkan warisan abadi dalam sejarah Nusantara.

Jan 24, 2025 - 00:11
Nov 11, 2024 - 20:16
Raja Airlangga: Bangkit dari Kubur untuk Memerintah Jawa
Prabu Airlangga dan Para Pengikutnya (Sumber: Koleksi Pribadi)

Prabu atau Raja Airlangga lahir pada tahun 990, dari Ayah yang merupakan seorang raja kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa yang bernama Udayana, dan Ibu yang bernama Mahendradatta, seorang putri kerajaan Medang dari Wangsa Isyana. Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Tegu. Pada saat acara pernikahannya, kota Wwatan diserbu oleh Raja Wurawari. Peristiwa mengakibatkan Ayah Airlangga dan seluruh keluarga raja tewas, Istana Wwatan terbakar, dan Airlangga melarikan diri ke hutan pegunungan Wonogiri ditemani oleh pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Sejak kejadian ini, ia memulai perjalanan hidupnya sebagai pertapa, pada saat usianya masih 26 tahun. Pada tahun 1019, beberapa rakyat dan senopati yang masih setia mendatangi Airlangga untuk menyampaikan permintaan mereka agar Airlangga membangun kembali sisa-sisa kejayaan Medang. Akhirnya, atas dorongan dari para pendeta, ia kemudian membankitkan kembali kerjaan Medang yang istanya sudah hancur.

Rakyat dan Pasukan Airlangga Berbaris menuju Ibu Kota Baru (Sumber: Koleksi Pribadi)

Rakyat dan Pasukan Airlangga Berbaris menuju Ibu Kota Baru (Sumber: Koleksi Pribadi)

Airlangga membangun ibu kota baru yang dinamai Watan Mas di lereng Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik tahta, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Mojokerto, Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal raja Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1025, Rajendra Coladewa raja dari Colamendala Kerajaan Chola, India mengalahkan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra yang merupakan musuh besar dari wangsa Isyana. Airlangga mengambil kesempatan ini untuk mempersiapkan diri menaklukkan Pulau Jawa. Antara tahun 1029 sampai 1037, Airlangga menaklukkan musuh-musuhnya yang ada pada wilayah timur, selatan, maupun barat. Dengan melemahnya musuh-musuh Airlangga akibat serangan kerajaan Chola, ia mulai memperluas kekuasaan dan pengaruhnya.

Airlangga menyusun sebuah strategi untuk mengembalikkan kekuasaan wangsa Isyana atas Pulau Jawa. Pertama-tama ia mengalahkan Raja Hasin dari Selatan Wenker. Lalu pada tahun 1029, Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, putra dari raja bawahan lain yang ikut menyerang Dharmawangsa Teguh sebelumnya, selanjutnya ia mengalahkan Wijayawarmma raja Wengker, dan kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda, raja Lewa, mencoba membalas dendam namun dikalahkan oleh Airlangga, Airlangga pun juga dihancurkan Ibu kota Lewa. Pada tahun yang sama juga, Ratu Dyah Tulodong berhasil mengalahkan pasukan Airlangga, bahkan menghancurkan Istana Watan Mas dan memaksa Airlangga untuk melarikan diri ke Desa Patakan, Sambeng, Lamongan ditemani abdinya Mapanji Tumanggala.

Pada tahun 1032 (954 Saka), Ratu Lodoyong yang sebelumnya menghancurkan istana Watan Mas akhirnya terkalahkan oleh pasukan Airlangga. Lalu, pada akhir tahun 1032 Airlangga dengan Mpu Narotama juga mengalahkan Raja Wurawari dan membalas dendam keluarga Wangsa Isyana. Pada tahun 1035 (957 Saka), Airlangga mengakhiri pemberontakan Wijayawarmma yang merupakan raja daerah Wengker yang sebelumnya Airlangga kalahkan pada tahun 1029. Menurut prasasti Kamalagyan, Wijayawarmma melarikan diri dari Kota Tapa akan tetapi mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Kerajaan dengan pusatnya di Kahuripan ini wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Kerajaan yang berpusat di Kahuripan memiliki wilayah yang membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, seperti Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka (wisuda) Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawamça Airlangga Anãntawikramottunggadewa. Dengan keadaan yang mulai aman, Airlangga mulai melakukan pembangunan-pembangunan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Pada prasasti Turun Hyang yang dikeluarkan oleh Prabu Airlangga, disebutkan bahwa pada tahun 1036 M ia membangun sebuah tempat pusat pendidikan dan pengajaran agama yang disebut dengan Sriwijaya Asrama. Untuk mencegah banjir musiman Prabu Airlangga membangun sebuah bendungan yang dinamakan Bendungan Waringin Sapta Abad. Sungai Brantas yang sering meluap dan selalu menimbulkan kerusakan-kerusakan pada tanah-tanah persawahan dibendung dengan mendirikan tanggul Waringin Sapta. Pada tahun 1037 M, Raja Airlangga memperbaiki pelabuhan Ujung Galuh di kota Surabaya. Pembangunan ini membuat pelabuhan Ujung Galuh menjadi pelabuhan yang ramai didatangi pedagang dari luar pulau. Raja Airlangga juga membangun banyak jalan-jalan untuk menghubung daerah pesisir ke pusat kerajaan. Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1041 M, Prabu Airlangga juga pernah membangun sebuah pertapaan di Gunung Pucangan.

Prabu Airlangga juga disebut pernah memindahkan pusat kerajaan dari Kahuripan ke Daha menurut prasasti Pamwatan. Ini terjadi karena Prabu Airlangga dan para pengikutnya masih dalam keadaan siaga akan adanya serangan terhadap kerajaan yang ia bangun. Pada Kakawin Nagarakretagama yang ditulis Mpu Prapañca, disebutkan bahwa Airlangga telah berpindah ibu kota lagi dan memerintah dari Daha di wilayah Panjalu. Pada Kekawin ini juga menyinggung tentang peristiwa pembelahan kerajaan.

Prabu Airlangga Meresmikan Kerajaan Barunya (Sumber: Koleksi Pribadi)

Pada tahun 1042, Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya. Prabu Airlangga menunjuk Mpu Bharada untuk menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Hal ini menyebabkan berdirinya dua kerajaan baru, yaitu Kerajaan barat yang berpusat di ibu kota baru yaitu Daha, yang dikuasai oleh Sri Samarawijaya. Lalu ada Kerajaan timur di wilayah Janggala yang berpusat di ibu kota lama, yaitu Kahuripan, dan di rajai oleh Mapanji Garasakan. Pada prasasti Pamwatan yang bertanggal 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja. Akan tetapi pada Prasasti Gandhakuti yang bertanggal 24 November 1042, ia menjadi bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dari kedua bukti sebelumnya, Airlangga diperkirakan membagi kerajaan diantara kedua tanggal tersebut.  

Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga mengundurkan diri menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga bingung memilih penggantinya karena kedua putranya bertengkar memperebutkan takhtanya. Airlangga berniat untuk menempatkan salah satu putranya untuk menjadi raja Bali. Pernah disebutkan pada prasasti Pasar Legi bahwa Airlangga maupun Sanggramawijaya Tunggadewi masih menjalan pemerintahan, juga karena gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji, dapat disimpulkan juga bahwa ia adalah seorang raja pendeta. Hal ini berarti Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi.

3 Arca yang ditemukan pada Makam Resi Aji Paduka Mpungku (Sumber: Koleksi Pribadi)

Menurut prasasti Pucangan, pada makam Resi Aji Paduka Mpungku yang dimakamkan pada Petirtaan Belahan di lereng Gunung Penanggungan, ditemukan arca dewa Wisnu disertai dua dewi. Ketiga patung itu diduga sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Petirtaan Belahan pernah ditemukan angka tahun 1049, belum diketahui pasti arti dari angka tersebut, apakah tahun kematian Airlangga atau tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Files