Siat Geni : Ritual Perang Api untuk Melebur Sisi Negatif
Siat Geni adalah tradisi unik di Desa Adat Tuban, Kuta, Bali, yang diwariskan turun-temurun. Dilaksanakan setiap tahun pada bulan keempat kalender Bali, tradisi ini menyambut Kala Geni Rudra, pengawal dewa-dewi di Pura Dalem Kahyangan. Pemuda dari Sekaa Teruna Pertiwi Santi dan Sekaa Teruna Bhuana Kusuma saling bertarung menggunakan serabut kelapa yang dibakar, melambangkan pertempuran antara api dengan api.
Sebuah tradisi unik yang terdapat pada Desa Adat Tuban,Kecamatan Kuta,Badung,Bali, yang bernama "Siat Geni" atau yang berarti perang api. Tradisi ini merupakan tradisi yang telah diwarisi turun menurun dan masih tetap dipertahankan dan dikenalkan pada generasi muda hingga saat ini. Siat Geni ini digelar untuk menyambut Kala Geni Rudra, untuk menetralisir, menghancurkan atau mempralina segala aura negatif atau aura buruk di desa. Termasuk sasab mrana, penyakit dan berbagai masalah yang ada di desa.
Perang Menggunakan Serabut Kelapa yang dibakar ( Sumber Photo: Koleksi Pribadi )
Siat Geni merupakan sebuah prosesi penyambutan terhadap pengawal atau rencangan dewa-dewi yang berstana di Pura Dalem Kahyangan, yaitu Kala Gni Rudra. Rencangan tersebut dipercaya sangat menyukai api, sehingga Siat Geni secara tidak langsung wajib dilaksanakan sebagai sarana yang disuguhkan kepada Kala Geni Ludra. Tujuannya untuk menetralisir aura negatif, dan membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat Tuban. Seperti namanya, Siat Geni, ritual tersebut berupa perang api dengan media serabut kelapa yang dibakar. Serabut kelapa yang berisi bara api kemudian dibenturkan di atas kepala pengayah, yang kemudian menimbulkan percikan api. Para peserta Siat Geni adalah yowana atau pemuda Desa Adat Tuban, yaitu Sekaa Teruna Pertiwi Santi Banjar Tuban Griya ataupun Sekaa Teruna Bhuana Kusuma Banjar Pesalakan.
Prosesi Perang Menggunakan Api ( Sumber Photo: Koleksi Pribadi )
Tradisi Siat Geni dilakukan sekali dalam setahun, tepatnya pada bulan keempat penanggalan Bali. Dalam pementasannya, para peserta perang menggunakan baju hitam, kamen, serta mengenakan udeng di kepalanya. Dalam perang, mereka diadu satu lawan satu, tapi kadang dua lawan dua. Meski menggunakan media api, tapi perang tersebut tidak menimbulkan luka serius pada para pesertanya. Di sisi lain, para peserta juga tidak menyimpan dendam kepada peserta perang yang lain.
Pada pelaksanaan nya para peserta dibagi menjadi dua kelompok berlawanan dalam pola lingkaran kecil. Prosesi ini dipimpin oleh "saye" atau wasit yang memastikan jalannya ritual tetap khidmat dan suci. Sebelum prosesi dimulai, peserta diwajibkan melakukan persembahyangan dan ritual matur piuning yang dipimpin oleh Pemangku Pura Gede Dalem Kahyangan. Media serabut kelapa yang telah disusun di jaba tengah pura dibakar sebagai simbolis dimulainya tradisi. Ritual berlangsung selama kurang lebih satu jam, dengan syarat peserta harus berada dalam keadaan suci, bebas dari cuntaka misalnya, tidak ada anggota keluarga yang meninggal atau bayi yang belum genap 1 bulan 7 hari. Etika dan hati yang bersih juga menjadi kewajiban, dengan tujuan membakar nafsu jahat yang ada dalam diri manusia. Ritual ini bukan tentang pertempuran antara manusia dan api, melainkan api melawan api, sebagai simbol penghilangan leteh atau kotoran batin