Siat Sambuk: Tradisi "Perang Api" Turun Temurun untuk Menolak Bala Menjelang Hari Raya Nyepi
Tradisi Siat Sambuk, sebuah perang menggunakan sabut kelapa yang dibakar, merupakan tradisi unik yang secara turun-temurun dilaksanakan oleh warga Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, menjelang hari raya Nyepi. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk "Nyomya Bhuta Kala" di lingkungan sekitar desa.
Sehari sebelum hari raya Nyepi atau yang lebih dikenal sebagai hari Pengerupukan, umat Hindu biasanya merayakan hari tersebut dengan pawai ogoh-ogoh. Namun, warga Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, memiliki tradisi unik yang secara turun-temurun dilaksanakan untuk menyambut hari raya Nyepi. Tradisi tersebut dikenal dengan “Siat Sambuk”.
Pemuda Banjar Pohgending dalam Mengikuti Tradisi Siat Sambuk (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)
Sesuai namanya, sarana utama yang digunakan di dalam Siat Sambuk ini adalah sabut kelapa yang sudah dibakar. Peserta Siat Sambuk hanya menggunakan “kamben kancut” dan tidak menggunakan sehelai kain pun untuk melindungi tubuh bagian atas. Wilayah dari kedua buah kelompok hanya dibatasi oleh meja kecil. Sebelum tradisi dimulai, para peserta terlebih dahulu "nunas tirta" dan berdoa bersama. Ketika bendesa telah memberi aba-aba, hal itu berarti tradisi Siat Sambuk sudah dimulai dan kedua belah kelompok memulai peperangan dengan saling melempar sabut kelapa yang sudah dibakar tadi.
Dahulunya, Siat Sambuk berjalan tanpa diawasi oleh Pecalang (kelompok keamanan desa) sehingga tidak ada yang menengahi apabila suasana mulai ricuh. Bahkan, ketika salah satu kelompok sudah tidak memiliki sabut kelapa untuk dilempar, mereka akan memakai batu untuk menyerang lawan.
Keterlibatan Pecalang untuk Mencegah Kericuhan (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)
Walaupun tensi emosi peserta sudah tidak setinggi dahulu, namun hal tersebut tidak mengurangi esensi utama dari pelaksanaan tradisi Siat Sambuk. Teriakan penonton, iringan Bale Ganjur, semangat peserta untuk melempar sambuk, hingga suasana menegangkan masih mewarnai pelaksanaan tradisi Siat Sambuk di Banjar Pohgending.
Antusiasme Warga Banjar Pohgending saat Menyaksikan Tradisi Siat Sambuk (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)
Walau sempat diselimuti oleh emosi yang menggebu-gebu, tetapi pada saat pelaksanaan Siat Sambuk selesai, seluruh peserta berkumpul di titik tengah jalan pertigaan untuk saling bersalaman, saling merangkul, dan bertukar tawa yang sarat akan kepuasan seolah-olah tidak ada emosi dan peperangan yang baru saja usai. Hal unik lainnya dari tradisi ini adalah, walaupun bagian tubuh atas peserta tidak ditutupi oleh sehelai benang pun, namun tidak pernah ada laporan bahwa ada yang terluka akibat terkena lemparan sabut kelapa yang dibakar.
Seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan apabila adanya modifikasi yang dilakukan untuk tetap menjaga tradisi Siat Sambuk tetap relevan dan lestari seiring dengan perkembangan zaman. Modifikasi tersebut bisa dilakukan dengan menambahkan pertunjukan tari sembari menunggu datangnya sandikala. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga eksistensi tradisi Siat Sambuk agar tetap dapat dilaksanakan oleh generasi selanjutnya dari Banjar Pohgending.