Siat Sambuk: Tradisi "Perang Api" Turun Temurun untuk Menolak Bala Menjelang Hari Raya Nyepi

Tradisi Siat Sambuk, sebuah perang menggunakan sabut kelapa yang dibakar, merupakan tradisi unik yang secara turun-temurun dilaksanakan oleh warga Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, menjelang hari raya Nyepi. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk "Nyomya Bhuta Kala" di lingkungan sekitar desa.

Sep 9, 2023 - 09:17
Sep 9, 2023 - 15:22
Siat Sambuk: Tradisi "Perang Api" Turun Temurun untuk Menolak Bala Menjelang Hari Raya Nyepi
Aksi Pelemparan Sabut Kelapa yang Dibakar (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Sehari sebelum hari raya Nyepi atau yang lebih dikenal sebagai hari Pengerupukan, umat Hindu biasanya merayakan hari tersebut dengan pawai ogoh-ogoh. Namun, warga Banjar Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, memiliki tradisi unik yang secara turun-temurun dilaksanakan untuk menyambut hari raya Nyepi. Tradisi tersebut dikenal dengan “Siat Sambuk”.

Rangkaian hari Pengerupukan di Banjar Pohgending diawali dengan pawai ogoh-ogoh seperti biasa. Ketika hari beranjak sore atau sandikala, warga berbondong-bondong berkumpul di sekitar balai banjar untuk menyaksikan tradisi Siat Sambuk.

Siat Sambuk yang secara harfiah berarti perang sabut kelapa merupakan suatu tradisi turun temurun yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada hari Pengerupukan. Tradisi Siat Sambuk biasanya dilaksanakan oleh pemuda Banjar Pohgending dengan tujuan untuk menolak bala (Nyomya Bhuta Kala) dan menghalau hal negatif di lingkungan sekitar desa.

Siat Sambuk berakar dari tradisi “mabuu-buu” yang merupakan tradisi mengitari pekarangan rumah dengan membawa obor atau daun kelapa (danyuh) yang dibakar. Tujuan dari tradisi tersebut sama seperti tradisi Siat Sambuk, yaitu untuk menolak bala dan menetralisir hal-hal negatif di sekitar desa.

Peserta tradisi Siat Sambuk adalah pemuda seka teruna teruni Banjar Pohgending yang dibagi ke dalam dua kelompok. Dahulunya, kedua kelompok tersebut dikenal dengan nama “Wong Kaja” dan “Wong Kelod”. Di Banjar Pohgending, terdapat jalan pertigaan yang digunakan sebagai pemisah imajiner dengan Banjar Petung. Penduduk yang rumahnya terletak di sebelah Utara jalan tersebut tergabung ke dalam kelompok Wong Kaja. Sedangkan, bagi warga yang rumahnya terletak di sebelah Selatan, tergabung ke dalam kelompok Wong Kelod. Sedangkan, untuk warga yang rumahnya terletak di tengah-tengah atau tepat di arah jalan pertigaan tersebut diberi kebebasan untuk memilih bergabung di kelompok Wong Kaja atau Wong Kelod

Pemuda Banjar Pohgending dalam Mengikuti Tradisi Siat Sambuk (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Sesuai namanya, sarana utama yang digunakan di dalam Siat Sambuk ini adalah sabut kelapa yang sudah dibakar. Peserta Siat Sambuk hanya menggunakan “kamben kancut” dan tidak menggunakan sehelai kain pun untuk melindungi tubuh bagian atas. Wilayah dari kedua buah kelompok hanya dibatasi oleh meja kecil. Sebelum tradisi dimulai, para peserta terlebih dahulu "nunas tirta" dan berdoa bersama. Ketika bendesa telah memberi aba-aba, hal itu berarti tradisi Siat Sambuk sudah dimulai dan kedua belah kelompok memulai peperangan dengan saling melempar sabut kelapa yang sudah dibakar tadi.

Siat Sambuk digelar dengan diiringi oleh Gamelan Bale Ganjur yang juga membakar semangat peserta untuk melempar sambuk ke arah kelompok lawan dan berusaha menghindari lemparan sambuk yang dilempar oleh lawan. Sorak sorai warga setempat yang memberi semangat kepada peserta juga menambah kemeriahan suasana pelaksanaan Siat Sambuk. 

Dahulunya, Siat Sambuk berjalan tanpa diawasi oleh Pecalang (kelompok keamanan desa) sehingga tidak ada yang menengahi apabila suasana mulai ricuh. Bahkan, ketika salah satu kelompok sudah tidak memiliki sabut kelapa untuk dilempar, mereka akan memakai batu untuk menyerang lawan.

Tidak jarang, peserta ada yang terluka terkena lemparan batu. Namun, hal itu tidak menghentikan semangat para peserta untuk melanjutkan tradisi tersebut. Siat Sambuk berakhir apabila salah satu kelompok mulai kelelahan dan tidak sanggup untuk melanjutkan peperangan.

Walaupun dilakukan secara turun temurun, ternyata tradisi Siat Sambuk sempat vakum selama beberapa tahun dan hanya digantikan dengan pawai obor yang diiringi oleh pemukulan kulkul. Hal tersebut ternyata membuat perayaan Pengerupukan menjadi kurang bermakna dan terasa ada yang kurang.

Oleh karena itu, para tetua Banjar Pohgending mengadakan pertemuan untuk mengusulkan agar tradisi Siat Sambuk dihidupkan kembali tetapi dengan mengusung konsep perang modern agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1995 tradisi Siat Sambuk kembali digelar. Namun, pelaksanaan Siat Sambuk pada tahun tersebut sempat mengalami kendala. Kendala tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan jumlah peserta antara kelompok Wong Kaja dan Wong Kelod. Untuk itu, kendala tersebut disiasati dengan menghapus kelompok Wong Kaja dan Wong Kelod. Hal ini juga menjadi sejarah bahwa untuk pertama kalinya tradisi Siat Sambuk dilaksanakan tanpa kelompok Wong Kaja dan Wong Kelod.

Pelaksanaan Siat Sambuk pada saat itu dilakukan dengan menggabung seluruh peserta untuk kemudian dibagi rata menjadi dua kelompok. Selain perubahan sistem pembagian kelompok, pelaksanaan Siat Sambuk masih tetap sama dengan sebelum-sebelumnya. Hanya saja, ada keterlibatan Pecalang untuk mengatur jalannya tradisi dan sebagai penengah untuk menghindari kericuhan antar dua kelompok. Konsep Siat Sambuk yang seperti ini kemudian digunakan seterusnya hingga saat ini. 

Keterlibatan Pecalang untuk Mencegah Kericuhan (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Walaupun tensi emosi peserta sudah tidak setinggi dahulu, namun hal tersebut tidak mengurangi esensi utama dari pelaksanaan tradisi Siat Sambuk. Teriakan penonton, iringan Bale Ganjur, semangat peserta untuk melempar sambuk, hingga suasana menegangkan masih mewarnai pelaksanaan tradisi Siat Sambuk di Banjar Pohgending.

Antusiasme Warga Banjar Pohgending saat Menyaksikan Tradisi Siat Sambuk (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Walau sempat diselimuti oleh emosi yang menggebu-gebu, tetapi pada saat pelaksanaan Siat Sambuk selesai, seluruh peserta berkumpul di titik tengah jalan pertigaan untuk saling bersalaman, saling merangkul, dan bertukar tawa yang sarat akan kepuasan seolah-olah tidak ada emosi dan peperangan yang baru saja usai. Hal unik lainnya dari tradisi ini adalah, walaupun bagian tubuh atas peserta tidak ditutupi oleh sehelai benang pun, namun tidak pernah ada laporan bahwa ada yang terluka akibat terkena lemparan sabut kelapa yang dibakar.

Seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan apabila adanya modifikasi yang dilakukan untuk tetap menjaga tradisi Siat Sambuk tetap relevan dan lestari seiring dengan perkembangan zaman. Modifikasi tersebut bisa dilakukan dengan menambahkan pertunjukan tari sembari menunggu datangnya sandikala. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga eksistensi tradisi Siat Sambuk agar tetap dapat dilaksanakan oleh generasi selanjutnya dari Banjar Pohgending.