Subak, sebuah Warisan Budaya UNESCO: Manifestasi Harmoni antara Alam, Petani, dan Yang Ilahi
Subak, sistem pengelolaan pertanian tradisional Bali yang mencerminkan konsep keseimbangan antara petani, Tuhan, dan alam (Tri Hita Karana), diakui oleh UNESCO pada tahun 2012 sebagai Warisan Budaya Dunia. Ini mencerminkan nilai budaya, sejarah, dan ekologi yang penting dan membutuhkan dukungan global untuk dilestarikan demi keberlanjutan pertanian dan budaya Bali.
Selain menunjang kebutuhan pangan, sawah juga merupakan perhiasan yang menghiasi alam Bali. Padi-padi yang tumbuh hijau kemudian mulai menguning nan cantik serta undak-undak yang indah ciri khas sawah Bali menarik perhatian para wisatawan untuk mampir dan menikmati indahnya alam. Keindahan tersebut tidak luput dari bagaimana para petani bekerja sama untuk mengelola pertaniannya.
Subak merupakan organiasi para petani untuk mengelola sistem pengairan atau irigasi pertanian masyarakat Bali yang masih eksis sejak berabad-abad. Subak mencerminkan konsep Tri Hita Karana yaitu dengan menjaga hubungan harmonis antara petani dengan Tuhan (Parhyangan), petani dengan pertani (Pawongan), serta petani dengan alam (Palemahan).
Petani Subak (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Aspek Parhyangan diwujudkan dengan ritual yang dilakasanakan pada pura sawah yang disebut Pura Ulun Carik di kawasan subak sebagai persembahan kepada Dewi Sri, Dewi Kemakmuran dan Kesuburan. Awig-awig atau peraturan untuk petani yang ditetapkan sebagai perwujudan bagaimana sistem pengairan ini memenuhi aspek Pawongan. Aspek Palemahan ditandai dengan kepemilikan wilayah pertanian dengan batas alam tertentu sesuai dengan awig-awig yang ditetapkan.
Terdapat beberapa bukti lampau yang menyinggung mengenai Subak, walaupun sampai saat ini masih belum bisa menjelaskan bagaiman sistem ini terbentuk dan kapan pertama kali diberlakukan di Bali. Pada prasasti Sukawana, kata “huma” yang berarti “sawah” muncul. Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Tingkat I Bali pada tahun 1997 menemukan bahwa dalam beberapa prasasti yang berasal dari abad ke-10 hingga ke-11, terdapat kata "Kasuwakan" yang merujuk pada konsep subak, bersama dengan kata-kata lain seperti “Pekaseh” yang mengacu pada kepala Subak.
Hingga pada tahun 2012, Subak Jawtiluwih diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) pada sidang yang diselenggarakan di St. Petersburg, Rusia. Subak memenuhi syarat sebagai Warisan Budaya Dunia karena dianggap dapat memecahkan masalah yang semakin kompleks di masa depan. Penerapan konsep Tri Hita Karana dalam pelaksanaannya juga menjadi syarat mengapa Subak diakui oleh UNESCO.
Subak (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Sebagian besar wilayah Bali menerapkan sistem subak, terutama di daerah-daerah dengan mayoritas pertanian basah. Beberapa daerah yang terkenal dengan subak di antaranya Jatiluwih, Ubud, Tampaksiring, dan Tegalalang. Subak Jatiluwih, yang diangkat menjadi Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2012, menawarkan keindahan lanskap yang memukau dengan teras-teras sawah yang mengundang perhatian dunia. Subak Jatiluwih menghasilkan komoditas beras merah dan putih berkualitas tinggi yang menjadi daya tarik. Namun, penting untuk dicatat bahwa subak-subak lain di Bali, seperti Subak Tegalalang, juga memiliki nilai budaya, sejarah, dan ekologi yang sangat berharga, menunjukkan keragaman dan keindahan sistem irigasi tradisional di pulau ini.
Sedehan Agung merupakan kedudukan tertinggi dalam organisasi Subak satu-satunya di Bali yang mengorganisir Sedehan-sedehan di Bali. Sedehan tersebut memiliki wewenang terhadap Pekaseh-pekaseh dalam daerah. Struktur organiasasi Subak terkecil terdiri dari Pekaseh atau Kelian sebagai kepala Subak dibantu oleh Petajuh sebagai wakil kepala Subak, Peyarikan atau Juru Tulis sebagai sekretaris, Petengan atau Juru Raka sebagai bendahara. Anggota Subak disebut Krama Subak yang terbagi tiga berdasarkan tanggung jawabnya yaitu, Krama Pekaseh yang merupakan Pekaseh dan jajarannya, Krama Leluputan terdiri dari anggota Subak yang bertugas untuk menjadwalkan waktu tanam, serta Krama yang melakukan pengelolaan distribusi sumber daya air untuk seluruh anggota disebut Krama Pengampel. Segala permasalahan yang timbul dalam pelaksaanannya dimusyawarahkan pada forum yang diadakan dengan melibatkan seluruh Krama Subak.
Subak (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Sistem Subak membagi sumber air ke berbagai wilayah persawahan milik masyarakat setempat melalui serangkaian pintu masuk yang disebut inlet. Semakin banyak lahan pertanian yang ada, semakin banyak juga inlet yang dibangun. Keunggulan utama dari Subak adalah efektivitas dan efisiensinya yang luar biasa dalam mengatur aliran air, memungkinkan pertanian tetap berjalan bahkan saat musim kering atau kemarau. Keberhasilan sistem ini juga didukung oleh praktik-praktik ritual yang dilakukan oleh petani sebagai bentuk rasa syukur dan doa kepada alam. Subak tidak hanya sekadar sistem irigasi namun juga mencerminkan keterpaduan antara aspek teknis, budaya, dan spiritual yang menjadikannya salah satu warisan berharga dalam keberlanjutan pertanian dan budaya Bali.
Subak perlu dilestarikan oleh seluruh masyarakat dunia, karena ini bukan sekadar warisan Bali atau Indonesia, tetapi juga merupakan warisan dunia yang telah diakui oleh UNESCO. Subak bukan hanya aset lokal dalam pengelolaan air untuk pertanian, melainkan juga mencerminkan nilai budaya, sejarah, dan ekologi yang sangat penting.
Oleh karena itu, sebagai warga dunia, kita semua memiliki tanggung jawab untuk melestarikannya. Subak adalah bukti bahwa keberlanjutan dan kerjasama dapat menghasilkan hasil positif yang berkelanjutan. Dengan meningkatkan pemahaman dan dukungan, kita dapat memastikan bahwa Subak akan terus menjadi bagian integral dari warisan Bali dan dunia yang kita semua nikmati. Mari kita bersama-sama menjaga dan melestarikannya, sebagai warisan dunia yang sangat berharga dan berdampak luas.