Ngerebeg: Tradisi Abad ke-13, Memuliakan Sarwa Prani untuk Menjaga Keseimbangan Alam
Tradisi Ngerebeg di Tegallalang adalah salah satu contoh yang menakjubkan dari kekayaan budaya Bali. Ini bukan hanya sebuah acara, tetapi juga sebuah pengalaman yang mengajarkan makna kerja sama, kebersamaan, dan keseimbangan antara manusia dan alam. Dengan upaya keras masyarakat Tegallalang dan dukungan dari pemerintah dan pariwisata, tradisi ini akan terus berkembang dan memperkaya kehidupan masyarakat Bali serta mereka yang mengunjungi pulau ini.
Tradisi Ngerebeg Desa Tegallalang (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Tegallalang, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Gianyar, Bali, merupakan tempat di mana budaya dan tradisi Bali yang kaya berkembang dengan indahnya. Salah satu acara budaya yang paling menarik dan penuh makna di Tegallalang adalah tradisi Ngerebeg. Tradisi ini adalah salah satu puncak dari kehidupan masyarakat di desa Tegallalang. Pelaksanaan tradisi Ngerebeg diperkirakan telah ada sejak abad ke-13 sesuai dengan kedatangan Tjokorda Ketut Segara ke desa Tegallalang, oleh karena itu tradisi ini tidak berani dihilangkan atau pun di hapus oleh masyarakat setempat.
Ngerebeg berasal dari Bahasa Kawi yang memiliki arti mengusir atau menempatkan wong samar (makhluk halus). Wong samar ini tidak diusir, melainkan diberikan tempat berupa pelinggih. Masyarakat setempat percaya, bahwa manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang berada atau melinggih di Pura Duur Bingin memiliki pengikut berupa wong samar. Wong samar ini diyakini bermukim di hulu sungai sebelah barat pura. Dalam melaksanakan upacara di pura, para wong samar juga mempunyai keinginan untuk ngayah atau membantu pelaksanaan prosesi upacara. Jadi Ngerebeg adalah sebuah tradisi yang berasal dari zaman Hindu-Bali, yang masih sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Bali. Tradisi ini awalnya dilakukan untuk mengusir makhluk jahat dan membawa kebahagiaan bagi desa. Secara historis, Ngerebeg di Tegallalang pertama kali dimulai oleh seorang pendeta setempat yang ingin melindungi desa dari ancaman roh jahat dan bencana alam.
Ngerebeg memiliki beberapa makna yang mendalam. Salah satunya adalah untuk menjaga keharmonisan alam dan mengusir makhluk jahat yang mungkin mengganggu masyarakat. Selain itu, tradisi ini juga mengajarkan nilai-nilai seperti kerja sama, solidaritas, dan kepedulian sosial. Melalui persiapan dan pelaksanaan Ngerebeg, masyarakat Tegallalang belajar untuk bekerja bersama-sama dan merasakan kebersamaan yang kuat.
Ngerebeg merupakan rangkaian upacara piodalan di Pura Duur Bingin, desa Tegallalang. Piodalan di Pura Duur Bingin berlangsung sehari setelah hari Pegatwakan atau hari kamis (wraspati), Umanis, Wuku Pahang. Sehari sebelum piodalan, yaitu pada hari Pegatwakan, masyarakat Tegallalang akan melaksanakan tradisi Ngerebeg. Tradisi Ngerebeg ini secara rutin digelar oleh 7 banjar adat di desa Pakraman Tegallalang, kecamatan Tegallalang, Gianyar Bali, sebab masyarakat percaya jika tradisi ini tidak digelar, maka akan terjadi hal buruk yang akan menimpa warga desa mereka.
Pada hari acara, masyarakat desa berkumpul di Pura Duur Bingin untuk melakukan sembahyang bersama. Setelah itu, patung-patung yang telah dipersiapkan dengan teliti dibawa keliling desa oleh para pemuda yang kuat. Mereka memainkan gamelan, alat musik tradisional Bali, sambil mengiringi patung-patung ini. Selama perjalanan mereka, mereka juga membawa berbagai jenis hasil pertanian dan makanan sebagai tanda syukur kepada dewa-dewa.
Makan Bersama atau Megibung Pica Ageng (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Tradisi ini hanya melibatkan anak laki-laki saja hingga sekaa truna termasuk mereka yang sudah dewasa sebagai peserta. Tubuh dan wajah mereka dirias menggunakan beraneka ragam warna, termasuk juga pernak-pernik agar mereka tampil seram. Selain riasan wajah dan hiasan yang seram, peserta tradisi Ngerebeg ini juga harus membawa penjor yang terbuat dari pohon enau. Penjor ini dilambangkan sebagai senjata agar wong samar tidak mengganggu kehidupan masyarakat desa Tegallalang.
Wajah-wajah seram peserta tradisi Ngerebeg tersebut merupakan simbol atau wujud dari wong samar (makhluk halus) yang biasanya suka mengganggu anak-anak, tradisi yang juga merupakan ritual yang dilakukan oleh warga desa Pakraman Tegallalang tersebut sejatinya bertujuan untuk memberikan tempat bagi wong samar. Memberikan persembahan supaya bisa hidup berdampingan dengan manusia, tidak saling mengganggu dan agar bisa menjaga desa Tegallalang.
Terdapat sejumlah kejadian unik yang pernah terjadi dalam tradisi Ngerebeg tersebut, pernah seorang warga mengganggu anak yang ikut tradisi Ngerebeg, penjor yang dibawa anak tersebut diambil oleh warga tersebut, tidak berselang lama orang tersebut kena musibah kecelakaan. Pernah juga kejadian seorang anak laki-laki yang berkeinginan untuk menjadi peserta dari tradisi Ngerebeg ini, sebab masih berusia balita orang tua dari anak tersebut tidak mengijinkan untuk ikut berperan, dan pada akhirnya anak tersebut tidak ikut berpartisipasi karena tidak diizinkan. Namun, setelah beberapa hari setelah tradisi Ngerebeg ini selesai, dikabarkan salah orang tua anak tersebut jatuh ke dalam jerami yang masih berapi yang mengakibatkan mereka mendapatkan luka bakar. Oleh karena itu, masyarakat desa percaya bahwa tidak boleh menghalangi anak mereka jika ingin menjadi pengayah atau peserta tradisi ini. Termasuk juga dan dalam prosesi Ngerebeg berlangsung, para wong samar juga ikut bersama mereka, sehingga pantang bagi warga untuk mengganggu tradisi yang sedang berlangsung. Jadi prosesi ini begitu sakral, walaupun tampilan mereka dibuat seram dengan riasan seadanya, namun makna filosofinya sangat tinggi, bagaimana manusia bisa menjaga keharmonisan dengan makhluk sekitarnya termasuk juga dengan wong samar (makhluk halus).
Salah satu momen yang paling menarik dalam Ngerebeg adalah pertunjukan tari-tarian tradisional Bali. Para penari mengenakan kostum yang indah dan menggambarkan kisah-kisah mitologi Hindu-Bali. Ini adalah saat di mana budaya dan seni Bali benar-benar bersinar.
Selama acara Ngerebeg, seluruh masyarakat desa merasa bersatu. Mereka merayakan kebersamaan dan memperkuat ikatan sosial mereka. Selain itu, secara spiritual, tradisi ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, serta memohon perlindungan dari dewa-dewa. Meskipun Ngerebeg adalah tradisi kuno yang telah ada selama berabad-abad, masyarakat Tegallalang masih sangat berkomitmen untuk menjaga keberlangsungannya. Mereka tahu bahwa tradisi ini adalah bagian penting dari identitas mereka dan merupakan warisan budaya yang berharga.
Namun, tradisi ini juga menghadapi beberapa tantangan di era modern. Perubahan sosial dan ekonomi telah membuat sulit bagi masyarakat untuk mengabdikan waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan Ngerebeg. Selain itu, pengaruh globalisasi dan pariwisata telah membawa perubahan dalam tata cara pelaksanaan acara ini. Untuk menjaga keberlanjutan tradisi ini, beberapa upaya telah dilakukan. Masyarakat Tegallalang telah bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi budaya untuk mendukung dan mempromosikan Ngerebeg. Mereka juga berusaha untuk menarik wisatawan yang tertarik untuk mengamati dan menghargai tradisi ini dengan hormat. Masyarakat Tegallalang sangat menyadari pentingnya melestarikan warisan budaya mereka. Mereka ingin Ngerebeg tetap menjadi bagian integral dari kehidupan mereka, serta menjadi daya tarik budaya yang menarik bagi wisatawan yang datang ke Bali. Dengan kerja sama dan komitmen mereka, mereka berharap bahwa tradisi Ngerebeg akan tetap hidup dan berkembang untuk generasi-generasi mendatang.
Tradisi Ngerebeg di Tegallalang adalah salah satu contoh yang menakjubkan dari kekayaan budaya Bali. Ini bukan hanya sebuah acara, tetapi juga sebuah pengalaman yang mengajarkan makna kerja sama, kebersamaan, dan keseimbangan antara manusia dan alam. Dengan upaya keras masyarakat Tegallalang dan dukungan dari pemerintah dan pariwisata, tradisi ini akan terus berkembang dan memperkaya kehidupan masyarakat Bali serta mereka yang mengunjungi pulau ini.