Kisah tentang Amukan Detya Matsya Baerawa dan Perjalanan Suci Bima
Setelah perang Barathayuda, lautan yang ternodai oleh darah pejuang membuat Dewa Baruna murka dan menciptakan Detya Matsya Baerawa, raksasa penuh dendam. Bima dikirim untuk memohon tirta suci dari Baruna, namun takluk di tangan sang raksasa. Kresna akhirnya turun tangan untuk menyelamatkan Bima dan menenangkan Baruna. Akankah kedamaian berhasil dipulihkan, atau dendam akan terus menguasai lautan?

Di zaman dahulu kala, setelah berakhirnya perang Barathayuda yang maha dahsyat, lautan yang biasanya biru dan tenang menjadi merah oleh darah para pejuang yang gugur. Perang besar itu tidak hanya meninggalkan kehancuran di daratan, tetapi juga menodai lautan dengan darah yang mengalir deras dari medan tempur. Air laut yang biasanya jernih, kini penuh dengan darah, menciptakan pemandangan yang mengerikan dan penuh duka. Aroma kematian terasa bahkan hingga ke dasar lautan.
Lautan bercampur dengan darah para pejuang yang gugur (sumber: koleksi pribadi)
Dewa Baruna, penguasa lautan yang agung, menjadi murka melihat lautan sucinya ternodai. Sebagai dewa yang menjaga kebersihan dan kesucian perairan, Dewa Baruna merasa bahwa darah yang mengalir di lautnya adalah penghinaan besar terhadap alam yang dia kuasai. Dengan hati yang terbakar oleh amarah, Dewa Baruna menggunakan aji tenung—kemampuan magisnya untuk melihat ke masa lalu dan mencari tahu sumber dari semua darah yang mencemari lautan tersebut.
Dewa Baruna melakukan aji tenung (sumber: koleksi pribadi)
Melalui kekuatan aji tenungnya, Dewa Baruna menemukan bahwa sebagian besar darah itu adalah milik Dursasana, salah satu panglima besar dari pihak Korawa, yang tewas dengan tragis di tangan Bima, kesatria Pandawa yang perkasa. Dalam pertempuran yang menentukan dalam perang Barathayuda, Bima, dengan amarah yang membara, menebas tubuh Dursasana Darah Dursasana mengalir deras hingga mencapai lautan, menjadi simbol dendam dan kekejaman perang yang tiada akhir.
Dewa Baruna, yang sudah dikuasai oleh amarah, tidak bisa lagi menahan kebenciannya terhadap manusia yang membawa kehancuran kepada alam. Ia memutuskan untuk membangkitkan darah yang sudah tumpah itu dan menciptakan sosok baru yaitu sosok raksasa yang kuat dan menakutkan, yang lahir dari amarah dan dendam. Dari lautan darah itulah lahir Detya Matsya Baerawa, sosok raksasa setengah ikan, setengah manusia, yang memiliki kekuatan luar biasa. Detya Matsya Baerawa diciptakan untuk menjadi simbol dendam dan murka alam terhadap kekerasan manusia.
Sementara itu, setelah perang Barathayuda berakhir, kedamaian mulai bersemi kembali di dunia. Yudistira, yang bijaksana dari Pandawa, merasa bahwa dunia perlu disucikan dari semua energi negatif yang tertinggal setelah perang. Ia merasa bahwa tanah, air, dan udara telah ternoda oleh kemarahan, darah, dan keserakahan manusia. Maka, Yudistira memutuskan untuk menggelar yadnya Bumisudha, sebuah upacara penyucian besar-besaran untuk mengembalikan keseimbangan dan kesucian dunia. Namun, untuk menyukseskan yadnya tersebut, ia membutuhkan tirta suci—air penyucian yang hanya bisa diperoleh dari Dewa Baruna, penguasa lautan.
Yudistira merasa bahwa dunia ini perlu dimurnikan dari semua energi negatif (sumber: koleksi pribadi)
Yudistira pun mengutus Bima, yang dikenal paling kuat dan pemberani di antara Pandawa, untuk pergi ke laut dan memohon tirta suci dari Dewa Baruna Dalam perjalanannya, Bima ditemani oleh dua punakawan setianya, Tualen dan Merdah, yang selalu siap membantu dan memberikan nasihat bijak dalam situasi sulit. Dengan penuh keyakinan, Bima berangkat menuju laut luas yang misterius.
Namun, saat mereka tiba di tepi lautan, Bima dan para punakawan bertemu dengan pasukan Detya Matsya Baerawa. Para prajurit raksasa itu berjaga-jaga di sekitar lautan atas perintah Dewa Baruna, siap melawan siapa pun yang mencoba mendekati wilayah suci tersebut. Tanpa ragu, pertempuran sengit pun terjadi antara Bima dan pasukan raksasa. Dengan kekuatan dan keberaniannya, Bima berhasil mengalahkan prajurit demi prajurit, membuat Detya Matsya Baerawa semakin marah. Detya Matsya Baerawa, yang diciptakan dari amarah dan darah, tidak bisa menerima kekalahan ini.
Akhirnya, Detya Matsya Baerawa turun tangan sendiri. Ia melangkah maju dengan tubuh raksasanya yang mengerikan, mengeluarkan senjata pusaka miliknya, Jalajena, senjata yang memiliki kekuatan lautan. Dengan kekuatan senjata itu, Detya Matsya Baerawa menyerang Bima dengan kekuatan dahsyat, menciptakan ombak besar yang menghantam pantai. Setelah pertempuran sengit, Bima, yang biasanya tak terkalahkan, akhirnya takluk di hadapan kekuatan raksasa tersebut.
Tualen dan Merdah, yang melihat tuannya dikalahkan, sangat ketakutan. Mereka segera melarikan diri ke daratan untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Yudistira. Dalam perjalanan kembali, Tualen bertemu dengan Kresna, titisan Dewa Wisnu yang memiliki kebijaksanaan dan kekuatan luar biasa. Tualen segera menceritakan nasib Bima yang telah jatuh di tangan Detya Matsya Baerawa.
Mendengar hal itu, Kresna segera bertindak. Ia bergegas menuju lautan untuk menyelamatkan Bima dan menghentikan Detya Matsya Baerawa. Saat tiba di tengah lautan, Kresna langsung berhadapan dengan Detya Matsya Baerawa. Menyadari betapa kuatnya raksasa itu, Kresna mengeluarkan cakra Sudarsana, senjata pusaka yang memiliki kekuatan besar. Namun, sebelum Kresna sempat menyerang, Dewa Baruna muncul dari dasar lautan. Dewa Baruna menjelaskan kepada Kresna bahwa lautan menjadi penuh darah akibat perang Barathayuda, dan bahwa lautan telah dinodai oleh mayat-mayat yang dibuang ke laut tanpa kehormatan.
Setelah mendengar penjelasan Dewa Baruna, Kresna mulai memahami kemarahan sang dewa baruna. Ia menjelaskan bahwa tujuan perang Barathayuda bukanlah untuk menciptakan dendam yang tak berujung, melainkan untuk membersihkan sifat jahat dan mengembalikan keseimbangan di dunia. Dewa Baruna, yang tersentuh oleh kata-kata Kresna, akhirnya menyadari kesalahannya. Ia pun dengan rela memberikan tirta suci kepada Kresna untuk digunakan dalam yadnya Bumisudha.
Dengan tirta suci tersebut, Yudistira akhirnya dapat melaksanakan upacara penyucian jagat. Upacara tersebut berhasil mengembalikan keseimbangan alam, membersihkan semua noda yang ditinggalkan oleh perang besar, dan membawa kedamaian kembali ke dunia. Perjuangan Bima, kebijaksanaan Kresna, dan pengorbanan semua yang terlibat menjadi simbol bahwa perdamaian dan keseimbangan hanya dapat dicapai melalui pengertian dan pengampunan, bukan melalui dendam dan kekerasan.