Gunung Agung: Sapta Linggasari, Istana Para Dewa
Gunung Agung, dengan puncaknya yang menjulang tinggi, adalah ikon dan lambang spiritual Pulau Bali. Tidak hanya sebagai salah satu gunung tertinggi di Indonesia, tetapi juga sebagai situs suci yang melambangkan keberadaan para Dewa. Kisah mengenai lahirnya Gunung Agung dan tempat kelahiran para dewa adalah legenda dalam budaya Bali yang penuh makna dan keindahan.
Dalam lontar Raja Pura Sesana, tertulis kisah tentang dewa Pasupati yang mencabut puncak Gunung Mahameru di India dan membawanya ke Pulau Jawa, menjadikannya Gunung Semeru. Namun, saat itu, Bali Dwipa, atau yang dikenal juga sebagai Jagat Bali, masih belum stabil, seperti perahu tanpa kemudi yang mengambang tanpa tujuan.
Di saat itu, Bali Dwipa hanya memiliki beberapa gunung, seperti Gunung Lempuyang di timur, Gunung Andakasa di selatan, Gunung Batukaru di barat, dan Gunung Pucak Mangu di utara. Untuk menjadikan Bali Dwipa lebih stabil, Dewa Pasupati memerintahkan para dewa untuk memindahkan puncak Gunung Semeru ke Bali Dwipa.
Saat proses pemindahan, terjadi kejadian tak terduga, sebuah bongkahan gunung jatuh ke tanah dan terbentuklah Gunung Batur. Namun, puncak Gunung Semeru berhasil ditempatkan di timur laut Bali, menjadi Gunung Tohlangkit yang sekarang dikenal sebagai Gunung Agung.
Pada saat keadaan Bali Dwipa sudah stabil, Dewa Pasupati memerintahkan 3 putranya untuk beristana di Bali Dwipa. Mereka adalah Dewa Hyang Gnijaya yang beristana di gunung Lempuyang, Dewa Hyang Putranjaya yang beristana di Gunung Agung, dan Dewi Danuh yang beristana di Gunung Batur.
Sejak itu, Bali Dwipa memiliki Trilingga Giri, yaitu tiga istana gunung. Agar menjadi lebih sempurna, Dewa Pasupati memerintahkan lagi putra-putranya untuk beristana di Bali Dwipa. Mereka adalah Dewa Tumuwuh di Gunung Watukaru, Dewa Manik Gumawang di Gunung Puncak Mangu atau Beratan, Dewa Manik Galang di Pejeng dan Dewa Hyang Tugu di Gunung Andakasa. Disamping itu Naga Basuki ditugaskan untuk mendampingi Dewa Hyang Putranjaya di Gunung Tohlangkir.
Sejak itu, Bali dikenal dengan adanya Sapta Linggasari, yaitu tujuh istana selaras dengan konsep ajaran upaweda sebagai istana putra-putra Dewa Pasupati. Oleh karena itulah masyarakat Hindu Bali mempercayai bahwa Gunung Agung ini tempat bersemayamnya para Dewa. Yang membuat Gunung Agung ini dijadikan tempat keramat yang sangat disucikan.
Kisah lain yang berhubungan dengan Gunung Agung adalah mengenai Dewa Indra. Dikisahkan bahwa Dewa Indra pernah menjatuhkan pusaka sakti miliknya, yaitu keris bernama "Keris Ikut Aji," di puncak Gunung Agung.
Konon, keris tersebut memiliki kekuatan magis yang luar biasa dan digunakan oleh Dewa Indra untuk memenangkan pertempuran melawan para asura (roh jahat). Sejak saat itu, keris tersebut diyakini oleh banyak orang sebagai benda suci yang melambangkan kekuatan dan perlindungan.
Selain itu, Gunung Agung juga memiliki kisah tentang Dewa Hyang Gni Jaya. Konon, Dewa ini memilih Gunung Lempuyang sebagai tempat kediamannya. Setiap tahun, pada hari raya Galungan, masyarakat setempat mengadakan persembahan di Pura Lempuyang Luhur untuk menghormati Dewa Hyang Gni Jaya. Ini adalah salah satu contoh bagaimana kepercayaan dan kultus terhadap gunung-gunung suci masih hidup dan kuat di Bali.
Tidak hanya menjadi pusat peribadatan Hindu, Gunung Agung juga mencerminkan keterkaitan erat antara agama dan alam di Bali. Masyarakat Bali percaya bahwa gunung ini adalah salah satu dari enam gunung suci yang melindungi pulau ini dari berbagai arah. Selain Gunung Agung, gunung-gunung lain seperti Gunung Batur, Gunung Lempuyang, dan Gunung Batukaru juga dianggap memiliki kekuatan spiritual dan melambangkan perlindungan terhadap Bali. Ini adalah contoh bagaimana masyarakat Bali mengintegrasikan keyakinan spiritual mereka dengan lanskap alam yang mempesona.
Gunung Agung (Sumber Photo: Kanal Pujangga Nagari Nusantara)
Gunung Agung dan Pura Besakih juga memiliki hubungan yang sangat erat dalam budaya dan kepercayaan Bali. Pura Besakih, juga dikenal sebagai Pura Agung Besakih, adalah salah satu pura paling suci di Bali dan terletak di lereng Gunung Agung. Keberadaan pura ini menciptakan hubungan visual yang kuat dengan gunung suci ini, menjadikannya tempat ibadah yang sangat berarti bagi masyarakat Bali.
Pura Besakih diyakini sebagai tempat "tumpangan" para dewa yang tinggal di Gunung Agung. Oleh karena itu, pura ini memainkan peran penting dalam berbagai upacara keagamaan Hindu di Bali. Terletak di tengah kompleks pura yang luas, Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat utama dalam pura ini dan dianggap sebagai "pura ibu" yang mewakili seluruh kompleks.
Hubungan antara Gunung Agung dan Pura Besakih menciptakan satu kesatuan yang harmonis antara alam dan kehidupan spiritual manusia di Bali. Melalui upacara-upacara keagamaan, persembahan, dan ritual lainnya, Gunung Agung dan Pura Besakih memainkan peran penting dalam menjaga keharmonisan budaya dan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat Bali. Mereka mencerminkan keyakinan mendalam akan perlindungan dan berkat para dewa serta hubungan erat antara alam dan kehidupan sehari-hari.
Kehadiran Pura Besakih di lereng Gunung Agung juga mencerminkan keyakinan mendalam akan perlindungan dan berkat para dewa dalam menjaga keberlanjutan alam dan kehidupan sehari-hari di Bali. Pura Besakih adalah salah satu contoh paling jelas bagaimana kepercayaan agama Hindu Bali dan kekayaan alam pulau ini saling terkait dan menguatkan satu sama lain. Dalam keseluruhan konteks budaya dan spiritual Bali, Gunung Agung dan Pura Besakih tetap menjadi titik fokus yang mempesona dan menginspirasi bagi penduduk setempat serta para wisatawan yang datang untuk merasakannya.
Gunung Agung bukan hanya merupakan monumen alam yang megah di Bali, tetapi juga merupakan simbol kepercayaan, budaya, dan identitas pulau ini. Kisah-kisah legendaris yang terkait dengan gunung ini mengungkapkan warisan spiritual yang dalam dan komitmen masyarakat Bali dalam menjaga keberlanjutan lingkungan sekitar gunung ini. Dengan penggabungan alam dan agama, Gunung Agung terus menjadi sumber inspirasi dan kekaguman bagi mereka yang datang untuk merasakannya.