Hanya Sekali Setahun: Sakralnya Rejang Ayunan, Menari Berayun di Pohon Cempaka Desa Pupuan

Rejang Ayunan merupakan sebuah persembahan budaya yang unik nan sakral di Desa Pupuan, Tabanan, Bali. Penarinya berasal dari "Dehe Teruna", remaja laki-laki yang baru beranjak dewasa. Tarian dengan prosesi unik yakni berayun di Pohon Cempaka ini hanya ditarikan sekali setiap setahun. Dibalik keunikannya, tersimpan cerita sejarah yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat Desa Pupuan.

Sep 10, 2023 - 04:53
Sep 10, 2023 - 16:09
Hanya Sekali Setahun: Sakralnya Rejang Ayunan, Menari Berayun di Pohon Cempaka Desa Pupuan
Pelaksanaan Rejang Ayunan (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)
Hanya Sekali Setahun: Sakralnya Rejang Ayunan, Menari Berayun di Pohon Cempaka Desa Pupuan

Ketika menjelajahi pesona Pulau Bali, pulau dengan surga alam dan budaya yang mempesona. Kita akan disuguhi dengan berbagai kekayaan kearifan lokal yang menghiasi pulau ini. Salah satunya ialah Rejang Ayunan. Ini mungkin akan sedikit mengagetkan Anda, dalam tarian ini para penari “menari sambil bergelantungan di pohon”. Ya, Anda membacanya dengan benar. Prosesi tarian ini memang dilaksanakan dengan cara bergelantungan di pohon secara bergantian. 

 

Rejang Ayunan, sebuah persembahan unik nan sakral yang dilakukan dengan penuh keagungan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan kaki Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Pupuan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Tepat seperti namanya, para penari Rejang Ayunan menarikan tarian ini dengan bergelantungan pada tali yang telah diikat pada dahan Pohon Cempaka di Pura Puseh Desa Bale Agung Pupuan. Pada awalnya, tali yang digunakan berasal dari kumpulan "buun", ranting pohon yang diikat menjadi satu. Namun, karena kelangkaannya kini penggunaannya beralih menjadi tali gami. Tarian ini hanya dapat ditarikan oleh “Dehe Teruna”, remaja laki-laki yang baru "menek bajang" dari Yowana Yodha Locita, Desa Pupuan. Hal ini merupakan simbol penghormatan terhadap generasi penerus yang sudah memasuki masa remaja.  

 

Pura Puseh Desa Bale Agung Pupuan (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

 

Namun, siapa sangka di balik keunikan tarian ini tersimpan cerita sejarah yang sangat menarik dan memiliki makna mendalam bagi masyarakat lokal. Sejarah Rejang Ayunan ini erat kaitannya dengan sejarah Desa Pupuan, tempat dimana tradisi ini berkembang kuat. Pada awalnya masyarakat Pupuan tinggal di Sego, sebuah wilayah tempat mereka bermukim sebelum Desa Pupuan didirikan. Sayangnya, Sego memiliki posisi yang terletak di dataran rendah, yang sering kali menjadi sumber masalah karena serangan semut yang merusak tanaman para petani. Masyarakat akhirnya memutuskan untuk berkomunikasi dengan “sang penjaga alam. Pesan yang didapatkan adalah mereka dilarang untuk membangun pemukiman di Sego. 

 

Masyarakat kemudian melakukan pencarian agar menemukan tempat yang lebih cocok untuk bermukim. Melakukan perjalanan dengan mengandalkan pohon yang digunakan untuk berayun dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Akhirnya, masyarakat menemukan sebuah tempat yang dikenal sebagai "Pelupuhan Kebo", sebuah wilayah dimana para kerbau biasanya dimandikan. Masyarakat pun memutuskan untuk mendirikan pemukiman disana. Meskipun terdengar tidak biasa, tetapi dari tempat inilah akhirnya muncul nama "Pupuan", yang berasal dari kata "Pelupuhan" dalam konteks ini merujuk pada Pelupuhan Kebo. Menarik bukan?

 

Setelah menetap di tempat baru tersebut, masyarakat mulai mengembangkan pertanian dan ternyata tanah mereka tumbuh subur. Disinilah masyarakat membuat janji dengan penjaga alam, berkomitmen untuk menghaturkan "ngayah" dengan menyajikan Tari Rejang Ayunan yang sakral ini setiap kali merayakan Pujawali di Pura Puseh Desa Bale Agung Pupuan. Tindakan ini merupakan wujud rasa syukur kepada alam dan lingkungan sekitar atas keberhasilan cocok tanam para petani. Dalam tradisi ini, masyarakat menemukan harmoni antara manusia dan alam yang begitu berharga sesuai dengan konsep Tri Hita Karana.

 

Pohon Cempaka di Jaba Sisi Pura (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

 

Terciptalah Rejang Ayunan, yang hanya boleh ditarikan saat Pujawali di Pura Puseh Desa Bale Agung Pupuan, saat Bulan Purnama Kapat yang datang setiap sekali setahun. Pohon Cempaka tempat penari berayun terletak di Jaba Sisi Pura, ini merupakan elemen penting dari ritual yang sangat sakral dan telah berlangsung selama berabad-abad.  Penglingsir Pura Puseh Bale Agung Desa Pupuan, Jero Mangku I Wayan Subata, menjelaskan bahwa Pohon Cempaka ini ditemukan oleh warga telah tumbuh menjulang sejak zaman dahulu bahkan sebelum beliau lahir. Hal ini menambah sentuhan misteri pada warisan budaya yang begitu berharga bagi masyarakat Desa Pupuan.

 

Rejang Ayunan melibatkan beberapa rangkaian yang berlangsung selama tiga hari yang dimulai dari Purnama Kapat. Dimulai dengan Rejang Sakral "pang telu" pada malam hari saat Purnama Kapat. Keesokan harinya dilanjutkan dengan Rejang Sakral "pang sia". Setelah dua hari berlalu dari Purnama Kapat, baru lah Rejang Ayunan akan ditarikan. Namun, sebelum tarian ini dimulai, ada persiapan awal yang melibatkan Rejang Sakral "pang solas" di mana penari lanang(laki-laki) dan "istri" (perempuan) menari secara bergantian, dilanjutkan dengan berpasangan. Kemudian, akan dilanjutkan dengan Tari Tajong - Tajong yang merupakan bagian dari Rejang Ayunan.

 

Tari Tajong - Tajong (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

 

Tari Tajong - Tajong merupakan tarian awal yang dilakukan sebelum “Dehe Truna berayun di Pohon Cempaka. Gerakan dalam tarian ini tergolong unik, yaitu menadahkan salah satu tangan ke depan, kemudian membawanya ke belakang punggung secara bergantian sambil mengangkat kaki dan dilakukan secara berulang kali. Gerakan ini memiliki makna mendalam dengan budaya masyarakat, yang tak henti-hentinya meminta atau nunas paica" kepada Ida Bhatara Sesuhunan di Pura Puseh Desa Bale Agung Pupuan. Selain itu, gerakan menarik tangan ke belakang menggambarkan perlunya mengambil atau dalam istilah Bahasa Bali "ngengkebang" paica tersebut agar tidak diambil oleh Bhuta Khala. Sebelum melangsungkan Tari Tajong-Tajong, para penari akan mengelilingi “jeroan” (Jaba Utama) sebanyak tiga kali. Setelah itu, penari akan bergerak ke Jaba Tengah dan mengelilinginya sebanyak tiga kali juga, dengan arah putaran ke kanan. Setelah tahap ini selesai, penari akan turun ke Jaba Sisi dan bergantian berayun di Pohon Cempaka, dimulai oleh Bendesa Adat atau Pengelingsir Desa, lalu diikuti oleh "Dehe Teruna".

 

Penari dalam Rejang Ayunan tidak dibatasi jumlahnya, asalkan mereka memenuhi persyaratan yaitu berasal dari "Dehe Teruna". Sekitar tahun 1980-an busana yang digunakan oleh para penari hanyalah kain kuning yang dililitkan di dada mereka atau biasa disebut dengan "metoros". Pada bagian belakang, "maseselet" (diselipkan) dengan "kadutan" (keris yang diikat dengan selendang). Namun, belakangan ini terjadi perubahan pada pakaian yang digunakan. Dimana kini para penari mengenakan safari putih, sebelum "metoros". Perubahan ini mencerminkan perkembangan dan adaptasi dalam tradisi Rejang Ayunan, tetapi tetap mempertahankan esensi dan makna mendalam dari tarian ini.

 

Penari Terakhir Membagikan Rambut Sedana (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

 

Selain Pohon Cempaka, prosesi Rejang Ayunan ini memang memiliki elemen lain yang tak kalah penting yaitu “kulkul” (kentongan) yang dibunyikan di Bale Kulkul, Pura Puseh Desa Bale Agung Pupuan. Serupa dengan fungsinya pada zaman dahulu, kentongan disini berfungsi sebagai isyarat untuk mengumpulkan warga. Dengan suara kentongan, warga tahu bahwa tarian sakral ini sedang berlangsung dan dengan segera berkumpul di Jaba Sisi Pura, tepatnya dibawah Pohon Cempaka. Berkumpulnya warga disini bukan tanpa makna. Warga menantikan penari terakhir yang akan berayun dan mendapatkan tugas untuk memanjat tali hingga mencapai dahan pohon. Pada dahan pohon, telah disiapkan “banten (sesajen) khusus yang berisi pejati, arak, ayam, dan uang pecahan 2000-an.

 

Penari tersebut kemudian membagikan rambut sedana” (uang) kepada warga yang menunggu di bawah Pohon Cempaka. Warga akan berebut mendapatkan bagian dari "banten" yang dibagikan oleh penari tersebut sebagai bentuk "paica" yang diminta oleh masyarakat sesuai dengan makna Tarian Tajong-Tajong sebelumnya, prosesi ini disebut dengan "pedanan-danan". Konon katanya mereka yang berhasil mendapatkan salah satu pecahan uang dari "banten" tersebut telah menerima "paica" dari Ida, yang diharapkan dapat membawa berkah dan keberuntungan dalam hidup mereka.

 

Rejang Ayunan tidak hanya menjadi tarian, tetapi juga sebuah jendela menuju masa lalu yang masih hidup dan memberi makna. Sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas Desa Pupuan, tarian ini menjadi pengingat akan pentingnya menghormati alam sebagai manifestasi dari konsep Tri Hita Karana, yaitu Palemahan”. Harapnya kisah ini terus menyala dalam sorotan budaya Bali, sebagai warisan yang patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi “Dehe Teruna”, khususnya Desa Pupuan mendatang.