Jejak Perjuangan Terbangunnya Pura Kawitan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas
Bali terkenal dengan julukan Pulau Seribu Pura. Beragam pura yang terdapat di Bali. Pura-pura tersebut dibagi menjadi beberapa kelompok kembali, salah satunya adalah Pura Kawitan. Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Salah satu Pura Kawitan yang ada di Bali adalah Pura Kawitan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas. Mari kita jelajahi bagaimana jejak perjuangan terbangunnya Pura Kawitan tersebut.
Pura kawitan Sira Arya Gajah Para Bretara Sira Arya Getas berada di kabupaten buleleng, Bali. Pura kawitan tersebut berawal dari putra sulung dari Jaya Katha yang bernama Arya Wayahan Dalem Manyeneng. Arya Wayahan Dalem Manyeneng berputrakan dua orang laki-laki, yang sulung bernama Arya Gajah Para dan adik beliau bernama Arya Getas. Arya Gajahpara, bersama saudara beliau Arya Getas didesak oleh raja, sebagai mahapatih raja yang ada di Bali. Kedua Arya itu menurut dan mohon pamit untuk segera berangkat. Sampailah beliau menumpang di rumah I Gusti Bendesa Pulaki. Setelah menginap dua malam, kedua Arya tersebut diantar oleh I Gusti Bendesa untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di Samprangan.
Kedua Arya tersebut dinobatkan menjadi patih oleh sang raja yang bertempat di sebelah utara Tohlangkir, bermukim di Sukangeneb untuk membunuh raja Bedha Murdhi (Bedahulu). Beberapa lama kemudian kedua Arya tersebut masing-masing memiliki keluarga dan juga keturunan. Arya Getas setelah memiliki keturunan, diadu oleh Sri Maharaja, untuk menyerang daerah Selaparang. Singkat cerita, Arya Getas berhasil melakukan penyerangan tersebut, sehingga beliau disegani. Arya Getas kemudian memutuskan untuk menetap di daerah Selaparang tersebut.
Salah Satu Pelinggih yang Ada di Pura Tersebut (Sumber Photo: Koleksi Penulis)
Arya Gajah Para, setelah lama beliau berada di Sukangeneb, Toya Anyar. Karena masa tua Arya Gajah Para, beliau akan dijemput oleh Kala Mrtyu (Kematian), sudah tampak tanda-tanda kematiannya. Adapun pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya "Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung jasadku, di puncak gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari), dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh dan tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari". Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaler, cucu beliau mematuhi, tidak berani menolak pesan kakeknya.
Kemudian wafatlah Arya Gajah Para. Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti Ngurah Tianyar, tidak mengetahui wasiat tersebut, karena pada saat itu beliau tidak berada di rumah, beliau pergi ke Gelgel, menghadap pada Sri Maharaja bersama dengan I Gusti Ngurah Pegametan.
Setibanya kembali I Gusti Ngurah Tianyar, beserta saudaranya, semua menyongsong I Gusti Ngurah Tianyar dan diberitahukannya tentang wafatnya Arya Gajah Para. Kaget dan terhenyak hati I Gusti Ngurah Tianyar yang baru tiba. Lalu I Gusti Ngurah Kaler memberitahukan pesan wasiat tersebut. I Gusti Ngurah Tianyar terdiam. Semua ucapan yang disampaikan I Gusti Ngurah Kaler tidak disetujui oleh I Gusti Ngurah Tianyar. I Gusti Ngurah Tianyar bersikeras menyuruh semua rakyat, untuk mengerjakan segala upakara ngaben, dengan harapan agar jasad leluhurnya segera dikremasi karena hari baik sudah dekat.
Terikat oleh kesetiaan beliau terhadap kebenaran ucapan wasiat tersebut, perasaan marah I Gusti Ngurah Kaler tidak dapat dikendalikan. Kakaknya segera ditantang untuk berperang. Peperangan tersebut berlangsung sangat hebat, banyak rakyat hancur menjadi korban, darah bercucuran, dan mayat para prajurit menggunung. Dan beliau berdua berujung sama-sama meninggal.