Menggali Sejarah dan Tradisi Pura Puseh Bon Biu di Desa Adat Angantaka

Pura Puseh Bon Biu di Desa Adat Angantaka, Badung, memiliki nilai sejarah dan peran penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat setempat. Pura ini dibangun sekitar tahun 1750 Masehi seiring dengan berdirinya Desa Angantaka. Salah satu tradisi khas yang dilestarikan adalah upacara Ngunying, yang menjadi bagian penting dari warisan budaya masyarakat setempat.

Jan 19, 2025 - 14:30
Jan 7, 2025 - 01:18
Menggali Sejarah dan Tradisi Pura Puseh Bon Biu di Desa Adat Angantaka
Pura Puseh Bon Biu Desa Adat Angantaka (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pura Puseh Bon Biu terletak di Desa Adat Angantaka, Kecamatan Abiansemal, Badung. Pura ini memiliki nilai sejarah serta peran penting dalam kehidupan masyarakat setempat. Pura Puseh Bon Biu bersama Pura Desa, Pura Dadia Pasek Gelgel, dan Pura Puseh berada dalam satu kawasan yang menjadi pusat kegiatan adat. Kawasan ini berfungsi sebagai tempat sembahyang sekaligus melambangkan kehidupan adat yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Odalan Pura Puseh Bon Biu jatuh pada Buda Umanis Wuku Tambir, yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali berdasarkan kalender Bali. Pada hari tersebut, masyarakat berkumpul untuk melaksanakan persembahyangan dan berbagai upacara adat sebagai wujud syukur dan penghormatan kepada Ida Bhatara. Pura ini disungsung oleh pemaksan Puseh Bon Biu, yang bertanggung jawab menjaga kelestarian pura serta memastikan semua upacara dan tradisi keagamaan tetap berlangsung sesuai dengan nilai-nilai adat yang diwariskan turun-temurun.

Pelinggih di Pura Puseh Bon Biu (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Sejarah berdirinya Pura Puseh Bon Biu erat kaitannya dengan berdirinya Desa Angantaka sekitar tahun 1750 Masehi. Dalam Babad Puri Blahbatuh, diceritakan bahwa salah satu trah Raja Blahbatuh meninggalkan purinya untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan yang dapat memecah belah keluarga kerajaan. Dalam upaya menjaga keharmonisan, tokoh tersebut berkumpul dengan sekitar 50 pengikut setianya dari berbagai desa, seperti Desa Bon Biu, Tojan, Pinda, Semipa/Banda, Keramas, dan Antugan.

Menurut analisa sesuai dengan Tri Pramana Pratyaksa, Agama, dan Anumana Pramana beliau mengumpulkan pendukung yang setia untuk mendukung perjalanan beliau di Puri Bon Biu. Para pendukung ini turut berperan penting dalam proses pembentukan dan penguatan komunitas di sana. Di tempat tersebut, mereka melakukan perjanjian niskala, yang menurut cerita orang tua, adalah untuk mendirikan pura sebagai bebaktan atau bawaan dari desa asal masing-masing. Ikatan spiritual yang mendalam antara Ida Bhatara Pemacek Jagat Desa Angantaka yang berstana di Puri Ageng Angantaka dengan Ida Bhatara Ratu Gede Bon Biu semakin menguatkan hubungan mereka. Oleh karena itu, pada saat pendukung berkumpul, mereka bersepakat untuk mendirikan pura yang akan mewakili asal-usul masing-masing desa. Sebagai bagian dari perjanjian niskala tersebut, pendirian pura menjadi sarana untuk menjaga dan mempererat hubungan antar komunitas, serta mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan mereka. Dengan berdirinya Desa Angantaka, pembangunan pura-pura pun dimulai sebagai representasi dari desa asal. Pura pertama yang didirikan adalah Pura Penataran Gedong sebagai Kahyangan Tiga, diikuti dengan pendirian Pura Puseh Bon Biu, dan pura-pura lainnya yang kemudian memperkaya kawasan tersebut.

Kori Agung (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pura Puseh Bon Biu merupakan wadah pelestarian tradisi adat dan keagamaan masyarakat setempat. Salah satu tradisi utama yang masih dilaksanakan hingga kini adalah upacara Mendak Bhatara Gede, yang digelar saat Pujawali atau Piodalan Nadi. Upacara ini menjadi momen sakral bagi masyarakat Desa Angantaka untuk memuliakan Ida Bhatara sebagai pelindung desa. Salah satu tradisi menonjol dalam rangkaian Piodalan adalah Ngunying, yang dilakukan setelah masyarakat mengambil air suci (tirta) di Pura Taman Sari (beji), berfungsi sebagai tempat penyucian. Setelah prosesi di beji, peserta melanjutkan perjalanan kembali menuju Pura Puseh Bon Biu untuk melaksanakan Ngunying. Dalam tradisi Ngunying, peserta membawa keris dan menancapkannya ke tubuh mereka sendiri. Meskipun tampak ekstrem, ini melambangkan keberanian, pengabdian, dan penghormatan mendalam kepada Ida Bhatara. Prosesi Ngunying ini diiringi oleh alunan gong atau tabuh Bali, menciptakan suasana khidmat dan memperkuat hubungan emosional antara peserta dan upacara yang berlangsung.

Tradisi Ngunying merupakan bagian penting dari warisan budaya yang memperkaya identitas masyarakat Desa Angantaka. Tradisi ini mengajarkan keberanian, rasa syukur, dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hingga kini, tradisi ini terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat dengan melibatkan berbagai kalangan, dari generasi muda hingga yang lebih tua. Pelaksanaannya menunjukkan bahwa masyarakat Desa Angantaka tetap setia menjaga nilai-nilai adat yang diwariskan oleh leluhur mereka.