Nedunin Dewa Nini : Tradisi Agraris Sebagai Makna Rasa Syukur Atas Hasil Panen Yang Melimpah
Nedunin Dewa Nini adalah tradisi sakral di Bali yang melambangkan rasa syukur atas hasil panen dan kesejahteraan desa. Dalam prosesi ini, masyarakat secara khidmat mengarak Dewa Nini ke Pura Desa sambil membawa persembahan. Upacara ini tidak hanya mempererat hubungan spiritual dengan Tuhan, tetapi juga menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Artikel ini akan mengungkap lebih dalam tentang makna, rangkaian acara, dan pentingnya tradisi ini dalam kehidupan masyarakat Bali.
Tradisi Nedunin Dewa Nini yang berlangsung di Desa Adat Padang Luwih, Dalung, Kuta Utara, Badung, Bali, adalah sebuah acara religius yang juga diwarnai dengan prosesi mepeed. Dalam prosesi ini, Dewa Nini diarak menuju Pura Desa lan Puseh dengan cara yang unik, yaitu ibu-ibu desa berbaris rapi seperti dalam sebuah pawai. Mereka membawa Dewa Nini di atas kepala (mesuwunan), sebagai bentuk penghormatan, sambil mengenakan pakaian adat Bali yang khas. Dalam pawai tersebut, mereka diiringi oleh suara gamelan tradisional, khususnya baleganjur, yang dimainkan oleh para pria di desa. Musik gamelan ini menambah suasana sakral dan khusyuk saat arak-arakan berjalan.
Kedatangan Sesuwunan atau Dewa Nini (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Rute perjalanan dimulai dari Bale Banjar, titik kumpul masyarakat, kemudian terus berjalan hingga sampai di Pura Desa lan Puseh, dan berakhir di Bale Agung, sebuah bangunan panggung yang panjang dan tinggi. Bale Agung ini memiliki fungsi khusus sebagai tempat meletakkan Dewa Nini selama prosesi berlangsung. Selain prosesi mepeed yang penuh khidmat ini, pada hari tersebut juga diadakan upacara Mesoda dan sembahyang bersama yang diikuti oleh seluruh warga desa. Kedua upacara ini merupakan bentuk syukur yang mendalam dari masyarakat kepada Tuhan atas hasil panen yang telah mereka terima, sebagai simbol keberkahan dari Dewa Nini atau Dewi Sri.
Persembahyangan Bersama di Pura Desa Lan Puseh (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Puncak dari rangkaian upacara Nedunin Dewa Nini ini berlangsung pada hari Bulan Purnama Kedasa. Pada hari ini, berbagai kegiatan sakral diadakan, termasuk pependetan, yang merupakan tarian suci, serta ilen-ilen tetoyan, hingga persembahyangan bersama yang dimulai pada sore hari sekitar pukul 19.00 dan berlangsung hingga selesai. Persembahyangan ini menjadi puncak dari seluruh rangkaian acara, yang menggambarkan rasa hormat dan pengabdian warga desa kepada Dewa Nini. Momen ini sangat penting dalam tradisi desa, karena merupakan saat di mana para dewa dipuja dengan khidmat.
Pengetisan Air Suci Sesuwunan atau Dewa Nini (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Hari terakhir dari prosesi ini jatuh sehari setelah Purnama Kedasa. Pada hari ini, acara dimulai dengan menghaturkan sesajen (Mesode) dan Caru Penyineb, yang merupakan upacara khusus untuk menghormati dan menenangkan roh atau kekuatan negatif agar tidak mengganggu jalannya upacara serta kehidupan masyarakat. Setelah upacara ini selesai, Dewa Nini kemudian dibawa kembali ke rumah masing-masing warga. Di rumah, Dewa Nini biasanya ditempatkan di Jineng, yaitu lumbung padi tradisional, atau di plangkiran dapur yang terletak di sisi timur laut dapur rumah warga. Dengan selesainya rangkaian upacara Nedunin Dewa Nini ini, masyarakat diperbolehkan untuk memulai proses panen padi dan mengolahnya menjadi beras, yang akan menjadi makanan pokok mereka. Ini menandai bahwa mereka telah mengucapkan syukur atas rezeki yang diterima dan memohon berkah untuk masa depan.
Ibu - Ibu Desa menempatkan Dewa Nini di Jineng Rumah (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Setelah seluruh rangkaian prosesi Nedunin Dewa Nini selesai, warga desa merasakan kelegaan dan kepuasan spiritual yang mendalam. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud rasa syukur atas hasil panen yang melimpah, tetapi juga merupakan simbol keteguhan masyarakat dalam menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan para dewa. Dengan mengarak Dewa Nini dan menempatkannya di Jineng atau plangkiran dapur, masyarakat Bali memperkuat keyakinan bahwa keberkahan pertanian yang mereka terima adalah hasil dari upaya menjaga keseimbangan kosmis. Tradisi ini terus dijaga agar tidak hanya sekadar menjadi acara adat, tetapi juga sebagai sarana edukasi bagi generasi muda tentang pentingnya menghormati alam, leluhur, dan Tuhan. Meskipun dunia terus berkembang dengan berbagai modernisasi, nilai-nilai sakral dalam tradisi Nedunin Dewa Nini tetap terjaga, menjadi pengingat bagi warga akan pentingnya spiritualitas dan keberlanjutan lingkungan. Dengan kesadaran akan makna spiritual dan sosial yang mendalam, upacara ini berperan penting dalam mengikat komunitas secara kolektif, memperkokoh identitas budaya, serta menjamin keberlanjutan tradisi agraris yang telah berlangsung selama berabad-abad.