Penyawangan Pura Dalem Karang Tengah : Bentuk Akulturasi antara Budaya Hindu (Bali), Islam (Jawa), dan Tionghoa (Cina)
Pura Dalem Karang Tengah, di antara Pelabuhan Benoa dan Tanjung Benoa, telah hilang. Seorang nelayan Desa Tanjung Benoa membangun Pura Penyawangan di dekatnya. Upacara Piodalan di Pura ini diadakan setiap enam bulan sekali pada hari Saniscara Kliwon, wuku Landep (Tumpek Landep). Pura ini mencerminkan akulturasi budaya dan menghormati tiga agama: Hindu (Bali), Islam (Jawa), dan Tionghoa (Cina).
Bali merupakan Provinsi yang dikenal dengan nama Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. sebutan ini memiliki arti dan makna tersendiri sebagai identitas Pulau Bali. Pulau Bali didominasi oleh umat beragama Hindu yang memiliki kepercayaan dan mengenal adanya leluhur dan para dewa. Dewa adalah sinar suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan banyak sinar suci, anugerah dan berkah kepada seluruh makhluk hidup di dunia. Selain itu, Bali juga sering disebut sebagai Pulau Seribu Pura, yang memiliki arti sangat banyak terdapat pura-pura di seluruh penjuru dan wilayah di Bali. Pura ini merupakan tempat suci sebagai stana dari para leluhur dan para dewa sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, serta pura juga merupakan tempat persembahyangan bagi para umat beragama Hindu. Adapula beberapa jenis pura di Bali, yaitu Pura Tri Kahyangan, Pura Sad Kahyangan, Pura Dhang Kahyangan, Pura Leluhur atau biasa disebut Pura Kawitan dan yang lain-lain.
Keberadaan pura-pura umat Hindu di Bali tidak hanya sebagai bukti sejarah adanya kebudayaan, tetapi adapula beberapa tempat suci atau pura di Bali sebagai bukti adanya akulturasi budaya dan agama. Salah satu pura di Bali yang merupakan wujud dan bukti nyata adanya akulturasi budaya dan agama yaitu Pura Dalem Karang Tengah di Desa Adat Tanjung Benoa. Pura Dalem Karang Tengah terletak di Desa Adat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Pura Dalem Karang Tengah merupakan pura yang berada di antara Pelabuhan Benoa dan Tanjung Benoa yang saat ini wujudnya sudah tidak tampak. Pada awalnya Pura Dalem Karang Tengah berbentuk seperti gundukan batu karang berwarna putih yang dikelilingi oleh palung laut yang dalam. Lokasi Pura Dalem Karang Tengah merupakan daerah pertemuan lima aliran sungai, yaitu Sungai Suwung, Sungai Badung, Sungai Candi Darmada, Sungai Jimbaran, dan Sungai Terora. Zaman dahulu, ketika Pelabuhan Benoa masih digunakan sebagai jalur perdagangan, para pedagang dan para nelayan yang melewati pura ini akan menghaturkan canang atau sesajen untuk Ida Bhatara Pura Dalem Karang Tengah.
Setelah itu, salah satu nelayan yang merupakan masyarakat Desa Tanjung Benoa membuatkan pelinggih Pura Dalem Karang Tengah di pesisir kawasan Pantai sebelah utara Desa Tanjung Benoa. Tetapi lama-kelamaan kondisi pelinggih tersebut terkena abrasi dan dipindahkan serta dibuatkan pura penyawangan ke salah satu tempat di wilayah Desa Tanjung Benoa, tepatnya di sebelah utara Pura Desa lan Puseh dan Catus Pata Desa Adat Tanjung Benoa yang dulunya masih hutan rimba. Untuk tahun pembangunan Pura Dalem Karang Tengah ini, para leluhur, para pemangku, dan para pengempon Pura Dalem Karang Tengah tidak mengetahui secara persis kapan pura ini mulai dibangun. Namun terdapat beberapa bukti-bukti sejarah dan adanya hubungan pertemanan serta hubungan dagang dengan masyarakat Islam (Jawa) dan dengan masyarakat Tionghoa (Cina). Selain itu terdapat pula bukti-bukti patung cinderamata berupa gajah-gajah perunggu yang hingga saat ini masih ada dan disimpan dengan sangat baik serta disungsung di pura ini.
Pelinggih - pelinggih Pura Dalem Karang Tengah (Sumber : Koleksi sendiri)
Untuk penyungsung atau pengempon Pura Dalem Karang Tengah awalnya hanya satu keluarga saja, tetapi pada saat ini pengempon Pura Dalem Karang Tengah sudah berkembang hingga 19 Kepala Keluarga. Pura Dalem Karang Tengah ini termasuk pura Penyiwi atau Penyawan yang merupakan pura umum, jadi siapapun boleh bersembahyang di pura ini. Masyarakat Desa Adat Tanjung Benoa juga banyak yang menghanturkan banten dan bersembahyang di Pura Dalem Karang Tengah pada saat hari raya suci umat Hindu dan pada saat piodalan setiap enam bulan sekali yang bertepatan dengan hari Saniscara Kliwon, wuku Landep atau biasa disebut dengan Tumpek Landep.
Pada saat Piodalan di Pura Dalem Karang Tengah dimulai dengan pemelastian di segara atau pantai. Pemelastian dilaksanakan di segara atau pantai sebelah utara Desa Tanjung Benoa, yang merupakan tempat atau linggih pertama Ida Bhatara Dalem Karang Tengah sebelum dipindahkan ke tempat saat ini. Tetapi seiring berjalannya waktu, wisata bahari di Pantai Desa Tanjung Benoa mulai berkembang pesat, sehingga keberadaan tempat untuk pemelastian mulai terhimpit karena adanya fasilitas-fasilitas pokok dan pendukung pariwisata tersebut. Selain itu, pada pantai sebelah utara Desa Tanjung Benoa juga terdapat pertamina yang sangat dekat dengan tempat pemelastian yang terkadang mengganggu aktivitas keagamaan disana. Sehingga pada saat ini, aktivitas keagamaan seperti pemelastian dan yang lainnya dipindahkan ke sisi pantai sebelah timur laut Desa Tanjung Benoa, yang berdekatan dengan Pura Dalem Ning, Pura Taman Beji dan Kelenteng Caow Eng Bio.
Pelinggih Ida Ratu Gede Ngurah Subandar (Sumber : Koleksi sendiri)
Pura Dalem Karang Tengah ini sangat kental akan budaya akulturasi dan merupakan pura pemersatu yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan agama dan budaya, karena di pura ini terdapat tiga pelinggih yang berisikan patung Hindu (Bali), Islam (Jawa), dan Tionghoa (Cina). Pelinggih-pelinggih di Pura Dalem Karang Tengah antara lain Pelinggih Ida Bhatara Karang Tengah yang merupakan pelinggih penyawangan Ida Karang Tengah sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dahulu melinggih dan berada di kawasan Pelabuhan Benoa, tetapi saat ini wujudnya sudah tidak tampak. Pelinggih kedua yaitu Pelinggih Ida Ratu Gede Ngurah Subandar yang merupakan pelinggih kepercayaan Tionghoa (Cina). Ketiga yaitu Pelinggih Dalem Majapahit yang merupakan pelinggih kepercayaan Hindu Nusantara. Keempat yaitu Pelinggih Ida Dalem Solo merupakan pelinggih kepercayaan Islam (Jawa) dan pelinggih yang kelima yaitu Pelinggih Ida Dalem Mekah, serta terdapat pula sebuah gedong suci yang bernama Gedong Penyimpenan sebagai tempat atau linggih Ida Macan Gading yang merupakan penjaga dan ancang iringan Ida Bhatara sesuhunan yang ada di Pura Dalem Karang Tengah.
Pelinggih Ida Dalem Solo (Sumber : Koleksi sendiri)
Keberadaan adanya pelinggih yang berisi patung Cina dan pelinggih yang berisi patung Islam di Pura Dalem Karang Tengah ini, karena zaman dahulu adanya hubungan dari para leluhur pengempon pura ini yang sangat dekat dengan masyarakat Islam (Jawa) dan masyarakat Tionghoa dari CIna, yang pada saat dulu sering melakukan hubungan perdagangan di perairan laut Tanjung Benoa. Selain itu, karena eratnya hubungan para leluhur dengan para masyarakat Islam (Jawa), dahulu di Pura Dalem Karang Tengah pernah dibuatkan tradisi tarian ludruk yang sama persis dengan tarian ludruk yang ada di Jawa. Tetapi seiring berjalannya waktu, tidak ada yang meneruskan tradisi tarian ludruk hingga saat ini dan akhirnya dibubarkan. Adapula pantangan dari para leluhur yang tidak boleh dilakukan pada saat piodalan atau upacara adat keagamaan lainnya di Pura Dalem Karang Tengah ini yaitu untuk sesajen dan sarana keagamaan yang lainnya sama sekali tidak boleh menggunakan daging babi. Pantangan ini tidak boleh dilanggar dan sudah dilakukan dari zaman dahulu hingga saat ini.