Prabu Airlangga: Sang Penakluk yang Melepaskan Tahta

Setelah Kerajaan Medang dihancurkan, ia melarikan diri ke hutan dan hidup dalam pengasingan. Airlangga berhasil merebut kembali wilayah Medang dan mendirikan Kerajaan Kahuripan. Ia membagi kerajaan menjadi dua, Janggala dan Panjalu, untuk menghindari perebutan kekuasaan.

Mar 30, 2025 - 03:22
Nov 13, 2024 - 04:08
Prabu Airlangga: Sang Penakluk yang Melepaskan Tahta
Prabu Airlangga Memimpin Pasukannya (Sumber: Koleksi Pribadi)

Prabu Airlangga lahir sekitar tahun 990 M dengan nama asli Erlangga. Ia adalah putra dari Raja Udayana dari Kerajaan Bali dan Mahendradatta, seorang putri dari Wangsa Isyana yang memerintah di Kerajaan Medang di Jawa Timur. Dari darah kedua orang tuanya, Airlangga memiliki hubungan dengan dua kerajaan besar di wilayah Nusantara: Bali dan Jawa Timur. Hal ini menjadikan Airlangga sebagai figur penting yang memiliki legitimasi dari kedua pihak.


Ketika Airlangga beranjak dewasa, ia dikirim ke Kerajaan Medang di Jawa Timur untuk memperkuat hubungan politik antara kedua kerajaan melalui pernikahan. Ia menikah dengan putri dari Raja Dharmawangsa Teguh, penguasa Medang saat itu.

Prabu Airlangga Bekerjasama Dengan Kerjaan Lain (Sumber: Koleksi Pribadi)

Sayangnya, pada tahun 1006 M Kerajaan Medang diserang dan dihancurkan oleh pasukan Kerajaan Wurawari. Serangan ini dikenal sebagai “Pralaya Medang” atau kehancuran Medang. Raja Dharmawangsa Teguh tewas dalam peristiwa itu, dan Airlangga terpaksa melarikan diri ke hutan bersama para pengikut setianya. Pada saat itu, ia baru berusia sekitar 16 tahun.

Selama pelariannya, Airlangga menjalani hidup yang keras dan sederhana. Ia tinggal di hutan dan gunung bersama dengan para pertapa, di mana ia belajar tentang filosofi, spiritualitas, serta seni pemerintahan. Meskipun kehilangan segala kekuasaan, Airlangga tidak kehilangan semangatnya untuk suatu hari kembali dan membangun kembali kejayaan yang telah hilang. Para pengikutnya tetap setia, dan ia pun perlahan mengumpulkan kekuatan.

Pada tahun 1019 M, setelah sekitar 13 tahun dalam pengasingan, Airlangga akhirnya berhasil mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk memulai perjuangan merebut kembali kekuasaan. Dengan dukungan dari rakyat dan para bangsawan yang masih setia, ia berhasil menaklukkan wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Medang. Ia mendirikan kembali kerajaan yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Kahuripan, dengan ibu kota di Watan Mas.

Airlangga kemudian menobatkan dirinya sebagai raja dengan gelar “Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.” Ia memulai proses rekonstruksi kerajaan dengan membangun kembali struktur administratif dan ekonomi. Pada masa pemerintahannya, Airlangga berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, bahkan hingga mencakup sebagian besar Jawa Timur dan sebagian Bali. Airlangga berusaha mengembalikan kemakmuran yang pernah dicapai oleh Kerajaan Medang.

Salah satu tantangan terbesar datang dari para penguasa lokal dan bangsawan yang memiliki ambisi untuk memerdekakan diri. Selain itu, Airlangga juga harus menghadapi ancaman dari kerajaan-kerajaan tetangga yang mencoba merebut wilayah kekuasaannya.

Prabu Airlangga Melawan Penguasa Lokal dan Bangsawan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Untuk mengatasi perpecahan dan menjaga stabilitas, Airlangga melakukan serangkaian reformasi besar-besaran. Ia memperbaiki sistem perpajakan, mereorganisasi birokrasi, dan membangun infrastruktur yang penting, seperti irigasi dan pelabuhan. Airlangga juga memperkuat hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya dan meningkatkan perdagangan maritim, khususnya dengan Sriwijaya yang saat itu masih menjadi kekuatan besar di Sumatra.

Salah satu pencapaian terbesarnya dalam hal reformasi adalah pembagian kekuasaan ketika ia memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi dua setelah kematiannya. Pada tahun 1042 M, merasa bahwa kekuasaannya terlalu besar untuk dikuasai oleh satu orang, Airlangga memutuskan untuk membagi wilayahnya menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Janggala dan Kerajaan Panjalu (yang juga dikenal sebagai Kediri). Pembagian ini dilakukan untuk mencegah perebutan kekuasaan antara kedua putranya yang bersaing untuk menggantikannya. Namun, pembagian ini justru melahirkan persaingan antara kedua kerajaan yang berlangsung selama beberapa abad berikutnya.

Selain dikenal sebagai raja yang bijaksana dalam politik dan pemerintahan, Airlangga juga dikenal sebagai sosok yang sangat religius. Setelah membagi kerajaannya, Airlangga memilih untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi seorang pertapa. Ia dikenal sangat tertarik pada ajaran Hindu dan Buddha, dan pada akhir hidupnya ia mengabdikan dirinya pada kehidupan spiritual.

Prabu Airlangga Bertapa di Gunung Penanggungan (Sumber: Koleksi Pribadi)

Prabu Airlangga meninggal sekitar tahun 1049 M. Di Gunung Penanggungan, Airlangga hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu, dan ia meninggal dunia di sana. Gunung Penanggungan dianggap sebagai tempat yang penuh makna spiritual dalam tradisi Jawa kuno, dan kisah tentang Airlangga yang meninggalkan takhta untuk hidup sederhana menunjukkan dedikasinya terhadap kehidupan yang selaras dengan ajaran agama dan spiritualitas.


Dalam bidang kebudayaan, Airlangga juga dikenal sebagai patron seni dan sastra. Pada masanya, sebuah karya sastra besar, Arjuna Wiwaha, ditulis oleh Mpu Kanwa, yang menggambarkan perjalanan spiritual dan kepahlawanan Airlangga dengan menggunakan tokoh Arjuna sebagai alegori. Karya ini menjadi salah satu karya sastra klasik Nusantara yang sangat berpengaruh.

Prabu Airlangga Menulis Karya Sastra (Sumber: Koleksi Pribadi)

Warisan politik Airlangga juga tetap terasa melalui keturunannya. Kerajaan-kerajaan yang terbentuk dari pembagian wilayah oleh Airlangga, yaitu Janggala dan Panjalu, kelak berkembang menjadi kerajaan besar seperti Kerajaan Kediri dan Singhasari, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Majapahit, salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.

Files