Pura Negara Gamburanglayang: Menilik Lebih Dalam Keunikan Pura yang Menggambarkan Keberagaman di Bali

Dalam riuhnya gemerlap pariwisata di Buleleng, ada sebuah harta tersembunyi yang jauh dari sorotan wisatawan biasa. Di antara keindahan alam dan ragam kuliner yang memikat, terselip sebuah permata yang jarang terungkap. Pura Negara Gamburanglayang, sebuah peninggalan spiritual yang tak hanya menakjubkan secara arsitektural, tetapi juga memancarkan pesona keberagaman dan makna mendalam yang sulit diukur.

Jan 7, 2024 - 06:51
Dec 13, 2023 - 20:21
Pura Negara Gamburanglayang: Menilik Lebih Dalam Keunikan Pura yang Menggambarkan Keberagaman di Bali
Tugu Pura Negara Gamburanglayang (Sumber : Koleksi Pribadi)

Buleleng, surga pariwisata yang berkilau di utara Bali, sering kali dikenal dengan pesona kuliner lezat dan Pantai-pantai eksotis yang memikat. Namun, dibalik keramaian pariwisata di Buleleng, terselip sebuah harta tersembunyi yang sering luput dari perhatian wisatawan.

  

Sedikit mengarah ke timur, terdapat banyak peninggalan sejarah yang menjadi bukti banyaknya situs kuno. Pura Negara Gamburanglayang, salah satu peninggalan spiritual yang kaya akan sejarah dan makna, yang menjadi simbol kesatuan dari keberagaman yang sayang untuk dilewatkan.

  

Multikulturalisme telah menjadi bagian dari keberadaan manusia sejak abad ke-13, dan salah satu bukti kuatnya adalah hadirnya Pura Gambur Negeri Anglayang. Pura ini di dirikan pada tahun 1260, berdiri di sebuah daerah bernama Kubutambahan yang dulunya merupakan lokasi menyatukan lautan luas dengan danau yang tenang sebelum menjadi rumah bagi Pura Negara Gamburanglayang.

  

Jajaran Pelinggih yang berdiri berdampingan (Sumber : Koleksi Pribadi)  

Pura Negara Gamburanglayang menyimpan keunikan yang memiliki makna mendalam, bagaimana tidak, didalam pura ini terdapat beberapa pelinggih yang mencerminkan kebhinekaan, mulai dari pelinggih Ratu Bagus Sundawan yang mewakilkan unsur suku Sunda, Ratu Bagus Melayu yang mewakilkan unsur suku Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang mewakilkan unsur China Atau Buddha, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Siwa dan Batara Surya yang mewakilkan unsur Agama Hinduserta yang paling unik Ratu Gede Dalem Mekah yang mewakilkan unsur Agama Islam. Pelinggih ini berdiri berdampingan dalam satu lahan sebagai simbol keberagaman bersatu dalam sebuah ruang damai.

  

Pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah sebagai simbol agama Islam (Sumber : Koleksi Pribadi)

Dahulu sebelum menjadi Pura tempat ini merupakan pelabuhan dagang bernama Kuta Baning (Benteng Perang). Karena perannya sebagai pusat perdagangan seluruh nusantara, maka pelabuhan dagang ini dikelilingi dengan benteng-benteng demi keamanan. Sebagai pusat perdagangan yang ramai, kawasan ini dikunjungi oleh masyarakat dari suku, agama, dan ras yang berbeda dari pulau-pulau lainnya berkumpul disana dan melakukan transaksi.

  

Pada jaman dahulu pedagang laut dan para pendeta yang membawa misi agama dapat masuk pulau Bali melalui pantai mana saja, karena mereka menggunakan perahu-perahu dan sampan kecil.

  

Berkat usaha keras yang dilakukan oleh Raja Bhatara Parameswara akhirnya perekonomian pada masa itu cukup berkembang, hubungan perdagangan antar pulau, antar luar negeri cukup lancar antara lain hubungan dengan Sunda, Melayu, India, Mekah, Cina sehingga daerah Kawista cukup Makmur.

  

Pada suatu saat terkisah sebuah Bahtera (Kapal Kayu) dengan beberapa awak kapal dengan bermacam etnis (suku) bersandar di Kuta Banding. Dengan tujuan untuk mencari bahan-bahan dagangan. Setelah mendapatkan kebutuhan awak kapal bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Namun, terjadi sebuah musibah secara serta merta perahu (bahtera) mengalami kebocoran sehingga tidak bisa berangkat. Dengan upaya maksimal para awak kapal dan dibantu oleh penduduk, namun usahanya sia-sia.

  

Akibat dari hal tersebut, penduduk setempat mengajak awak kapal beserta rombongan kapal untuk melakukan persembahyangan di pelinggih (parahyangan) pesisir Kuta Banding untuk memohon kekuatan, bantuan serta memohon keberhasilan.

  

Selama memperbaiki kebocoran kapal awak kapal berkomunikasi dengan para penduduk Kuta Banding, para nelayan, petani, dan pedagang. Mereka saling isi mengisi, dan bertukar pengalaman atau penduduk pesisir lebih banyak menyerap ilmu pengetahuan dari para awak kapal berupa pengetahuan dagang, pengetahuan bertani, nelayan termasuk pengetahuan keprajuritan.

  

Karena tempat ini diyakini menjadi tempat untuk mencari kehidupan dan kemakmuran, dari tempat ini, membuat individu dengan keberagaman keyakinan dan kepercayaan itu mendirikan sebuah tempat ibadah (Pura). Pura ini berdiri sebagai simbol yang mewakili upaya universal untuk mencapai pemenuhan spiritual bagi masyarakat, tanpa memandang asal usul mereka.