Pura Negara Gamburanglayang: Menilik Lebih Dalam Keunikan Pura yang Menggambarkan Keberagaman di Bali
Dalam riuhnya gemerlap pariwisata di Buleleng, ada sebuah harta tersembunyi yang jauh dari sorotan wisatawan biasa. Di antara keindahan alam dan ragam kuliner yang memikat, terselip sebuah permata yang jarang terungkap. Pura Negara Gamburanglayang, sebuah peninggalan spiritual yang tak hanya menakjubkan secara arsitektural, tetapi juga memancarkan pesona keberagaman dan makna mendalam yang sulit diukur.
Buleleng, surga pariwisata yang berkilau di utara Bali, sering kali dikenal dengan pesona kuliner lezat dan Pantai-pantai eksotis yang memikat. Namun, dibalik keramaian pariwisata di Buleleng, terselip sebuah harta tersembunyi yang sering luput dari perhatian wisatawan.
Jajaran Pelinggih yang berdiri berdampingan (Sumber : Koleksi Pribadi)
Pura Negara Gamburanglayang menyimpan keunikan yang memiliki makna mendalam, bagaimana tidak, didalam pura ini terdapat beberapa pelinggih yang mencerminkan kebhinekaan, mulai dari pelinggih Ratu Bagus Sundawan yang mewakilkan unsur suku Sunda, Ratu Bagus Melayu yang mewakilkan unsur suku Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang mewakilkan unsur China Atau Buddha, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Siwa dan Batara Surya yang mewakilkan unsur Agama Hindu, serta yang paling unik Ratu Gede Dalem Mekah yang mewakilkan unsur Agama Islam. Pelinggih ini berdiri berdampingan dalam satu lahan sebagai simbol keberagaman bersatu dalam sebuah ruang damai.
Pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah sebagai simbol agama Islam (Sumber : Koleksi Pribadi)
Dahulu sebelum menjadi Pura tempat ini merupakan pelabuhan dagang bernama Kuta Baning (Benteng Perang). Karena perannya sebagai pusat perdagangan seluruh nusantara, maka pelabuhan dagang ini dikelilingi dengan benteng-benteng demi keamanan. Sebagai pusat perdagangan yang ramai, kawasan ini dikunjungi oleh masyarakat dari suku, agama, dan ras yang berbeda dari pulau-pulau lainnya berkumpul disana dan melakukan transaksi.
Pada jaman dahulu pedagang laut dan para pendeta yang membawa misi agama dapat masuk pulau Bali melalui pantai mana saja, karena mereka menggunakan perahu-perahu dan sampan kecil.
Pada suatu saat terkisah sebuah Bahtera (Kapal Kayu) dengan beberapa awak kapal dengan bermacam etnis (suku) bersandar di Kuta Banding. Dengan tujuan untuk mencari bahan-bahan dagangan. Setelah mendapatkan kebutuhan awak kapal bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Namun, terjadi sebuah musibah secara serta merta perahu (bahtera) mengalami kebocoran sehingga tidak bisa berangkat. Dengan upaya maksimal para awak kapal dan dibantu oleh penduduk, namun usahanya sia-sia.