Di tengah gempuran zaman modern, masih ada sosok-sosok yang berdiri teguh menjaga warisan seni dan budaya. Salah satunya adalah Sanggar Sabda Kencana Sakti (SKS), yang didirikan oleh I Ketut Gede Antara, atau yang akrab disapa Pak Tut De. Selama hampir dua dekade, sanggar ini menjadi rumah bagi ratusan hingga ribuan murid yang belajar seni gender wayang dan ikut melestarikan budaya Bali.
Filosofi Nama dan Awal Berdiri
Nama Sabda Kencana Sakti dipilih bukan tanpa alasan. Pak Tut De menjelaskan bahwa nama ini berasal dari kata sabda yang berarti suara atau bunyi, kencana yang berarti emas, dan sakti yang berarti kejayaan. “Soleh asane munyin gambel rage nah,” ucap beliau sambil tersenyum, menjelaskan bahwa suara gamelan di sanggarnya memiliki nuansa berbeda dan khas dibandingkan dengan gamelan di sanggar lain. Bahkan laras pada gamelan miliknya memiliki sedikit perbedaan, sehingga menghasilkan bunyi yang unik.
Sanggar ini berdiri pada tahun 2005, sekitar dua puluh tahun yang lalu. Saat itu, Pak Tut De sudah berkeluarga dan merasakan betapa sulitnya mencari penabuh gender wayang ketika ada upacara adat atau ngayah. Gender wayang memang salah satu jenis gamelan yang paling sulit dimainkan, sehingga penabuhnya pun sangat terbatas. Dari situ lahir ide untuk mencetak lebih banyak penabuh baru agar kegiatan ngayah di banjar dan desa bisa tetap berjalan tanpa hambatan.
Perjalanan dan Motivasi Mendirikan Sanggar
Penghargaan yang Telah Diraih (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pada awalnya, Pak Tut De tidak langsung berniat membuat sanggar besar. Ia hanya ingin membuat sebuah perkumpulan kecil yang bisa diajak ngayah bersama. Ia mulai dengan mengajarkan anaknya sendiri yang saat itu baru duduk di kelas satu SD. Dengan satu lagu yang diulang-ulang, mereka berdua ngayah dari satu banjar ke banjar lain di wilayah Ubung Kaja.
Lambat laun, teman-teman sekolah sang anak ikut bergabung. Jumlah murid pun bertambah hingga mencapai 20 orang. Namun masalah muncul karena saat itu sanggar hanya memiliki dua pasang gender wayang. Banyak warga kemudian menyarankan agar Pak Tut De menambah alat gamelan agar proses latihan lebih efektif. Karena minimnya dana dan belum adanya bantuan dari pemerintah, para orang tua murid bergotong-royong mengumpulkan dana hingga berhasil membeli dua alat lagi.
“Lucunya, setelah alat bertambah jadi empat, muridnya malah bertambah sampai 50 orang,” kenang Pak Tut De. Karena jumlah alat masih terbatas, ia harus mengatur jadwal latihan sejak pagi hingga malam, bahkan ada murid yang dititipkan dari pagi hingga malam demi mendapatkan giliran latihan. Dari situ, sedikit demi sedikit ia mulai mencicil pembelian alat tambahan hingga kini sanggar memiliki sekitar 40 alat gamelan lengkap.
Darah Seni dan Inspirasi
Ternyata kecintaan Pak Tut De terhadap seni bukan datang tiba-tiba. Ia lahir dari keluarga yang kental dengan darah seni. Kakek dan ayahnya dikenal vokal dalam dunia seni, khususnya permainan gamelan. Pamannya, almarhum Pak Sinti, bahkan pernah bolak-balik ke luar negeri memperkenalkan seni karawitan dan mengajar gamelan di berbagai tempat. Hal inilah yang membuat kecintaan Pak Tut De terhadap seni begitu kuat dan ingin diteruskan melalui sanggar.
Perkembangan Lokasi dan Fasilitas
Putra Pendiri SKS Melatih Gender Wayang (Sumber: Koleksi Pribadi)
Lokasi sanggar yang sekarang adalah tempat baru yang dipindahkan dari rumah pribadi beliau. Alasan pemindahan ini cukup sederhana: lokasi lama berada di gang sempit, sulit parkir, dan menimbulkan kebisingan bagi tetangga. Kini sanggar berada di tengah sawah dengan area parkir luas dan suasana lebih kondusif untuk latihan.
Kegiatan, Latihan, dan Filosofi Pengajaran
Latihan di Sabda Kencana Sakti selalu dimulai dari hal mendasar. “Kalau gender wayang itu yang diutamakan adalah tekniknya dulu cara memegang panggul, cara memukul, cara menutup,” jelas Pak Tut De. Setelah teknik dasar benar-benar dikuasai, barulah lagu-lagu mulai diajarkan sedikit demi sedikit agar murid bisa menghafal dengan baik. Bagian tersulit dari pembelajaran bukan pada menghafal lagu, tetapi menjaga teknik agar suara yang dihasilkan terdengar indah dan harmonis.
Pak Tut De juga selalu berusaha menanamkan nilai dan makna di balik seni yang dipelajari. Ia menjelaskan kepada murid-muridnya tentang fungsi gamelan dalam yadnya atau upacara keagamaan. “Yadnya itu bukannya je harus sembahyang saja yang namanya yadnya. Dengan cara yang berbeda pun kita bisa menyembah Tuhan,” ujar beliau. Hal ini membuat murid lebih memahami bahwa yang mereka pelajari bukan sekadar musik, tetapi bagian dari pengabdian dan doa.
Pementasan dan Eksistensi di Masyarakat
Generasi Muda SKS Siap Unjuk Kebolehan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Sanggar ini rutin tampil di berbagai acara. Di Denpasar, mereka berkesempatan mengisi Pentas Budaya setiap Minggu sore di Lapangan Puputan Badung. Sanggar juga rajin mengikuti Pekan Seni Remaja dan seleksi Pesta Kesenian Bali (PKB). Tujuannya sederhana: membiasakan murid tampil di depan umum agar percaya diri. Namun, penampilan yang paling sering tentu saja adalah untuk ngayah di upacara adat sesuai tujuan awal berdirinya sanggar.
Murid, Alumni, dan Kebanggaan Pendiri
Hingga kini, jumlah murid yang pernah belajar di Sabda Kencana Sakti diperkirakan mencapai ribuan. Saat memindahkan lokasi sanggar, Pak Tut De menemukan delapan hingga sembilan buku catatan nama siswa, masing-masing berisi 500–600 nama. Banyak di antara mereka yang kini telah memiliki pekerjaan tetap, ada yang menjadi polisi, dokter, bahkan membuka sanggar sendiri. “Saya merasa sangat bangga kalau anak didik saya sampai membuka sanggar dan ikut melestarikan budaya,” ucap beliau. Baginya, itulah tujuan utama dari berdirinya Sabda Kencana Sakti.
Pengalaman Paling Berkesan
Sang Pendiri Membimbing Langsung Proses Latihan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Salah satu pengalaman yang paling diingat adalah ketika sanggar berada di posisi krisis: murid membludak tetapi alat terbatas. Pak Tut De harus menyiasati agar semua murid tetap bisa berlatih. “Syukurnya para siswa sangat sabar menunggu giliran. Bahkan ada yang pulang sekolah langsung datang ke rumah saya untuk latihan,” kenang beliau. Pada awalnya, sistem pembayaran pun hanya seikhlasnya. “Masih berupa pembayarannya itu ada yang membawakan kopi, gula, hingga rokok,” ujarnya sambil tertawa. Bagi Pak Tut De, yang terpenting adalah semangat murid untuk belajar, bukan nominal uangnya.
Tantangan dan Harapan
Di tengah pesatnya hiburan modern, menjaga minat anak-anak muda untuk belajar gamelan menjadi tantangan tersendiri. Namun Pak Tut De optimis. Ia berharap pemerintah memberi lebih banyak wadah bagi anak-anak berbakat seni, baik dari segi pendidikan maupun pekerjaan, agar masyarakat tidak meragukan bakat seni pada generasi muda. “Harus kita yang di bawah bekerja, tapi pemerintah harus dia memberikan wadah,” tegasnya.
Sanggar Sabda Kencana Sakti adalah bukti nyata bahwa semangat satu orang bisa menyalakan api pelestarian budaya untuk ribuan orang lainnya. Dari hanya satu lagu dan dua alat gamelan, kini SKS menjadi pusat belajar gender wayang dengan puluhan alat dan ribuan alumni. Filosofi “suara emas” yang dipegang teguh sang pendiri terus hidup dalam setiap tabuhan murid-muridnya, memastikan suara budaya Bali tetap bergema di masa depan.