Terperangkap dalam Pesona dan Misteri Pura Gambur Anglayang di Pesisir Buleleng

Pura Gambur Anglayang di Bali adalah destinasi yang memukau, mencerminkan keindahan alam dan spiritualitas Hindu. Terletak di desa Gambuh, dengan arsitektur tradisional dan patung dewa yang mengesankan, pura ini cocok untuk meditasi dan refleksi. Selain tempat ibadah, Pura Gambur Anglayang juga berperan dalam budaya Bali, menjadi saksi ritual dan upacara adat. Ini adalah simbol penting dari warisan Hindu di Bali yang menawarkan kedamaian dan pemahaman spiritual.

Sep 9, 2023 - 06:44
Sep 9, 2023 - 07:41
Terperangkap  dalam Pesona dan Misteri Pura Gambur Anglayang di Pesisir Buleleng
Pura Gambur Anglayang (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dengan dihuni oleh penduduk yang beragam pula. Pulau Bali yang luasnya 5.632,86 Km 2 pada tahun 2011 dihuni oleh penduduk yang berjumlah 3.971.257 jiwa. Dengan perbandingan pemeluk agama di Bali adalah Islam (5,2 %), Kristen (0,8 %), Budha  (0,57%), dan Hindu (93,3%). Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2006 juga menunjukkan bahwa penduduk Bali 91,1% memeluk agama Hindu dan penduduk selain beragama Hindu hanya sekitar 9% saja. Jadi dapat diketahui bahwa Agama Hindu di Bali masih menjadi agama mayoritas yang dianut oleh orang Bali. 

 

Penduduk Bali yang berbeda agama itupun tidak berasal dari satu etnik saja, melainkan berasal dari berbagai etnik, seperti etnik Jawa, Bugis, Madura, Sasak, Tionghoa, Arab, dan lain-lain, bahkan dari warga asing luar Indonesia. Kemultietnikan tersebut telah berlangsung sejak abad ke-19 (Atmadja,2009:1). Bahkan, menurut Pageh (1999:12), pulau Bali memang sejak ratusan tahun yang lalu, sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16 telah menjadi salah satu daerah tujuan migrasi. Hal ini diperkuat oleh Mudana (2004:1) yang mengatakan bahwa daerah Bali pada dasarnya merupakan suatu daerah yang bersifat terbuka. Keterbukaan Bali terhadap masyarakat lainnya dapat dibuktikan dengan adanya berbagai peninggalan sejarah, baik dari zaman prasejarah maupun zaman sejarah.

 

Masyarakat Bali yang demikian, secara teoretis memiliki potensi konflik yang besar bertolak dari seluruh paparan di atas pendidikan multikultural sangatlah perlu diberikan dalam rangka menumbuhkan rasa kecintaan terhadap tanah air terutama dalam menerima suatu perbedaan, keberagaman, keanekaragaman seperti keanekaragaman etnik, budaya dan agama. Salah satu yang bisa dijadikan pendidikan informal adalah Pura Negara Gambur Anglayang. Pura yang menggambarkan ciri multikultural yang terletak di Desa Pakraman Kubutambahan, Buleleng. 

 

Bangunan Suci Pura Gambur Anglayang (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Hal yang menarik dari Pura Negara Gambur Anglayang adalah ditemukan delapan pelinggih unik yang mencerminkan unsur keberagaman dalam sebuah ruang damai. Kedelapan pelinggih tersebut adalah Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu dari unsur ras Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsur Cina atau Buddha, pelinggih Ratu Pasek, Dewi  Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam. Belakangan dalam pura ini juga dibangun sebuah padmasana. Uniknya lagi jika dicermati terlihat delapan pelinggih berdiri berdampingan dalam satu lahan yang sama tanpa adanya sekat yang memisahkan masing- masing pelinggih tersebut.

 

Keunikan-keunikan sebagaimana tampak dalam pura Negara Gambur Anglayang, menjadikannya suatu objek yang menarik untuk dikaji lebih lanjut melalui tindak penulisan. Hal yang menarik perhatian untuk dikaji adalah mengenai perspektif  historis struktur pura Negara Gambur Anglayang, yang dimana bangunan unik  semacam ini biasa didirikan dalam sebuah tatanan kehidupan masyarakat multikultural dan multiagama.

 

Kompleks pura atau komplek pelinggih yang terdapat di Pura Negara Gambur Anglayang amat langka ditemukan di Bali. Penulisan ataupun kajian mengenai Pura Negara Gambur Anglayang pun masih sangat minim dilakukan.  Sehingga semakin memberikan dorongan penulis untuk melakukan penulisan lebih lanjut. Semua itu akan coba dikaji dalam bentuk sebuah tulisan penulisan yang berjudul "Terperangkap dalam Pesona dan Misteri Pura Gambur Anglayang di Pesisir Buleleng, Bali". Pura Negara Gambur Anglayang terletak di daerah pantai Kuta Banding, Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Menurut Purana Bali Dwipa dan Usana Bali dijelaskan bahwa tahun saka 1103  Sri Ekajaya bertahta di pulau Bali. Pada masa pemerintahannya masyarakat sama sekali tidak menghiraukan segala upacara/ritual keagamaan secara implisit tata sukerta agama dalam konsep Tri Hita Karana tidak terlaksana. Setelah Sri Ekajaya wafat diganti oleh Bhatara Guru Sri Adikunti Retana sejarah Bali berada dalam kegelapan tahun 1126-1260 saka.

 

Setelah selama 44 tahun hidup  dalam kegelapan dan keprihatinan, maka muncul dalam prasasti yang berangka tahun 1182 Saka (1950M) menyebutkan nama Raja, yaitu Bhatara Parameswara Sri Hyang Ning.   Dijelaskan dalam prasasti tersebut bahwa Desa Kawista karena lama ditinggalkan penduduknya, maka wilayah Kawista telah menjadi hutan ditumbuhi oleh pohon besar sehingga menjadi persembunyian para perampok termasuk di dalamnya yang disebut Wong Bajo. Dengan keadaan yang demikian menghadaplah para sepuh Desa Bulian pada bulan April 1260 M kehadapan Sri Hyang Adidewa Lencana agar beliau berkenan menertibkan dan menata ulang lahan produktif di kawasan Kawista (Kubutambahan).

 

Berkenaan dengan kebijakan raja pada saat itu penduduk pesisir semakin lega dalam perjuangan untuk memenuhi kehidupannya baik yang menyangkut fisik maupun yang menyangkut kebutuhan rohani (spiritual). Gangguan mulai mereda, tata kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, pertanian tertata dengan baik melalui sistem persubakan, termasuk tempat pemujaan atau pelinggih Siwa di Kuta Banding telah terpelihara dengan baik. Pelinggih sederhana tersebut, yaitu pelinggih Siwa persis berada di punggung pulau Bali. Para tertua menyebut “enjung” (tanjung). 

 

Dalam jejak Pura Pasek Penegil Darma Kubutambahan dijelaskan bahwa tanjung utara pulau Bali dengan melihat kondisi tanahnya menunjukkan bahwa pada zaman dahulu lokasi tersebut terdapat sebuah leguna (danau yang berada dipinggir laut), merupakan muara sungai Pangkung Dalem, Pangkung Pastu, Tukad Gunting, Tukad Merangi dan Tukad Lempeduyang semuanya bermuara di pantai Kubutambahan. Hal ini berarti semua aliran sungai dari Pangkung Dalem Timur ditampung oleh danau di pinggir laut tersebut di atas (leguna).

 

Dalam buku sekilas tentang sejarah desa Bulian dijelaskan bahwa pada jaman dahulu pedagang laut dan para pendeta-pendeta yang membawa misi agama dapat masuk pulau Bali melalui pantai mana saja, karena mereka menggunakan perahu-perahu dan sampan kecil. Daerah Bali Utara (Buleleng), Sangsit (Pabean Sangsit), Kubutambahan dan Julah (Monografi Desa Bulian. Berkenaan dengan uraian di atas bahwa pelabuhan untuk Desa Kubutambahan (nama sekarang) adalah di Kuta Banding di Enjung Kubutambahan (Enjung sama dengan Tanjung).

 

Berkat usaha keras yang dilakukan oleh Raja Bhatara Parameswara akhirnya perekonomian pada masa itu cukup berkembang, hubungan perdagangan antar pulau, antar luar negeri cukup lancar antara lain hubungan dengan Sunda, Melayu, India, Mekah, Cina sehingga daerah Kawista cukup makmur. Terkait dengan kondisi perekonomian hubungan dagang sangat lancar maka pada suatu saat terkisah sebuah Bahtra (sebuah Perahu) dengan beberapa penumpang (awak kapal) dengan bermacam etnis (suku) bersandar di pantai Kuta Banding. Adapun tujuan perahu dagang (Bahtra) tersebut yaitu untuk mencari bahan-bahan dagangan disamping mencari kebutuhan konsumsi makanan, air dan yang sejenisnya. Awak kapal/perahu terdiri dari berbagai suku bangsa di antaranya, suku Cina, suku Melayu, suku Sunda, dan ada di antara mereka beragama Islam. Setelah mendapatkan kebutuhan (bahan dagangan dan konsumsi), maka awak kapal bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan ketempat tujuan, namun terjadi sebuah musibah secara serta merta perahu (bahtra) mengalami kebocoran sehingga tidak bisa berangkat. Kemudian para awak kapal dibantu oleh penduduk setempat berusaha memperbaiki kapal yang bocor, akan tetapi tidak berhasil.

                                                                                                 

Akibat dari hal tersebut, penduduk setempat mengajak awak kapal (perahu) beserta rombongan kapal untuk melakukan persembahyangan bersama di pelinggih (parahyangan) pesisir Kuta Banding untuk memohon kekuatan, bantuan serta mohon izin. Bila perjalanannya selamat dan usahanya ataupun karirnya sukses mereka berikrar atau sudi mengakui, percaya dan yakin serta ikut mengagungkan serta memelihara tempat yang disucikan untuk memuja kebesaran Shang Hyang Widhi  dengan Prabawa (manifestasi) sebagai siwa. 

Selama perahu kapal merapat di pelabuhan Kuta Banding dan sambil memperbaiki kebocoran kapal maka sempat pula awak kapal berkomunikasi relatif lama dengan para penduduk Kuta Banding, para nelayan, petani, dan pedagang. Mereka saling isi mengisi, tukar pengalaman atau  penduduk pesisir lebih banyak menyerap ilmu pengetahuan dari para awak kapal. 

Berdasarkan kesemuanya itu sebagai wujud terima kasih atas segala jasa baik berupa pengetahuan dagang, pengetahuan bertani, nelayan termasuk pengetahuan keprajuritan, maka atas dasar komitmen moral secara dibangunlah suatu monument peringatan (miniatur yang disucikan) berupa pelinggih-pelinggih sederhana. Pelinggih ini dilengkapi dengan suatu perwujudan sesuai dengan imajinasi masyarakat sesuai dengan undagiundaginya disamping pelinggih pokok, yaitu Dewa Siwa.

 

Dengan urain tersebut di atas terwujudlah bangunan suci (pura) dengan bermacam-macam bentuk pelinggih dan nama-nama dengan bermacam-macam etnis. misalnya Bhatara Ratu Gede Siwa Rambut Sedana (linggih pokok), Bhatara Sri Dwijendra Ratu Agung Dalem Mekah (Islam), Ratu Agung Syahbandar (Cina) merupakan dewa Pabean (pelabuhan), Ratu Agung Melayu (etnis Melayu), dan Ratu Bagus Nganten (Ratu Bagus Sundawan) dari etnis Sunda Jawa Barat.

Halaman tengah/madya mandala dari Pura Gambur Anglayang (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Berkenaan dengan hal tersebut di atas terwujudlah suatu Pura yang pada awalnya diberi nama Pura Pula Gara menjadi Pura Kerta Negara Loka atau Pura Negara Gambur Anglayang yang diperkirakan dibangun pada abad ke-13 M, sedangkan cikal bakalnya Pura tersebut semenjak abad 11 sudah ada, karena Desa Bulian atau Banyubuah yang wilayahnya terdiri dari Bulian, Kubutambahan, Sanih Barat diperkirakan 10 abad yang lalu telah terbentuk atau didirikan sebagai benteng pertahanan dan tempat tapa brata.

                                                             

Pura  Negara Gambur Anglayang dibagi menjadi tiga halaman yakni  jabaan atau nista mandala sebagai simbol bhur loka, jaba tengah atau madya mandala sebagai simbol bwah loka, jeroan atau utama mandala  sebagai simbol swah loka. Semakin ke dalam (atas) semakin suci halaman puranya. Di antara jeroan dengan jaba tengah dipisahkan oleh candi kurung atau kori agung. Sebelum sampai ke halaman dalam (jeroan) melalui kori agung, terlebih dahulu harus memasuki candi bentar, yakni pintu masuk pertama dari halaman luar (jabaan atau jaba pisan) ke halaman tengah (jaba tengah).

                                                                            

Halaman luar/nista mandala dari Pura Negara Gambur Anglayang terdiri dari Pelinggih Ratu Ayu Taman, Sumur Tirtha, Pelinggih Ratu Gede Mas Punggawa, Bale Kulkul, Candi Bentar. Halaman tengah/madya mandala dari Pura Negara Gambur Anglayang terdiri dari Bale Pebat, Bale Kulkul. Serta halaman/utama mandala dari Pura Negara Gambur Anglayang terdiri dari Bale Pesandekan Penghulu, Bale Banten Petandingan, Bale Piasan, Pelinggih Ratu Bagus Sundawan, Pelinggih Ratu Agung Melayu, Pelinggih Ratu Agung Syahbandar/Subandar, Pelinggih Ratu Pasek, Pelinggih Ratu Bhatara Sri, Pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah, Pelinggih Ratu Gede Siwa, Pelinggih Padmasana, Pelinggih Pucaking Tirtha, Pelinggih Ratu Ayu Mutering Jagat, Bale Piasan. Secara vertikal pelinggih di Pura Negara Gambur Anglayang mengacu pada konsep Triangga yang terdiri (kaki, badan, dan kepala).

                                                                          

Pura Negara Gambur Anglayang didirikan pada tahun 1260 atau abad ke-13 oleh penduduk sekitar pantai Kuta Banding pada masa pemerintahan Raja Bhatara Parameswara. Adapun Struktur dari Pura Negara Gambur Anglayang terdiri dari tiga halaman atau mandala yaitu Nista Mandala (jaba sisi), madya mandala (jaba tengah), dan utama mandala (jeroan). Secara vertikal pelinggih di Pura Negara Gambur Anglayang mengacu pada konsep Triangga yang terdiri (kaki, badan, dan kepala).