Tradisi Mekandal: Tradisi terakhir pernikahan yang paling terkahir di Desa Songan

Desa Songan di Kintamani, Bali, dikenal dengan prosesi Mekandel, sebuah upacara sakral yang wajib bagi pasangan pengantin baru. Dilaksanakan di Pura Bale Agung, pasangan tersebut melangkah di tangga pura tiga kali, menandakan kesiapan memasuki kehidupan baru. Mereka kemudian menjalani ritual Ngaturang Bakti Pekumel, disaksikan oleh pemangku dan keluarga, lalu menerima tirta pangresikan (air suci) untuk penyucian jiwa. Mekandel menghormati tradisi dan mempererat ikatan sosial.

Jan 2, 2025 - 08:21
Nov 12, 2024 - 21:52
Tradisi Mekandal: Tradisi terakhir pernikahan yang paling terkahir di Desa Songan
Proses Mekandal (Sumber foto: Koleksi Pribadi)

Desa Songan, yang terletak di daerah pegunungan Kintamani, Bangli, Bali, merupakan tempat yang kaya akan budaya dan tradisi Hindu yang unik. Salah satu tradisi paling mencolok yang dilakukan di sini adalah prosesi Mekandel, sebuah ritual sakral yang wajib dilaksanakan oleh pengantin baru. Prosesi ini tidak hanya menjadi momen penting bagi kedua mempelai, tetapi juga bagi seluruh masyarakat desa yang terlibat dalam pelaksanaannya. Melalui serangkaian upacara yang mendalam, Mekandel mencerminkan nilai-nilai spiritual dan sosial yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali. Ritual ini dimulai dengan persiapan yang melibatkan keluarga dan kerabat dekat, di mana mereka bekerja sama menyiapkan banten dan memilih lokasi pelaksanaan, biasanya di Pura Bale Agung. Suasana penuh harapan dan kebahagiaan menyelimuti desa saat hari pernikahan semakin dekat, dipandang sebagai pintu gerbang bagi pengantin untuk memasuki fase baru dalam hidup mereka, membangun keluarga, dan berkontribusi dalam masyarakat. Salah satu ritual penting dalam tradisi Mekandel adalah saat pengantin menginjakkan kaki sebanyak tiga kali di tangga candi, simbol kesiapan dan komitmen untuk menjalani kehidupan baru serta tantangan yang menyertainya. Proses ini melambangkan *ransisi dari satu tahap kehidupan ke tahap lainnya, di mana angka tiga memiliki makna mendalam dalam budaya Bali, melambangkan harmoni dan keseimbangan, serta pentingnya saling mendukung dalam pernikahan.

Suasana Persembahyangan di Pura Desa  (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Berdasarkan keterangan dari Bendesa Adat Desa Songan, pengantin memasuki pura melalui pintu kiri, yang dikenal sebagai "ngeranjing," dan keluar melalui pintu kanan yang disebut "medal." Proses ini memiliki makna simbolis, melambangkan perjalanan kehidupan baru yang penuh harapan. Dengan langkah pertama di dalam pura, pengantin diharapkan untuk melepaskan masa lalu dan siap menerima semua hal baru yang akan datang. Setelah pengantin menginjakkan kaki di tangga candi, mereka diperbolehkan masuk ke jeroan pura, yang merupakan bagian paling sakral dari tempat ibadah. Di sini, Upacara Ngaturang Bakti Pekumel dilaksanakan, di mana kedua mempelai disaksikan oleh kepala desa, kubayan, pemangku, serta anggota keluarga dari kedua belah pihak.

Momen ini menjadi sangat emosional dan sakral, di mana semua orang berkumpul untuk memberikan dukungan dan doa bagi pasangan yang baru menikah. Upacara ini dimulai dengan pembuatan tirta pangresikan, yaitu air suci yang memiliki makna penting dalam tradisi Bali. Tirta ini diambil dari sumber air suci dan diolah dengan doa serta pengharapan yang mendalam. Air suci ini kemudian diberikan kepada kedua mempelai sebagai simbol pembersihan dan penyucian jiwa. Melalui tirta pangresikan, pengantin dianggap telah dibersihkan dari segala kotoran dan siap untuk memulai kehidupan baru yang suci. Pemangku, yang merupakan pemimpin spiritual dalam upacara ini, juga menghaturkan sarana upakara yang melibatkan puja pangastawa, yang merupakan penghormatan kepada dewa-dewa dan leluhur. Selain itu, pemangku melaksanakan tradisi mekumel dan puja panyineban, yang berfungsi untuk memohon berkah dan perlindungan bagi kedua mempelai. Semua rangkaian ini dilakukan dengan penuh khidmat, menekankan pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Suasana Melakukan pengidihan di rumah Wanita (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Setelah pengantin menginjakkan kaki di tangga candi, mereka diperbolehkan masuk ke jeroan pura, yang merupakan bagian paling sakral dari tempat ibadah. Di sini, Upacara Ngaturang Bakti Pekumel dilaksanakan, di mana kedua mempelai disaksikan oleh kepala desa, kubayan, pemangku, serta anggota keluarga dari kedua belah pihak. Momen ini menjadi sangat emosional dan sakral, di mana semua orang berkumpul untuk memberikan dukungan dan doa bagi pasangan yang baru menikah.

Upacara ini dimulai dengan pembuatan tirta pangresikan, yaitu air suci yang memiliki makna penting dalam tradisi Bali. Tirta ini diambil dari sumber air suci dan diolah dengan doa serta pengharapan yang mendalam. Air suci ini kemudian diberikan kepada kedua mempelai sebagai simbol pembersihan dan penyucian jiwa. Melalui tirta pangresikan, pengantin dianggap telah dibersihkan dari segala kotoran dan siap untuk memulai kehidupan baru yang suci. Pemangku, yang merupakan pemimpin spiritual dalam upacara ini, juga menghaturkan sarana upakara yang melibatkan puja pangastawa, yang merupakan penghormatan kepada dewa-dewa dan leluhur. Selain itu, pemangku melaksanakan tradisi mekumel dan puja panyineban, yang berfungsi untuk memohon berkah dan perlindungan bagi kedua mempelai. Semua rangkaian ini dilakukan dengan penuh khidmat, menekankan pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Suasana melakukan tradisi Mekandal (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Sebagai penutup dari seluruh rangkaian upacara, pengantin wanita dan pria melakukan persembahyangan bersama tanpa pemangku, yang merupakan simbol bahwa mereka telah menjalani upacara Mekandel dengan baik dan kini dianggap suci untuk beribadah di pura desa. Momen ini sangat berkesan, karena menunjukkan bahwa mereka telah bersatu dalam ikatan suci dan siap untuk melanjutkan kehidupan baru bersama. Keunikan dari tradisi Mekandel juga terletak pada banten yang digunakan dalam upacara. Banten ini tidak hanya menjadi bagian dari persembahan, tetapi juga akan dibagikan kepada krama, atau warga desa, yang turut membantu dalam pelaksanaan kegiatan. Praktik ini dikenal dengan istilah "Ngejot," yang merupakan bentuk ungkapan syukur kepada masyarakat.

Hal ini menunjukkan rasa solidaritas dan kepedulian dalam komunitas, di mana setiap orang merasa memiliki peran dalam setiap momen penting dalam kehidupan orang lain. Setelah seluruh rangkaian upacara selesai, pengantin diwajibkan untuk mendaftar pada penyarikan, yang merupakan sekretaris desa adat. Mereka juga harus menghaturkan bakti penigasanaan dengan memberikan uang sebesar Rp 50 ribu. Proses ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga melambangkan pengakuan resmi mereka sebagai anggota desa adat yang baru. Setelah semua prosedur ini dilalui, kubayan akan mengumumkan kepada krama bahwa pengantin telah sah menjadi bagian dari masyarakat dan siap untuk menjalankan peran serta tanggung jawab yang telah ditentukan. Tradisi Mekandel di Desa Songan bukan hanya sekadar sebuah upacara pernikahan, tetapi juga merupakan perwujudan nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan keterikatan sosial yang mendalam. Ritual ini mengikat pasangan dalam ikatan suci, memperkuat jalinan sosial dalam masyarakat, dan menggambarkan betapa pentingnya peran adat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Mekandel tidak hanya merayakan cinta, tetapi juga menghormati tradisi dan komunitas yang menjadi fondasi kehidupan masyarakat Desa Songan.