Perang Plengkungan di Banjar Selat Tengah: Tradisi sebagai Pengingat Masa Lampau

Tradisi Perang Plengkungan adalah sebuah tarian sakral yang dipentaskan sebagai bagian dari upacara Matatagama. Tarian ini menggambarkan pertempuran simbolis yang melambangkan perjuangan leluhur dan diadakan pada piodalan di Pura Panataran setiap Sasih Kapat. Selain sebagai bentuk penghormatan, tarian ini juga menjadi simbol doa dan harapan untuk kesejahteraan serta pelestarian budaya.

Dec 9, 2024 - 18:30
Oct 21, 2024 - 23:18
Perang Plengkungan di Banjar Selat Tengah: Tradisi sebagai Pengingat Masa Lampau
Tradisi Perang Plengkungan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Perang Plengkungan di Banjar Selat Tengah: Tradisi sebagai Pengingat Masa Lampau

Banjar Selat Tengah, terletak di Desa Selat, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, merupakan lokasi yang kaya akan warisan budaya dan spiritual. Masyarakat setempat menjaga tradisi mereka dengan melaksanakan berbagai upacara sakral yang mencerminkan sejarah dan nilai-nilai leluhur. Di antara berbagai ritual tersebut, Upacara Matatagama menjadi sorotan utama, di mana masyarakat berkumpul untuk merayakan dan menghormati kekuatan alam dan spiritual yang diyakini menjaga keseimbangan kehidupan. Di tengah prosesi ini, puncaknya adalah pertunjukan Tari Perang Plengkungan, sebuah seni yang tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat akan makna dan simbolisme yang mendalam.

Upacara Matatagama (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Upacara Matatagama merupakan ritual keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Selat Tengah sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan kekuatan alam yang diyakini menjaga keseimbangan desa. Secara etimologi, "Matatagama" berasal dari kata "tata" yang berarti aturan dan "agama" yang bermakna ajaran atau doktrin, sehingga upacara ini merupakan perwujudan keyakinan yang dilaksanakan sesuai aturan tradisional. Upacara ini memainkan peran penting dalam menjaga harmoni spiritual antara manusia, leluhur, dan alam, serta memperkuat identitas budaya masyarakat setempat. Rangkaian upacara Matatagama dimulai dengan prosesi Nganyarin, yang melibatkan tarian perang simbolis, diikuti oleh berbagai persembahan seperti Canang Rebong dan Canang Pangraos. Puncaknya adalah Tari Perang Plengkungan, yang menggambarkan perlawanan simbolis terhadap kekuatan negatif, sekaligus menjadi sarana komunikasi spiritual dengan leluhur. Upacara ini menjadi fondasi penting dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Banjar Selat Tengah, yang terus dipertahankan sebagai warisan leluhur.

Pembuka Upacara dengan Ritual Simbolis (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Nganyarin merupakan ritual pembuka dalam upacara Matatagama, yang menyajikan berbagai pertunjukan perang simbolis sebagai bentuk penghormatan terhadap para dewa dan leluhur. Dalam ritual ini, tokoh Penyarikan sebagai Pemucuk Adat akan melakukan tarian dalam kondisi trance atau setengah sadar, yang melambangkan keterhubungan spiritualnya dengan alam gaib. Selama upacara Nganyarin, para Dulu yang berada di bawah naungan Penyarikan akan dipilih untuk melaksanakan tarian perang-perangan menggunakan sarana seperti sate, tombak, dan kober (bendera sakral). Pertunjukan ini mengandung makna simbolis, menciptakan gambaran pertempuran spiritual yang bertujuan menjaga keseimbangan antara alam fisik dan spiritual.

Upacara Nganyarin ini dilaksanakan dua kali, yaitu Nganyarin Puri Kanginan dan Nganyarin Puri Kawanan, yang mencerminkan keseimbangan antara dua arah puri yang berbeda. Setiap tahap Nganyarin memperkuat hubungan spiritual masyarakat Banjar Selat Tengah dengan leluhur serta kekuatan alam, menjadi wujud nyata dalam menjaga harmonisasi kehidupan mereka.

Tari Perang Plengkungan: Puncak Pertunjukan Sakral (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Setelah Nganyarin dilaksanakan, puncak dari rangkaian upacara Matatagama adalah Tari Perang Plengkungan, yang dipentaskan pada malam hari, biasanya tepat pada pukul 00.00 WITA, saat suasana diterangi oleh cahaya bulan dan minim pencahayaan buatan. Tarian ini menjadi sorotan utama karena tidak hanya menawarkan pertunjukan yang penuh makna simbolis, tetapi juga menyimpan kedalaman spiritual yang tinggi.

Tari Perang Plengkungan adalah tarian yang melambangkan perlawanan simbolis terhadap ancaman dan tantangan yang dihadapi leluhur pada masa lalu. Masyarakat Banjar Selat Tengah melihat tarian ini sebagai representasi dari kekuatan spiritual dan fisik yang diperlukan untuk melindungi desa dari kekuatan-kekuatan jahat, baik yang nyata maupun tak kasat mata. Dalam sejarahnya, tarian ini merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur yang telah berjasa menjaga ketentraman desa. Para penari, yang berasal dari kalangan krama Banjar Selat Tengah terutama dari kelompok ketekan Bale Agung, mempersiapkan diri secara ritual dan fisik untuk menjalankan tugas sakral ini.

Tari Perang Plengkungan selalu dipentaskan pada saat Ageng Puri Kawan, di mana malam hari dan cahaya bulan menjadi saksi bisu dari ritual suci ini. Minimnya cahaya buatan menciptakan suasana mistis yang menambah sakralitas pertunjukan. Masyarakat Banjar Selat Tengah meyakini bahwa pada saat itulah kekuatan-kekuatan spiritual hadir dan meresapi tarian ini, menjadikannya tidak hanya sebuah pertunjukan seni, tetapi juga sebuah prosesi pemurnian dan komunikasi spiritual dengan leluhur.

Simbolisme dan Persiapan dalam Upacara Matatagama

Sebelum upacara dimulai, masyarakat Banjar Selat Tengah menyiapkan berbagai sarana upacara yang memiliki makna simbolis dalam menjaga keseimbangan spiritual. Beberapa elemen penting dalam persiapan tersebut adalah:

Canang Rebong: Canang ini terbuat dari bunga gumitir berwarna kuning, yang dihiasi dengan bunga-bunga putih di atasnya. Canang ini dialasi dengan dulang dan sejenis kain taplak, dan dibuat dalam jumlah empat buah. Simbol ini digunakan sebagai persembahan untuk para leluhur dan dewa, mewakili kesucian dan keseimbangan spiritual. Persembahan ini ditujukan kepada para leluhur dan dewa-dewa, menjadi simbol harmoni antara dunia manusia dan kekuatan ilahi, sebuah penghormatan yang mendalam terhadap kehidupan dan alam semesta yang lebih luas.

Canang Rebong (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Karangan Kawisan: Karangan dan kawisan dibungkus dengan daun pisang dan dihiasi dengan bunga pucuk bang di bagian atasnya. Bunga ini nantinya akan digunakan saat prosesi puncak berlangsung, menandakan kesucian dan penghormatan yang mendalam kepada kekuatan spiritual. Pada saat prosesi puncak, bunga pucuk bang ini memainkan peran penting sebagai penanda rasa hormat yang mendalam kepada kekuatan spiritual yang diagungkan dalam tradisi, memperkuat hubungan antara dunia fisik dan dunia rohani.

Karangan Kawisan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Canang Pangraos: Persembahan ini diletakkan di atas taledan dan berisi perlengkapan seperti tembakau, pinang, gambir, kapur, sirih, rokok, dan korek api. Di atasnya ditempatkan ceper berisi air cendana, bija, minyak wangi, dan bunga-bunga harum yang ditempatkan di sebuah tangkih. Canang Pangraos melambangkan komunikasi dengan dunia spiritual melalui persembahan rasa (pangraos). Tidak hanya dibuat dengan keindahan fisik, canang ini disiapkan dalam jumlah empat buah, yang masing-masing mewakili elemen penting dalam keseimbangan spiritual. Persembahan ini ditujukan kepada para leluhur dan dewa-dewa, menjadi simbol harmoni antara dunia manusia dan kekuatan ilahi, sebuah penghormatan yang mendalam terhadap kehidupan dan alam semesta yang lebih luas.

Canang Pangraos (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Setelah persiapan simbolik selesai, upacara dilanjutkan dengan prosesi penuh makna, diiringi doa dan musik tradisional yang menciptakan suasana sakral. Asap dupa membawa doa-doa kepada dewa dan leluhur, sementara persembahan canang ditempatkan di altar sebagai wujud rasa syukur. Prosesi ini mencerminkan keseimbangan spiritual antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Setiap simbol dalam upacara, seperti bunga, daun, dan air suci, memiliki makna filosofis yang mendalam, mewakili elemen penting dalam kehidupan. Pada puncaknya, doa terakhir dipanjatkan, mengajak semua yang hadir untuk merenungkan hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual.

Prosesi Upacara Matatagama

Prosesi upacara dimulai dengan berbagai tahapan yang memiliki fungsi sakral dan simbolik, yaitu:
1. Ngulkul: Prosesi dimulai dengan memukul kentongan sebagai pemberitahuan bahwa upacara akan dimulai.
2. Berpakaian (Mabulet Ginting): Peserta upacara mengenakan pakaian adat yang sesuai dengan tradisi.
3. Nangkil di Puri Kanginan dan Puri Kawanan: Sebagai bentuk penghormatan, para peserta upacara melakukan kunjungan spiritual ke dua arah puri yang berbeda, menandakan keseimbangan antara dua kekuatan spiritual utama.
4. Nunas Ceciren (Pamor): Permohonan untuk menerima berkah dan perlindungan spiritual.
5. Metek Malang dan Mapetek: Ini adalah bagian dari persiapan ritual sebelum peserta memasuki Bale Agung, tempat puncak upacara berlangsung.
6. Mencuci Tangan (Menggunakan Yeh Procot, Yeh Ning Wadah Beruk): Sebuah ritual pemurnian diri sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya.
7. Nunas Nasi (Nyaag), Nunas Tetabuhan (toya, tuak, arak), dan Nunas Lekesan: Persembahan ini dilakukan untuk memohon kesejahteraan, kelimpahan, dan kedamaian bagi seluruh masyarakat Banjar Selat Tengah.
8. Muspa (Mabunga Pucuk Bang): Ritual sembahyang menggunakan bunga pucuk bang, yang melambangkan permohonan doa kepada leluhur dan para dewa.
9. Nyiatang Canang Rebong, Sate Kelupak, dan Cadik Celeng: Persembahan-persembahan ini melambangkan berbagai aspek spiritual dan perlindungan yang dimohonkan dalam upacara.
10. Dulu Teben Maperang Menggunakan Tombak: Ini adalah bagian dari prosesi perang simbolis, di mana para peserta mengikuti Penyarikan untuk melakukan tarian perang-perangan sebagai simbol perjuangan spiritual melawan kekuatan negatif.
11. Nunas Tirta (Mabakti, Puput): Upacara diakhiri dengan pemurnian menggunakan air suci, yang melambangkan penutupan spiritual dari seluruh rangkaian upacara.

Setelah seluruh rangkaian prosesi selesai, Upacara Matatagama mencapai puncaknya dengan khidmat. Setiap tahapan tidak hanya sebagai penghormatan kepada leluhur dan dewa, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan alam fisik dan spiritual. Dengan mengikuti simbolisme yang diwariskan turun-temurun, masyarakat Banjar Selat Tengah percaya bahwa upacara ini memperkuat hubungan mereka dengan kekuatan suci yang melindungi desa.

Sakralitas yang Diterangi Cahaya Bulan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dengan seluruh rangkaian upacara yang diselenggarakan dengan penuh ketulusan, Upacara Matatagama dan tradisi Tari Perang Plengkungan di Banjar Selat Tengah menunjukkan betapa pentingnya hubungan masyarakat dengan leluhur mereka.  Setiap gerakan, simbol, dan komponen dalam tarian ini mencerminkan penghormatan dan pengabdian mereka kepada kekuatan-kekuatan alam yang telah menjaga keseimbangan desa. Sakralitas yang dijaga dengan ketat dari generasi ke generasi membuat tradisi ini tetap hidup, menjadi pilar penting dalam kehidupan spiritual dan budaya di Banjar Selat Tengah.

Melalui pelestarian tradisi ini, masyarakat Banjar Selat Tengah terus memperkuat warisan leluhur mereka, memastikan bahwa hubungan dengan alam, leluhur, dan dewa-dewa tetap terjaga. Tradisi yang penuh makna ini tidak hanya melambangkan perlawanan terhadap ancaman masa lalu, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat harmoni antara alam fisik dan spiritual. Dengan terus melestarikan upacara ini, masyarakat Banjar Selat Tengah berhasil menjaga keseimbangan dan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang mereka.