Vana Parva: Pengasingan para Pandawa
Vana Parva dalam Mahabharata menceritakan masa pembuangan Pandawa di hutan selama 12 tahun setelah kalah dalam permainan dadu melawan Duryodhana. Dalam buku ini, mereka menghadapi berbagai tantangan fisik dan spiritual, bertemu dengan orang bijak, serta belajar pelajaran hidup. Pandawa juga berusaha mencari kekuatan dan bimbingan untuk persiapan perang di masa depan.
Para Pandawa bepergi menuju hutan untuk menjalani pengasingan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Wanaparwa mengisahkan penderitaan para Pandawa dan Dewi Drupadi yang terpaksa menjalani pengasingan selama 12 tahun di hutan belantara akibat kekalahan Yudhistira dalam permainan dadu. Kehidupan mereka mengalami perubahan drastis, dari kemewahan istana menuju kerasnya kehidupan di hutan belantara. Kekalahan Yudhistira dalam permainan dadu menjadi bukti nyata bahwa tindakan impulsif dapat membawa konsekuensi yang sangat pahit. Seandainya Yudhistira lebih bijaksana dan berhati-hati, mungkin nasib mereka tidak akan berakhir sedemikian tragis.
Para Pandawa bertemu dengan Rsi Byasa (Sumber: Koleksi Pribadi)
Di tengah kesunyian hutan, para Pandawa bertemu dengan Resi Byasa, seorang maha resi yang bijaksana. Dengan penuh kerendahan hati, mereka memohon bimbingan spiritual dari sang resi. Resi Byasa, memahami penderitaan mereka, mhjengajarkan ajaran-ajaran luhur agama Hindu yang memberikan kekuatan batin dan ketenangan jiwa. Atas saran Resi Byasa, Arjuna, sang kesatria agung, memutuskan untuk melakukan tapa brata di puncak Gunung Himalaya yang suci. Ia berharap melalui tapa ini, ia akan memperoleh senjata sakti yang kelak membantunya dalam menegakkan kebenaran. Arjuna memilih Gunung Indrakila sebagai tempat pertapaannya, sebuah gunung yang konon sarat dengan kekuatan spiritual.
Namun, perjalanan spiritual Arjuna tidaklah mudah. Ia diuji oleh para apsari cantik jelita yang dipimpin oleh Supraba. Dengan segala rayuan dan pesonanya, para apsari berusaha menggoyahkan tekad Arjuna. Namun, Arjuna dengan teguh hati menolak segala godaan itu. Ia sadar bahwa kesaktian sejati bukanlah terletak pada kekuatan fisik, melainkan pada kekuatan spiritual yang kokoh.
Dengan menyamar sebagai seorang pendeta tua, Dewa Indra mendatangi Arjuna di tempat pertapaannya. Ia bertanya tentang tujuan Arjuna melakukan tapa. Dengan suara yang mantap, Arjuna menjawab bahwa ia ingin memperoleh kekuatan untuk melindungi rakyat dan membalas kejahatan para Kurawa. Terharu mendengar jawaban Arjuna, Dewa Indra menampakkan wujud aslinya yang agung. Sebagai penghargaan atas ketekunan dan kesucian hatinya, Dewa Indra menganugerahkan kepada Arjuna berbagai senjata sakti yang tiada tandingannya.
Dengan segala senjata sakti yang dianugerahkan Dewa Indra, semangat Arjuna semakin berkobar. Ia melanjutkan tapa brata dengan tekad yang bulat. Namun, ujian berat menanti. Untuk menguji kesabaran dan keteguhan hati Arjuna, Dewa Siwa mengirimkan seekor babi hutan raksasa. Dengan kekuatan dahsyatnya, babi hutan itu menyeruduk Gunung Indrakila hingga berguncang hebat. Getaran dahsyat itu membangunkan Arjuna dari samadhi.
Arjuna bersiap untuk memanah babi raksasa (Sumber: Koleksi Pribadi)
Marah melihat gangguan terhadap pertapaannya, Arjuna segera mengambil panah dan membidik babi hutan itu. Dengan satu tarikan napas, panah meluncur cepat menembus tubuh sang babi hutan. Namun, pada saat yang bersamaan, Dewa Siwa yang menyamar sebagai seorang pemburu juga melepaskan anak panahnya. Kedua anak panah sakti itu pun bersatu menembus tubuh babi hutan raksasa tersebut.
Pertempuran sengit pun pecah. Arjuna, dengan amarah membara, menghujani si pemburu dengan anak panah saktinya. Namun, setiap serangan yang dilancarkan Arjuna selalu dapat dihindari dengan mudah oleh si pemburu. Keduanya bertarung dengan sengit, memamerkan kepiawaian masing-masing dalam ilmu perang.
Ketika Arjuna merasa kelelahan dan mulai putus asa, si pemburu tiba-tiba menghilang. Dalam sekejap, sosok Dewa Siwa yang agung muncul di hadapan Arjuna. Cahaya kemilau memenuhi sekeliling mereka. Arjuna tersadar akan kesalahannya. Dengan penuh penyesalan, ia berlutut di hadapan Dewa Siwa dan memohon maaf atas perbuatannya. Dewa Siwa tersenyum lembut. "Wahai Arjuna, janganlah bersedih hati. Aku sangat mengagumi keberanianmu. Engkau telah menunjukkan bahwa seorang kesatria sejati tidak akan gentar menghadapi tantangan apapun, bahkan jika itu berarti melawan dewa sekalipun."
Sebagai tanda pengakuan atas keberanian dan kesetiaannya, Dewa Siwa menganugerahkan kepada Arjuna sebuah panah sakti bernama Pasupati. "Panah ini," ujar Dewa Siwa, "memiliki kekuatan yang maha dahsyat. Dengan panah ini, engkau dapat menaklukkan siapa pun dan apa pun yang menghalangimu." Arjuna menerima anugerah itu dengan penuh rasa syukur. Ia menyadari bahwa pertempuran dengan Dewa Siwa bukanlah sekadar pertarungan fisik, melainkan sebuah ujian untuk menguji keteguhan hati dan kesabarannya.
Para Kurawa yang sedang berselisih dengan para Gandharwa (Sumber: Koleksi Pribadi)
Suatu ketika, para Korawa menyelinap ke dalam hutan, berniat menggelar pesta meriah semata-mata untuk melukai hati para Pandawa. Namun, takdir berkehendak lain. Mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang gagah perkasa, dipimpin oleh Citrasena yang anggun. Dalam pertempuran sengit itu, Duryodana, sang panglima Korawa, tertangkap dalam jerat muslihat Citrasena.
Yudistira, sang sulung Pandawa, yang memiliki hati mulia, memerintahkan Bima dan Arjuna untuk segera membebaskan Duryodana. Dengan tegas, ia mengancam akan berangkat sendiri jika perintahnya tak digubris. Tak ingin sang kakak bertindak gegabah, Bima dan Arjuna pun bergegas menuju medan laga. Berkat keberanian dan kepandaian mereka, Duryodana berhasil diselamatkan.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan di hutan, terjadilah peristiwa yang mengguncang hati para Pandawa. Drupadi, sang istri tercinta, diculik oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana yang licik dan penuh dendam. Kemarahan membara membakar dada Bima dan Arjuna. Dengan sekuat tenaga, mereka mengejar dan berhasil menangkap Jayadrata. Keadilan nyaris tertegak, namun Yudistira, sang sulung, muncul dan memohon agar nyawa Jayadrata diselamatkan. Dengan berat hati, Bima dan Arjuna mengurungkan niat mereka.
Suatu ketika, saat tengah menjelajahi hutan, hati Dropadi terpesona oleh aroma semerbak bunga langka. Dengan penuh harap, ia meminta Bima untuk mencarikan bunga tersebut. Bima, dengan semangatnya yang membara, segera berangkat mencari. Setelah berjalan cukup jauh, ia tiba di kaki sebuah gunung yang menjulang tinggi. Di sana, terhamparlah pemandangan yang menakjubkan: seekor kera raksasa, tubuhnya berkilau bak emas, tengah tertidur pulas menghalangi jalannya.
Tak gentar, Bima mencoba membangunkan kera itu. Dengan suara menggelegar, ia berteriak sekuat tenaga. Namun, si kera hanya membuka satu matanya dengan malas, lalu berkata dengan suara berat, "Wahai manusia, mengapa engkau mengganggu ketenanganku? Aku sedang lelah dan ingin beristirahat. Engkau seharusnya mengerti bahwa setiap makhluk hidup berhak atas ketenangan."
"Kau ini makhluk bijaksana, sedangkan aku hanyalah seekor binatang," lanjut kera itu. "Seharusnya engkau, sebagai manusia yang lebih berakal budi, mampu bersikap belas kasih terhadap makhluk lain. Aku khawatir, engkau telah melupakan batas antara yang benar dan yang salah.
Amarah membara membakar dada Bima. Ia tak pernah diperlakukan semena-mena seperti ini. "Siapa kau, hai kera sombong!" teriaknya lantang. "Aku adalah Bima, seorang kesatria dari Kurusetra, putra Kunti dan Dewa Bayu! Beraninya kau menghalangiku?". Kera raksasa itu hanya tertawa remeh. "Aku hanyalah seekor kera biasa," ujarnya santai, "namun kau akan menyesal jika memaksaku." Bima semakin geram. "Jangan coba-coba meremehkanku!" bentaknya. "Minggirlah atau aku akan membuatmu menyesal!"
Kera itu tersenyum kecil. "Kau memang seorang kesatria yang gagah berani," pujinya. "Namun, ingatlah bahwa kekuatan sejati bukanlah hanya pada otot, tetapi juga pada hati. Bersikaplah lembut terhadap makhluk yang lebih lemah. Aku tidak bisa bergerak karena terluka. Jika kau ingin melanjutkan perjalanan, potong saja ekor ku.
Dengan penuh percaya diri, Bima menarik ekor kera itu dengan sekuat tenaga. Namun, betapa terkejutnya ia ketika ekor itu sama sekali tak tergoyahkan. Seolah-olah tertanam kuat di tanah. Dengan wajah memerah karena malu, Bima bertanya, "Maafkan aku, wahai makhluk sakti. Apakah engkau seorang Gandharva atau bahkan Dewa?"
Kera itu tersenyum misterius. "Aku adalah Hanuman, kakakmu yang kau sebut tadi," jawabnya. "Jalan yang kau lalui ini adalah jalan menuju dunia fana, tempat para Yaksha dan Rakshasa bersemayam. Sangat berbahaya bagi manusia untuk melewati tempat ini. Itulah sebabnya aku menghalangimu."
Hanuman melanjutkan, "Tidak ada seorang pun yang bisa melewati jalan ini dan tetap hidup. Namun, jika kau benar-benar menginginkan bunga Saugandhika, ikutilah aliran sungai yang mengalir di bawah sana. Di sana, kau akan menemukan bunga yang kau cari."
Di penghujung masa pembuangan yang panjang, Yudistira beserta keempat saudaranya, para Pandawa, tengah menapaki hutan belantara. Kebaikan hati mereka kembali teruji ketika mereka menjumpai seorang brahmana yang tengah dilanda kesedihan. Peralatan upacara suci sang brahmana tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Tanpa ragu, para Pandawa segera mengejar rusa itu.
Haus menyergap kelima Pandawa setelah pengejaran yang melelahkan. Yudistira kemudian menyuruh Sadewa untuk mencari sumber air. Khawatir akan keselamatan adiknya, Yudistira lalu memerintahkan Nakula, kemudian Arjuna, dan akhirnya Bima untuk menyusul. Namun, tak satu pun dari mereka yang kembali.
Dengan hati yang gundah gulana, Yudistira menyusuri hutan belantara. Akhirnya, ia menemukan keempat saudaranya tergeletak tak bernyawa di tepi sebuah telaga yang tenang. Seketika itu juga, muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai penguasa telaga tersebut. Dengan suara yang menggelegar, raksasa itu menceritakan bahwa para Pandawa tewas keracunan air telaganya karena menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit.
Tanpa ragu, Yudistira yang haus pun menghampiri telaga itu. Dengan tenang, ia meminta izin kepada raksasa tersebut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh raksasa, namun Yudistira berhasil menjawab semuanya dengan bijaksana. Takjub dengan kecerdasan Yudistira, raksasa itu mengakui kekalahannya. Namun, ia hanya bisa menghidupkan kembali satu orang saja.
Dihadapkan pada pilihan yang sulit, Yudistira memutuskan untuk menghidupkan kembali Nakula. Keputusan ini mengejutkan raksasa tersebut, karena Nakula adalah adik tiri Yudistira, lahir dari permaisuri yang berbeda. Namun, Yudistira menjelaskan, "Aku harus berlaku adil. Ayahku, Pandu, memiliki dua permaisuri. Karena aku lahir dari Kunti, maka sudah sepantasnya aku menghidupkan kembali putra dari Madri."
Tatapan raksasa itu terpaku pada Yudistira. Seolah-olah ia sedang menimbang-nimbang jawaban sang Pandawa. Tak lama kemudian, tubuh raksasa itu memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Perlahan-lahan, wujudnya berubah. Ia bukan lagi raksasa yang menakutkan, melainkan seorang dewa yang agung dengan wajah yang penuh kelembutan.
Para Pandawa yang dihidupkan kembali (Sumber: Koleksi Pribadi)
"Yudistira," ucap dewa itu dengan suara yang merdu, "kau telah lulus ujian-Ku. Keadilan dan ketulusanmu sungguh membuat-Ku kagum." Dewa itu menjelaskan bahwa ia adalah Dewa Dharma yang menyamar sebagai rusa liar dan raksasa untuk menguji keteguhan hati para Pandawa. "Berkat kebijaksanaanmu, tidak hanya Nakula yang akan Kuhidupkan kembali," lanjut Dewa Dharma. "Bima, Arjuna, dan Sadewa pun akan bangkit kembali." Seketika itu juga, tubuh keempat Pandawa memancarkan cahaya keemasan dan mereka pun hidup kembali.