Mejarag: Representasi Wujud Syukur dan Penolak Hama pada Masyarakat Agraris Desa Adat Sebatu

Bali merupakan tempat istimewa dengan keberagaman suku dan tradisi yang masih kental di pegang teguh oleh masyarakat. Salah satunya adalah tradisi Mejarag yang menggambarkan ekspresi rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Tradisi memang menjadi salah satu daya tarik pulau ini selain tempat wisatanya yang banyak sekali, Indonesia yang memiliki banyak suku dan keberagaman kebudayaan juga menjadikan tradisi di Bali sebagai daya tarik wisatwan asing, namun juga memikat wisata Nusantara.

Sep 9, 2023 - 06:19
Sep 9, 2023 - 09:03
Mejarag: Representasi Wujud Syukur dan Penolak Hama pada Masyarakat Agraris Desa Adat Sebatu

Perebutan (Mejarag) sarana upacara yang berisikan hasil panen pertanian dari krama subak (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)

Mejarag merupakan salah satu tradisi yang ada di Banjar Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali. Tradisi ini juga sering disebut dengan Karya Nuuh yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali di area Pura Desa dan Pura Puseh Desa Pakraman Sebatu, ketika sudah dua kali masa panen padi Yang menjadi patokan digelarnya Tradisi ritual Nuuh atau Mejarag ini adalah Tri Wara (Pasah, Beteng, Kajeng).

Seperti yang dikatakan Prajuru Banjar Sebatu, Tegallalang, Tradisi Mejarag ini antara lain adalah sarana upacara yang berisikan hasil bumi yang dihaturkan krama subak. Setelah selesai sembahyang di Utama Mandala Pura, barulah nanti akan dilakukan ritual Nuuh atau Mejarag. Sebelum diadakan tradisi ini, masyarakat di banjar Sebatu mempersembahkan sesajen berupa banten yang ditempatkan pada Nampan (sok kepe) yang berisi jajan-jajan khas nya seperti: jajan lempeng, jajan crorot, jajan buntilan dan juga jajan lapis. Bukan hanya jajan tetapi juga diisi dengan berbagai macam buah kemudian banten itu di suun ke pure desa Banjar Sebatu untuk dipersembahkan (Suun adalah istilah dari membawa banten yang diletakan di atas kepalanya untuk dihaturkan). Kemudian semua masyarakat nangkil (duduk) dan menyaksikan ritual yang pada saat itu ada sesorang laki-laki yang di upacarai oleh jro mangku ia dipilih menjadi tukang adur yang nantinya akan menjadi penjaga dari sesajen yang akan dijarag (direbut). Tukang adur (penjaga aturan yang disebut dengan banten) mengikuti perkataan dari jro mangku yang sedang membacakan mantra dari lontar, setelah selesai semua masyarakat melakukan persembahyangan.

Pembacaan mantra dari jro mangku yang diikuti oleh Tukang Adur (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)

Tidak sembarang orang bisa menjadi Tukang adur karena orang yang bisa hanyalah Orang tua (suami) yang mempunyai anak laki-laki dan perempuan saja yang dapat menjadi Tukang adur. Setelah persembahyangan selesai semua masyarakat bergegas ke Nista Mandala Pura untuk menyaksikan Tradisi Mejarag tersebut, kulkul pun dipukul dan semua anak-anak yang mengikuti tradisi sudah tidak memakai baju dan mereka bersorak kencang “Suryakin Ooeee, suryakin Ooeee, suryakin Ooeee, disini yang hanya dapat mengikuti tradisi hanya laki-laki saja. Bukan hanya itu,ketika laki-laki itu sudah melakukan upacara potong gigi (mesangih) tidak diperbolehkan mengikuti tradisi mejarag tersebut. Pasalnya, mereka yang belum upacara potong gigi dianggap masih memiliki taring. Mereka simbolik tikus yang sedang ingin memakan apa saja yang tumbuh di persawahan, terutama padi.

Anak-anak yang mengikuti kegiatan mejarag (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)

Setelah itu masyarakat menunggu orang yang menegen (membawa sesajen yang diletakan di atas pundak) sesajen tersebut dengan penuh hikmat.  Sesajen tersebut ditegen oleh empat orang, kemudian setelah itu Tukang Adur pun keluar ke jabe pura atau yang disebut dengan Nista Mandala pura (datang dari candi) dengan membawa tiga biji lidi yang diikat memakai benang Tridatu lidi itulah yang akan dipakai untuk nigtig (memukul) anak-anak yang akan Mejarag, kemudian ketika sesajen yang akan dijarag (direbutkan) telah berada di area Nista Mandala yang ditentukan maka anak-anak akan berlari, melompat dan berebut untuk mendapatkan sesajen itu, kemudian Tukang Adur pun memukul-mukul anak-anak itu dengan lidi sampai merah maupun keluar darah, itupun Tukang Adur memukul anak-anak diluar bawah sadar karena membaca mantra dari lontar dengan penuh penghayatan yang dibacakan oleh jro mangku. Banyak pertanyaan mengenai “Kenapa anak-anak merebutkan sesajen, dan setelah itu Tukang adur memukul anak-anak yang mengambil sesajen tersebut?” karena pada dasarnya tradisi ini mengisahkan tentang petani (Tukang Adur) yang menjaga lahan sawah padinya , kemudian padinya dimakan hama (anak-anak) sehingga petani mengusir hama dengan cara nigtig (memukul) hama tersebut.

Sesajen yang dibawa ke Nista Mandala (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)

Setelah aksi rebutan sarana upacara selesai, sisa sarana upacara dibawa ke sebelah barat pura. Kemudian, sarana berupa beras, nasi, dan daging yang tersisa katunas (dimohon) oleh krama subak untuk dilemparkan ke padi di sawahnya masing-masing, agar tumbuh dengan subur. Sedangkan sisa lidi yang sebelumnya dipakai nigtig (memukul) anak-anak, juga dihaturkan atau diberi krama subak untuk ditancapkan pada setiap ujung lahan persawahan. Ini dianggap sebagai penangkal hama secara niskala (nangluk merana). Dan disusul dengan ngelungsur banten (mengambil banten ke Utama Mandala pura). Makna dari Tradisi Mejarag adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas segala anugrah berupa kesuburan dan hasil melimpah dari hasil pertanian yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, serta memohon keselamatan dan perlindungan.