Barong Nong Nong Kling: Pratima Sakral di Pura Suwela yang Menjaga Desa Aan dari Wabah
Pura Suwela adalah salah satu tempat suci yang berada di Desa Aan, Klungkung memiliki pratima sakral yang diwariskan secara turun-temurun bernama Barong Nong-Nong Kling. Barong ini tidak hanya menjadi simbol kesenian tradisional, tetapi juga dipercaya memiliki kekuatan spiritual untuk melindungi Desa Aan dari wabah dan membawa kesejahteraan. Melalui pementasan pada hari-hari suci atau piodalan, Barong Nong-Nong Kling semakin memperkuat perannya sebagai penjaga harmoni dan keseimbangan di tengah masyarakat Desa Aan.

Pada kebudayaan agama Hindu Bali identik dengan keberadaan pura atau tempat suci. Setiap pura biasanya memiliki sebuah pratima atau arca yang disucikan atau dianggap sakral oleh masyrakat setempat. Pratima atau arca merupakan simbol "Dewa atau Ida Bhatara" biasanya berupa patung, gambar, atau simbol yang digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam ajaran Hindu, pratima bukanlah Tuhan itu sendiri, tetapi simbol atau manifestasi dari aspek-aspek Ketuhanan (Brahman) yang tidak terbatas. Pratima berfungsi sebagai pengingat bahwa Tuhan hadir di mana-mana, termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Ini menanamkan rasa kesadaran spiritual yang lebih mendalam. Pemujaan pratima telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Hindu selama berabad-abad. Ini juga mencerminkan warisan budaya dan nilai-nilai spiritual yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah pratima sakral yang berada di Pura Suwela yaitu Barong Nong Nong Kling.
Bale Penyimpenan Pratima Barong Nong-Nong Kling (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Pura Suwela sebuah tempat suci yang sarat makna, memiliki asal usul nama yang mencerminkan filosofi luhur. Namanya berasal dari kata 'Su' yang berarti baik, dan 'Wela' yang berarti hutan atau pegunungan yang indah. Pura ini terletak di Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Didirikan pada tahun 1580 oleh Jero Agung Pasek Gelgel Aan, Pura Suwela lahir dari perjalanan spiritual yang penuh makna. Dalam perjalanannya, Jero Agung Pasek Gelgel Aan menerima pawisik (wahyu) untuk menemukan pohon beringin kembar, yang menjadi petunjuk penting dalam pendirian pura ini. Pohon tersebut melambangkan keseimbangan, kekuatan, dan perlindungan, sehingga menjadikan Pura Suwela sebagai pusat spiritual masyarakat setempat. Di Pura Suwela, masyarakat memuja leluhur yang dikenal sebagai Ratu Lingsir, manifestasi dari Dewa Bhagawan Penyarikan atau Sang Hyang Pasupati, dewa yang melambangkan kekuatan dan keseimbangan alam semesta.
Piodalan di Pura Suwela dirayakan secara khusus pada Purnama Kapat, bulan keempat dalam kalender Bali dan hari raya Tumpek Landep, sebagai momen sakral untuk menghormati leluhur dan dewa yang bersemayam di pura. Keunikan Pura Suwela tidak hanya terletak pada nilai spiritualnya, tetapi juga keterkaitannya dengan kesenian tradisional khas Desa Aan, yaitu Barong Nong-Nong Kling. Kesenian ini lahir sebagai respons terhadap bencana yang melanda desa Aan pada masa lalu, memperkuat peran Pura Suwela sebagai pusat perlindungan dan pemulihan spiritual.
Area Utama Mandala Pura Suwela (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Menurut Purana, sejarahnya berawal pada tahun 1755, ketika Desa Aan tersebut dilanda wabah akibat gagal panen. Berdasarkan pawisik atau wahyu yang didapatkan, masyarakat menciptakan Barong Nong-Nong Kling untuk melaksanakan ritual Ngelawang, yaitu mengarak barong mengelilingi desa dengan diiringi gamelan. Ritual ini dipercaya berhasil mengusir bencana dan mengembalikan kesuburan desa. Keunikan kesenian ini terletak pada irama gamelan pengiringnya, yang menghasilkan bunyi khas "nong... nong... kling...". Selain itu, pertunjukan Barong Nong-Nong Kling memadukan musik, tari, dan drama, dengan lakon yang diambil dari kisah Ramayana, khususnya episode "Kerebut Kumbakarna". Meskipun dinamai "Barong", pertunjukan ini tidak menggunakan barong tradisional melainkan topeng karakter seperti Anoman, Sugriwa, Subali, dan Rahwana. Sebagai bagian dari tradisi Pura Suwela, Barong Nong-Nong Kling menjadi simbol perlindungan spiritual, tolak bala, dan keseimbangan alam. Kehadiran Barong Nong-Nong Kling di Pura Suwela menunjukkan keterpaduan antara ritual sakral dan seni pertunjukan, menjadikannya bagian penting dari identitas budaya Desa Aan. Hingga kini, pertunjukan ini terus dilestarikan sebagai warisan leluhur yang memperkuat hubungan spiritual masyarakat dengan alam dan tradisi.
Pertunjukan Pratima Barong Nong Nong Kling di Pura Suwela (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Pertunjukan Barong Nong Nong Kling diawali dengan proses nedunang yaitu mengeluarkan perlengkapan seperti topeng, kostum, dan alat tari lainnya dari tempat penyimpanannya. Setelah itu, para perempuan, khususnya ibu-ibu, mempersiapkan sarana upacara berupa sesajen (banten) yang mencakup aktivitas seperti merangkai jejahitan dan menyusun persembahan. Kemudian, diadakan persembahyangan bersama yang melibatkan warga desa, pemain, serta penabuh dari kelompok pengempon Pura Suwela. Persembahyangan ini dipimpin oleh pemangku pura dan bertujuan memohon berkah serta keselamatan selama pertunjukan berlangsung. Dalam rangkaian acara tersebut, persembahan sesajen (ngaturang banten) juga dilakukan sebagai bagian dari ritualnya. Pemangku atau orang suci yang memimpin ritual persembahyangan menggunakan campuran minuman tradisional seperti arak, brem, dan tuak, serta melengkapinya dengan dupa dan air suci (tirta). Setelah ritual selesai, para pemain Barong Nong Nong Kling mengenakan pakaian sesuai karakter mereka dan bergerak keluar dari ruang utama Pura Suwela menuju area halaman. Pertunjukan Barong Nong Nong Kling dilaksanakan oleh tujuh orang laki-laki dan berlangsung di area terbuka tanpa menggunakan panggung.
Bale Gong Pura Suwela (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Sebagai pratima sakral yang tumbuh dari tradisi dan kepercayaan masyarakat Desa Aan, Barong Nong-Nong Kling tidak hanya menjadi simbol perlindungan spiritual, tetapi juga warisan budaya yang melampaui generasi. Kehadirannya di Pura Suwela memperkuat harmoni antara manusia, alam, dan nilai-nilai leluhur yang terus dijaga. Melalui pementasan pada hari-hari suci seperti Galungan dan Kuningan, serta ritual Ngelawang yang melibatkan seluruh masyarakat, Barong Nong-Nong Kling membuktikan perannya sebagai penjaga keseimbangan, pengusir wabah, dan pembawa berkah. Di tengah modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga hubungan dengan alam dan spiritualitas, menjadikan Barong Nong Nong Kling lebih dari sekadar seni pertunjukan, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas Desa Aan.