Desa Tigawasa : Jejak Peninggalan Purba dan Keunikan Bali Aga di Pegunungan Buleleng

Tersembunyi di ketinggian pegunungan Banjar, Desa Tigawasa memikat dengan keajaiban alam dan kekayaan warisan purba Bali Aga. Dari batu muda hingga Megalitikum, desa ini merangkum sejarah hidup kelompok Balikuno, mengabadikan pesona alam dan warisan purba yang tak terlupakan. Menelusuri Tigawasa adalah sebuah petualangan ke dalam keindahan dan keunikan, meresapi sejarah dan budaya yang mengakar kuat dalam setiap jengkal tanahnya.

Sep 1, 2025 - 06:46
Aug 31, 2025 - 23:43
Desa Tigawasa : Jejak Peninggalan Purba dan Keunikan Bali Aga di Pegunungan Buleleng
Papan Batas Wilayah Desa Tigawasa (Sumber Photo : Koleksi Penulis)

Tigawasa merupakan salah satu desa Bali Aga yang berada di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Nama Tigawasa berasal dari tiga kata, yaitu "tiga," "was" yang berarti tempat, dan "sa" yang berarti satu. Sehingga, nama Tigawasa menggambarkan penggabungan tiga tempat menjadi satu. Ketiga tempat tersebut adalah Banjar Sanda, Banjar Pangussari, dan Banjar Kuum Munggah (Gunung Sari).

Desa Tigawasa terletak sekitar 19 kilometer di sebelah barat Kota Singaraja, mencapai Labuan Aji (Ramayana). Dari Labuan Aji (Ramayana), desa ini terletak sekitar 5 kilometer di sebelah selatan. Desa Tigawasa terletak di tanah landai pegunungan, dengan ketinggian antara 500 hingga 700 meter di atas permukaan laut.

Desa Tigawasa terdiri dari 9 Banjar dinas yakni Banjar Dauh Pura, Banjar Sanda, Banjar Pangussari, Banjar Wanasari, Banjar Congkang, Banjar Gunung Anyar, Banjar Dangin Pura, Banjar Umasedi, dan Banjar Konci. Uniknya, desa dinas dan desa adat Tigawasa ini dipimpin oleh satu orang yang sama atau dapat dikatakan Perbekel (Kepala Desa) langsung merangkap menjadi Bendesa (Kepala Desa Adat).

Asal usul Desa Tigawasa ini belum dapat dipastikan secara pasti, serta masih dalam tahap penyelidikan. Yang jelas, Desa Tigawasa tergolong sebagai Desa Purba (Bali Aga) karena banyak ditemukan peninggalan kepurbakalaan.

Di beberapa tempat di Desa Tigawasa ditemukan artefak-artefak peninggalan manusia zaman purba. Diperkirakan manusia telah mendiami tempat tersebut sejak zaman batu muda  (Mulethicum). Hal ini dibuktikan oleh adanya kapak batu halus di berbagai tempat. Kapak batu tersebut memiliki warna hitam kelabu dan putih yangmana masyarakat Desa Tigawasa menyebutnya “gigin kilap” serta dianggap sebagai batu yang bertuah. Masyarakat setempat percaya bahwa batu ini dapat digunakan untuk merawat tanaman padi yang terkena hama penyakit dengan cara batu gigin kilap tersebut direndam air, lalu air rendamannya tersebut disebarkan pada tanaman padi yang terkena penyakit. Keyakinan ini diyakini dapat menyembuhkan penyakit tanaman, sehingga batu tersebut dianggap sakral. Selain itu, ditemukan juga lubang besar yang mana dianggap sebagai lubang raksasa (kini sudah tertimbun) semakin membuktikan bahwa wilayah tersebut sudah dihuni manusia pada zaman batu muda (Mulethicum). Hingga saat ini, daerah sekitar tempat tersebut dikenal dengan sebutan Songsasa (Sang Raksasa/lubang raksasa).

Sarkofagus (Sumber Photo : Koleksi Penulis)

Setelah era batu muda, masuklah zaman perunggu (Megalithicum), yang terbukti melalui penemuan artefak prasejarah di tiga lokasi, yaitu Gunung Sari (Kuum Munggah), Pangus, dan Wani (Sanda). Di Banjar Wani, ditemukan peti mati prasejarah (Sarkopah) dari batu cadas yang berisi tulang manusia, cincin, gelang perunggu, sepiral, manik-manik, besi tombak, dan periuk kecil. Di Banjar Wani, terdapat juga 12 palungan batu cadas di sungai Buah Dapet, tempat orang pada masa itu mencelup benang atau kain menggunakan getah gintungan. Pada periode tersebut, masyarakat sudah terampil dalam proses ngantih atau pembuatan benang dari kapas.

Di Banjar Pangus, terdapat 4 palungan dari batu cadas yang masih berisi air berwarna. Di sebelah barat Banjar Pangus, di Pura Sanghiyang, ditemukan selending berupa beberapa pasang gamelan dari perunggu yang dijaga sebagai benda sakral di Pura Pemulungan (Beagung). Tempat penemuan selending ini dinamai Sang Selending. Di Banjar Pangus, yang disebut Keroncongan, ditemukan keris dan besi kuning. Di sebelah tenggara Banjar Pangus, di Pura Pememan, terdapat 4 sendi dan tumpukan batu cadas yang merupakan menhir, serta terdapat tanah putih dengan goresan tulisan atau gambaran.

Di sebelah timur hutan Pememan, ialah Gunung Sari (Kuum Munggah), di mana terdapat Lingga Yoni yang juga disebut Taulan. Lingga Yoni menunjukkan simbol Predana-Purusa dalam aliran Siwaisme. Di sebelah udik Munduk Taulan, terdapat 4 peti (Sarkopah) yang berisi tulang atau abu manusia, sepiral, keris, cincin, gelang, manik-manik. Ada juga sebuah palungan tempat sapi hutan minum, serta keramik yang terserak dan sebuah arya Pandita sedang grana sika atau memuja.

Berdasarkan informasi dari Jawatan Purbakala yang melakukan penyelidikan dan pembongkaran Sarkopah, benda-benda tersebut diperkirakan berusia lebih dari 2000 tahun. Dalam Sarkopah tersebut, banyak ditemukan logam seperti perunggu, besi, emas, tembaga, manik-manik, dan benda lainnya yang dapat ditelusuri ke dalam budaya Dengsen, yang berasal dari Indocina (Tiongkok) dan tersebar di Indonesia.

Menurut catatan sejarah nenek moyang bangsa Indonesia, mereka bermula dari pegunungan Yaman di India Belakang Tiongkok Selatan, hingga akhirnya tiba dan menyebar di kepulauan Indonesia. Sebuah kelompok dari mereka sampai di Pulau Bali.

Di antara kelompok tersebut, ada sekelompok kecil yang menetap di Tigawasa, yang dikenal sebagai Balikuno. Mereka menetap di pegunungan, terutama di dekat mata air, sehingga mereka disebut Bali Aga yang secara harfiah berarti "Pegunungan". Artefak-artefak yang ditemukan oleh Jawatan Purbakala selama penyelidikan masih disimpan hingga saat ini di Gedung Jawatan Purbakala di Denpasar.

Tradisi Penguburan Mayat di Desa Tigawasa (Sumber Photo : Koleksi Penulis)

Tidak hanya banyak menyimpan sejarah, Desa Tigawasa juga sangatlah unik. Masyarakat setempat memiliki bahasa daerahnya sendiri yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dan hanya dikenal oleh penduduk setempat. Tigawasa juga memiliki kalender khusus untuk mengatur hari-hari upacara keagamaan, termasuk perayaan Nyepi adat dan upacara lainnya. Di sini, masyarakat tidak meyakini konsep hari baik dan hari buruk dalam konteks upacara pengabenan atau pemakaman. Jika ada yang meninggal maka harus dimakamkan dalam waktu 24 jam. Pengabenan disini juga cukup berbeda. Pada saat upacara pengabenan akan diiringi dengan nyanyian serta mayat tidak dibakar namun hanya dikubur.

Letak geografis Desa Tigawasa yang terletak tinggi di pegunungan menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Keindahan alam dan kelestarian lingkungannya tidak hanya terjaga, tetapi tradisi dan budaya di desa ini juga masih dilestarikan dan diwariskan secara turun-temurun.