Legenda Karang Memadu: Ketika Cinta Melampaui Hukum Adat

Masyarakat Desa Panglipuran sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan juga taat dengan aturan yang berlaku salah satu nya adalah Karang Memadu.

Sep 12, 2023 - 14:00
Sep 14, 2023 - 02:45
Legenda Karang Memadu: Ketika Cinta Melampaui Hukum Adat
Desa Penglipuran (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)

Desa Penglipuran merupakan salah satu desa adat dari Kabupaten Bangli,Provinsi Bali.Desa ini terkenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit  di bali dan juga merupakan peringkat tiga desa terbersih di dunia hal ini tidak luput dari masyarakatnya yang masih menjalankan dan juga melestarikan budaya tradisional bali dalam kehidupan sehari-hari. Menurut legenda setempat bahwa Desa Penglipuran merupakan hadiah dari Raja Bangli kepada masyarakat yang ikut melawan Kerajaan Gianyar pada masanya dan  mereka masih menerapkan hukum tradisional di masyarakat yang bernama awig – awig.

Kemampuan mempertahankan tradisi ini yang membuat Desa Penglipuran menjadi unik yang dimana mereka menjunjung tinggi adat istiadat dan juga niilai gotong royong kekeluargaan,kearifan lokal yang berlandaskan konsep Tri Hitha Karana. Desa Penglipuran masih mampu mempertahankan tradisi dan nilai luhur nenek moyang mereka. Salah satunya terlihat dari tata ruang desa yang terinspirasi dari Tri Mandala. Tri Mandala merupakan pembagian lahan menjadi tiga zona yang di mana berdasarkan nilai kesucian yang diturunkan, mulai dari utara hingga selatan. Di mana zona tersebut adalah zona utama mandala tempat untuk memuja Dewa Brahma dan yang kedua ada zona madya mandala dimana zona ini difungsikan sebagai pemungkiman penduduk dan zona nista mandala yang itu makam penduduk.

Karang Memadu (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)

Bagi Masyarakat Desa Penglipuran, Karang Memadu berstatus leteh (kotor). Karna Bahkan apa pun yang tumbuh di Karang Memadu dianggap sebagai sesuatu yang tidak suci. Sehingga hasil bumi seperti palawaija, sayur mayor, atau buah buahan dari tanah itu tidak bisa dihaturkan sebagai bahan upakara atau (Sesaji). Sampai saat ini, belum ada warga desa yang menghuni Karang Memadu.Sehingga tempat itu hanya berisi semak semak belukar. Menurut pemimpin Desa Penglipuran, dulu sempat ada seorang lelaki yang hamper ditempatkan di Karang Memadu karna memiliki istir lagi. Namun sanksi yang berat ini membuatnya jera sehingga ia memilih menceraikan istir pertamanya dan hidup dengan istri keduanya di luar Desa Penglipuran.

Salah satu warga pernah bercerita dimana ada seorang pria yang masih bersaudara jauh dengannya melanggar aturan tersebut.Pria ini menikah dengan seorang perempuan namun mereka tidak kunjung di karuniai seorang anak. Kemudian Pria tersebut menangkat adik istrinya sebagai istir kedua dan akhirnya mereka di karunia seorang anak. Sayangnya kedua istirnya sama sama tidak ingin di ceraikan, sehingga yang bersangkutan di Karang Memadu.

Menurut aturan, pihak Desa Adat Penglipuran yang akan membuatkan rumah spetak untuk pasangan yang berpoligami di Karang Memadu. Adalah Laki-Laki bersama istri-istri dan keturunanya dan mereka hanya boleh tinggal di sana. Saking tidak tahanya menghadapi hukuman tersebut Laki-Laki itu pun kabur dengan dua istirnya  meninggalkan Desa Penglipuran dan pindah ke Desa Cekeng di Kecamatan Susut sampai akhirnya salah satu dari istirnya bersedia diceraikan oleh sang lelaki.

Awig-Awig atau hukum adat yang mengatur sanksi masyarakat yang melakukan poligami tertuang dalam Awig-awig Desa Pekraman Penglipuran Tertanggal 19 Agustus 1989.Pada bab kelima Pawiwiwahan.

Aturan tersebut berbunyi, Krama Desa Adat Penglipuran tan kadadosang medue istri langkung ring asiki, yening wenten warga desa adat lanang/wadon ngemadung, keni pidande manut ring dresta. Yang memiliki arti, Warga Desa Adat penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu. Jika ada warga yang berani melakukan poligami, maka warga itu akan dikenakan hukuman atau sanksi adat sesuai dengan keputusan yang sudah tertuang di dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran.

Selanjtunya adalah kemampuan masyarakat Desa Penglipuran dalam mempertahankan tradisi dan juga terlihat dari huniannya. Sebagian besar perkarangan di desa ini dibangun dengan konsep tradisional. Ini terlihat dari penggunaan bambu sebagai material utama pembangunan.

Selain terkenal akan kebersihan dan keseragaman bangunannya di balik itu semua ternyata desa panglipuran memiliki aturan yang unik yang jarang di ketahui orang banyak dan salah satu adalah poligami. Kaum laki-laki tidak di perkenankan memiliki lebih dari 1 istri.Bagi mereka yang melanggar aturan tersebut akan di asingkan ke Karang Memadu yang berada di selatan rumah penduduk.

Karang Memadu memiliki arti yaitu “Karang” yang berarti Tempat dan “Memadu” yang berarti poligami sehingga karang memadu bisa di artikan sebagai tempat bagi orang yang melakukan poligami.Karang Memadu adalah lahan kosong seluas 9 x 21 meter yang terletak di bagian ujung selatan Desa Panglipuran.Karang Memadu merupakan lahan kosong pada umumnya.Hanya, Untuk menandai lahan tersebut dipasangkan sebuah papan yang bertuliskan Karang Memadu yang bertujuan untuk membatasi lahan biasa dengan lahan khusus itu.

Berikut merupakan proses yang terjadi ada orang yang melanggar awig – awig atau poligami di desa adat penglipuran adalah sebagai berikut :

 1. Proses penerapan sanksi yang pertama Memanggil pihak yang melakukan tindakan tersebut untuk melakukan mediasi dan memberikan yang bersangkutan pemahaman tentang sanksi Karang Memadu yang nantinya akan dikenakan kepada mereka yang melanggar aturan awing - awing desa.

2.   Proses penerapan sanksi yang kedua adalah karena pihak yang bersangkutan tetap bersihkeras akan pendirianya untuk tetap melakukan tindakan tersebut, maka pihak tersebut sudah siap menerima sanksi Karang Memadu.

3.  Proses penerapan yang ketiga adalah menetapkan keluarga tersebut yang melakukan tindakan poligami di Karang Memadu dan akan di biarkan seperti itu hingga turun temurun. 

Sanksi sosial yang diberikan juga cukup berat, salah satunya adalah tidak diizinkan melaksanakan upacara adat dengan masyarakat,dilarang memasuki pura mana pun di Desa Panglipuran, dilarang melintasi perempatan desa di bagian utara, dan juga dikucilkan oleh masyarakat.