Lontar Kala Tattwa: Filosofi Sang Kala dalam Harmoni Semesta

Lontar Kala Tattwa merupakan sebuah naskah suci dalam tradisi Hindu Bali yang sarat dengan ajaran siwaistik. Naskah ini memuat kisah kelahiran Sang Hyang Kala, sekaligus menjelaskan peranannya dalam tatanan kosmos. Di dalamnya, tidak hanya terdapat uraian mitologis tentang asal-usul dan perjalanan hidup Sang Hyang Kala, tetapi juga penjelasan filosofis yang mendalam mengenai makna dirinya sebagai simbol waktu, hukum karma, serta penjaga keseimbangan semesta. Dengan memadukan aspek naratif dan ajaran moral, Kala Tattwa menegaskan bahwa keberadaan Sang Hyang Kala bukan sekadar sosok menakutkan, melainkan manifestasi hukum kosmik yang mengingatkan manusia untuk selalu hidup sesuai dengan dharma, menjaga harmoni dengan alam, serta senantiasa menyadari keterikatan dirinya dengan siklus kehidupan.

Dec 27, 2025 - 06:51
Dec 6, 2025 - 11:24
Lontar Kala Tattwa: Filosofi Sang Kala dalam Harmoni Semesta
Konsep Filosofis Lontar Kala Tattwa, Ilustrasi AI (Sumber: Koleksi Pribadi)

Lontar Kala Tattwa bukan sekadar kisah mitologis, melainkan sebuah naskah siwaistik yang sarat dengan ajaran filosofis dan etika. Naskah ini tidak hanya menjelaskan asal-usul Sang Hyang Kala, tetapi juga menekankan perannya sebagai simbol waktu, hukum karma, dan keseimbangan kosmos. Melalui uraian yang bersifat kosmogonis, etis, hingga praktis, lontar ini memberikan pedoman hidup yang tetap relevan dalam kehidupan masyarakat Bali.

Menurut lontar, Sang Hyang Kala digambarkan lahir dari peristiwa antara Bhatara Siwa dan Dewi Uma di tepi pantai. Dikisahkan bahwa angin laut menyingkap kain Dewi Uma, yang kemudian membangkitkan hasrat Bhatara Siwa. Dari peristiwa itu, sperma Bhatara Siwa jatuh ke laut dan berubah menjadi cahaya menyilaukan. Energi tersebut ditangkap oleh Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu, lalu diwujudkan menjadi sosok raksasa yang disebut Sang Hyang Kala. Kehadiran tokoh ini dipahami sebagai simbol bahwa segala sesuatu, bahkan yang tampak tidak terduga, tetap memiliki tujuan dan makna kosmik.

Setelah kelahirannya, Sang Hyang Kala digambarkan mengalami kebingungan mengenai jati dirinya. Keberadaannya mengganggu para Dewa Nawa Sanga, namun mereka tidak mampu melukainya. Hal ini kemudian sampai kepada Bhatara Siwa, yang pada akhirnya menyatakan bahwa Sang Hyang Kala adalah putranya bersama Dewi Uma. Dari momen inilah Sang Hyang Kala diakui sebagai simbol waktu dan takdir, sekaligus diberi hak khusus untuk menjalankan peran dalam kosmos.

Dalam naskah disebutkan bahwa Bhatara Siwa memberikan kewenangan kepada Sang Hyang Kala untuk menegakkan hukum karma, yaitu menghukum yang bersalah dan melindungi yang benar. Ia juga diberi wewenang menjaga siklus kehidupan dan menumbuhkan makhluk hidup, sehingga keterkaitannya dengan alam semesta menjadi sangat kuat. Dewi Uma dalam wujud Bhatari Durga menugaskan Sang Hyang Kala bersemayam di Pura Dalem sebagai pelindung berbagai kekuatan gaib. Peran ini dikaitkan dengan upacara Bhuta Yajna, yang dipahami sebagai bentuk penjagaan hubungan manusia dengan kekuatan niskala.

Kelompok Orang yang Konon Menjadi 'Makanan' Kala, Ilustrasi AI ( Sumber: Koleksi Pribadi)

Lontar ini juga mencatat adanya daftar manusia yang disebut sebagai “makanan” Sang Hyang Kala, yaitu mereka yang tidur hingga sore, anak kecil yang menangis di malam hari, orang yang membaca kakawin di jalan, serta kelompok yang berkumpul di jalan. Daftar ini dipahami secara simbolis, bukan harfiah, melainkan sebagai bentuk ajaran moral. Pesan yang terkandung di dalamnya adalah bahwa perilaku menyimpang dari norma sosial dan spiritual akan mendatangkan konsekuensi. Dengan demikian, Sang Hyang Kala diposisikan sebagai penjaga etika dan moral umat manusia.

Selain itu, Bhatara Siwa memberikan hak tambahan kepada Sang Hyang Kala untuk mengambil jiwa pada Sasih Kasanga, terutama dari mereka yang melanggar dharma. Desa atau masyarakat yang mengalami kekotoran spiritual diyakini dapat diberi peringatan berupa penyakit maupun bencana. Untuk memulihkan keseimbangan, masyarakat diwajibkan melaksanakan upacara yajna, seperti Manusa Yajna, Bhuta Yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, dan Dewa Yajna. Rangkaian yajna ini dipahami sebagai sarana penebusan dosa sekaligus bentuk pemulihan harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan niskala.

Selain uraian kosmogonis, Lontar Kala Tattwa juga berisi petuah praktis yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Di dalamnya dijelaskan mengenai tanda-tanda penyakit, ramuan obat tradisional, hingga tanda orang yang akan meninggal. Ajaran inti seperti Canting Mas dan Siwer Mas juga disampaikan. Selain itu, lontar juga menegaskan pentingnya tirta (air suci) yang disiapkan oleh pendeta Siwa-Budha, karena tirta dipercaya sebagai penentu keberhasilan setiap ritual. Bagian ini menunjukkan bahwa lontar tidak hanya berbicara tentang mitos, tetapi juga mengajarkan keterkaitan antara spiritualitas, kesehatan, dan kehidupan sosial.

Kajian akademik menegaskan bahwa Lontar Kala Tattwa sarat dengan ajaran etika Hindu. Teks ini mengandung nilai-nilai seperti Sad Ripu (pengendalian enam musuh dalam diri manusia), Catur Guru (empat guru utama yang wajib dihormati), dan Tri Kaya Parisudha (kesucian pikiran, perkataan, dan perbuatan). Lontar juga menekankan pentingnya Panca Yajna sebagai wujud pengabdian kepada Tuhan, leluhur, sesama manusia, dan alam semesta. Dengan demikian, lontar ini tidak hanya menjadi pedoman ritual, tetapi juga berfungsi sebagai tuntunan moral yang membentuk budi pekerti luhur dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara keseluruhan, Lontar Kala Tattwa memadukan kosmologi, etika, dan filosofi dalam satu kesatuan. Sang Hyang Kala dipahami bukan sekadar sosok menakutkan, melainkan manifestasi dari hukum kosmik yang mengatur keseimbangan semesta. Naskah ini mengingatkan manusia agar senantiasa hidup selaras dengan dharma, menjaga keharmonisan dengan alam, serta menyeimbangkan hubungan dengan diri sendiri dan jagat raya.

Dengan demikian, Lontar Kala Tattwa dapat dipahami bukan hanya sebagai teks mitologis, melainkan sebagai warisan filosofis yang menekankan pentingnya keseimbangan kosmos. Sosok Sang Hyang Kala, yang semula digambarkan menyeramkan, justru berperan sebagai simbol waktu, hukum karma, dan pengingat moral bagi umat manusia. Melalui ajaran kosmogoni, etika, dan petuah praktis yang dikandungnya, lontar ini mengajarkan bagaimana manusia seharusnya hidup selaras dengan dharma, menjaga keharmonisan dengan alam, serta membangun hubungan yang seimbang dengan diri sendiri, sesama, dan semesta.