Maha Gotra Pasek Sapta Rsi: Trah Keturunan Pertama dan Terbesar di Bali
Ketika menjelajahi sejarah dan asal usul keturunan Pasek, kita memasuki dunia yang kaya akan warisan budaya dan spiritual. Ini adalah kisah tentang bagaimana beliau pertama kali tiba di Bali, serta memiliki makna dan nilai-nilai yang mendalam. Di samping itu, ini adalah tentang bagaimana Pasek menjadi gelar yang dihormati dalam berbagai bidang, menandakan otoritas dan identitas pemimpin dalam masyarakat Bali Aga. Namun, warisan mereka tak hanya tentang kepemimpinan; melalui perjalanan waktu, mereka meninggalkan warisan budaya dan spiritual yang mencakup penghormatan terhadap leluhur, penghargaan terhadap alam, dan tradisi suci yang masih dijunjung tinggi hingga saat ini.
Kompleks Pura Besakih, yang terletak dengan megah di lereng Gunung Agung di Pulau Bali, tidak hanya dikenal sebagai sebuah tempat pemujaan bagi para Dewa yang merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi juga mengandung kompleksitas spiritual yang melibatkan penghormatan terhadap leluhur yang telah suci yang dikenal sebagai Dewa Pitara. tempat pemujaan para leluhur-leluhur di Besakih disebut Pura Padharman. Pura Padharman, sebagaimana disebutkan sebelumnya, merupakan bagian integral dari kompleks ini yang dipersembahkan khusus untuk menghormati para leluhur yang sudah mencapai tahap Dewa Pitara. Dalam konteks Pura Padharman, salah satu lokasi yang umum adalah Pura Padharman Pasek.
Pura Padharman Pasek ( Sumber foto: Koleksi Pribadi)
Pura Padharman Pasek bukan sekadar tempat pemujaan biasa; ini adalah lokasi yang khusus dan sakral bagi komunitas warga Pasek. Komunitas ini telah membentuk sebuah lembaga yang dikenal sebagai Maha Gotra Sanak Sapta Resi, yang bertindak sebagai pilar utama dalam pengelolaan dan pengembangan Pura Padharman ini. Seiring berjalannya waktu dan dengan perubahan zaman, Pura Padharman Pasek telah mengalami transformasi yang luar biasa, dengan fungsi-fungsi yang semakin meluas untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman makna Pura Padharman Pasek, kita harus merenungkan perjalanan sejarah panjang yang membentuknya. Pura Padharman Pasek tidak hanya sebuah bangunan bersejarah, tetapi juga sebuah saksi bisu perjalanan spiritual dan budaya masyarakat Bali, khususnya masyarakat Pasek, selama berabad-abad.
Pada tahun Isaka 971 atau dalam kalender masehi tahun 1049, pada suatu hari Kamis Umanis Dunggulan, bumi Bali menyambut kedatangan seorang tokoh agung yang penuh berkah, yaitu Mpu Gnijaya. Beliau adalah salah satu bagian dalam Panca Tirta, kelompok yang dihormati dalam budaya Bali karena peran penting mereka dalam mewujudkan dan menjaga keseimbangan alam serta rohani di pulau ini.
Mpu Gnijaya, yang membanggakan silsilah keturunan yang mulia dari Bhagawanta, adalah putra sulung dari Danghyang Tanuhun. Kedatangannya ke Bali tidak hanya menjadi peristiwa biasa, melainkan puncak kebijaksanaan yang menghiasi riwayat pulau ini. Dia datang dengan maksud suci dan bermaksud untuk memberikan kontribusi besar bagi spiritualitas dan budaya Bali.
Setibanya di pulau Bali, Mpu Gnijaya memilih untuk berprahyangan di kaki gunung, yakni Gunung Lempuyang Madya. Di sana, dia menyelami keheningan alam yang mendalam dan berhubungan erat dengan para Dewa melalui meditasi dan upacara suci. Beliau bukanlah seorang tokoh yang berdiri sendiri, melainkan memiliki saudara-saudara seiman yang turut berperan dalam penyebaran ajaran dan nilai-nilai suci. Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah adalah saudara-saudaranya yang bersama-sama mendalami ajaran dan praktik spiritual.
Penting untuk mencatat bahwa Mpu Gnijaya memiliki peran sentral dalam menciptakan dasar spiritual yang akan membentuk keluarga besar Pasek di Bali. Dalam tindak lanjutnya, beliau menurunkan Sang Sapta Resi, sebuah kelompok terpilih yang terdiri dari tujuh pendeta yang dikenal sebagai penjaga ajaran suci dan perwujudan spiritual yang tinggi. Dengan demikian, keluarga besar Pasek lahir dari warisan spiritual yang mendalam yang ditinggalkan oleh Mpu Gnijaya.
Sejarah ini adalah pengantar yang mengungkapkan betapa pentingnya peran Mpu Gnijaya dalam membentuk spiritualitas Bali dan menciptakan warisan yang berkelanjutan bagi masyarakat Bali. Dengan penghormatan dan penghargaan, kita dapat terus merenungkan peran dan pengaruh beliau dalam budaya dan kehidupan spiritual Bali yang kita nikmati hingga saat ini.
Dikisahkan salah satu putra dari mpu Gnijaya, yaitu Mpu Dangka, menikah dengan putri Mpu Semedang. Dari pernikahan tersebut beliau memiliki seorang putra yang bernama Mpu Wiradangka. Mpu Wiradangka menikah dengan Dewi Sukerti. Dari pernikahan tersebut melahirkan tiga orang anak. Salah satu dari anak tersebut ialah, Sang Wiradangka. Dikisahkan Sang Wiradangka menikah dengan Ni Ayu Kamareka. Dari pernikahan beliau inilah yang menjadi asal muasal dari keturunan pasek. Sang Wiradangka sendiri memiliki keturunan, De Pasek Lurah Gaduh, De Pasek Lurah Ngukuhin, De Pasek Lurang Kadangkan dan Ni Rudani.
Setelah keturunan dari Sang Wiradangka lahir, istilah "Pasek" mulai dipakai orang-orang Bali Aga sebagai gelar atau jatidiri bagi seorang pemimpin. Mula-mula istilah itu dipasang untuk seorang yanng memegang pimpinan di dalam pemerintahan, kemudian dipakai setiap pemimpin dalam berbagai bidang. Dengan demikian, istilah "Pasek" bukan hanya sekadar sebuah kata, melainkan sebuah identitas yang mendalam dan berarti dalam kehidupan masyarakat Bali Aga. Dalam gelarnya terkandung penghormatan terhadap sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang kaya dan berharga bagi budaya Bali Aga.
kemudian terdapat pula pura untuk memyembah leluhur dari keturunan pasek itu sendiri, pura tersebut adalah pura pedarman pasek yang terletak pada kawasan pura Besakih. Dalam pandangan masyarakat bali yang merupakan keturunan dari pasek itu sendiri, Pura Pedarman Pasek adalah jembatan yang menghubungkan mereka dengan leluhur mereka, yang memberikan arahan, berkah, dan perlindungan. Ini adalah tempat di mana keturunan Pasek merasa terikat dengan akar budaya dan spiritual mereka yang dalam, dan tempat di mana mereka menjaga serta merayakan warisan tersebut untuk generasi selanjutnya.
Meru pura Pasek Punduk Dawa (Sumber foto: Koleksi Pribadi)
Kemudian terdapat pula, pura pasek munduk dawa. Pura ini memiliki peranan dan makna khusus, karena menjadi tempat pemujaan bagi Mpu Ghana, saudara seiman dari Mpu Gnijaya. Dalam masyarakat Bali, Pura Punduk Dawa menjadi titik fokus dalam menjaga dan merayakan kontribusi yang berharga dari tokoh spiritual seperti Mpu Ghana. Pura ini sendiri baru di bangun pada tahun 2016, yang di gagas oleh salah satu sulinggih yang cukup terkenal di kalangan umat Hindu di Bali, Ida Sinuhun .
Pohon pisang kaikik (Sumber foto: Koleksi Pribadi)
Adapula warisan budaya yang telah di tinggalkan oleh putra dari Sang Wiradangka itu sendiri yaitu De Pasek lurah ngukuhin, dimana di kisahkan saat putra beliau lahir di tengah hutan beralaskan daun pisang kaikik, sehinggga pohon pisang ini dianggap berjasa, maka pohon pisang ini sangat dihormati. Sampai sekarang bila ada masyarakat bali keturuan pasek ngukuhin yang meninggal maka mereka diberikan alas daun pisang kaikik saat dimandikan oleh warga banjarnya.