Matigtig: Tradisi Unik Desa Bebandem untuk Mengusir Wabah Penyakit dan Menjaga Keseimbangan Alam

Di Desa Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali, terdapat tradisi sakral bernama matigtig yang dilaksanakan sebagai upaya menolak wabah atau gerubug serta membersihkan batin masyarakat dari pengaruh negatif. Ritual ini diadakan setiap dua tahun sekali dan berlangsung di Jaba Pura Bale Agung, Banjar Desa Tengah, Desa Adat Bebandem.

Dec 21, 2024 - 11:00
Nov 12, 2024 - 12:30
Matigtig: Tradisi Unik Desa Bebandem untuk Mengusir Wabah Penyakit dan Menjaga Keseimbangan Alam
Tradisi Matigtig, Desa Bebandem, Karangasem (Sumber : Koleksi Pribadi)

Kata Matigtig berasal dari Bahasa Bali tigtig, yang berarti "memukul berturut-turut". Dalam ritual ini, para peserta yang terdiri dari pria berbagai usia saling berhadapan dan bergantian memukul punggung satu sama lain menggunakan papah biu atau pelepah pisang. Dalam prosesi ini, para peserta tidak mengenakan busana atasan, simbol kesederhanaan dan keterbukaan jiwa dalam menerima berkah ritual. Ritual ini dilakukan secara spontan, di mana peserta bebas memilih lawan selama proses berlangsung, namun tanpa ada rasa marah atau emosi negatif meskipun terkena pukulan.

Prosesi Tradisi Matigtig (Sumber : Koleksi Pribadi)

Tradisi ini dipercaya sebagai sarana spiritual untuk menetralisir “musuh” dalam diri manusia, seperti pengaruh negatif yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan batin. Menurut keyakinan warga setempat, matigtig membantu menghilangkan Tri mala (tiga kotoran jiwa), Sad ripu (enam musuh dalam diri), dan unsur-unsur negatif lain yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat. Selain itu, ritual ini dipercaya mampu membersihkan tubuh dari kotoran batin seperti kemarahan, kebencian, dan ketamakan.

Pelaksanaan Matigtig diawali dengan rangkaian upacara besar Mabiasa, yaitu ritual persembahan dan pembersihan yang melibatkan Ida Bhatara dari Desa Adat Bebandem dan Desa Adat Bugbug. Upacara ini bertujuan untuk mengelilingi desa agar wilayah Bebandem diberkahi kedamaian dan perlindungan. Setelah upacara ini selesai, barulah ritual Matigtig dilaksanakan, menunjukkan semangat gotong royong dan kebersamaan masyarakat.

Memar Pasca Prosesi Matigtig (Sumber : Koleksi Pribadi)

Setelah prosesi Matigtig selesai, para peserta biasanya terlihat dengan bekas-bekas pukulan di tubuh mereka, terutama pada bagian lengan dan punggung. Bekas pukulan ini adalah tanda fisik dari keterlibatan mereka dalam tradisi sakral yang penuh makna tersebut. Meski terlihat memar dan kemerahan, bekas ini justru menjadi simbol keberanian dan pengorbanan dalam melaksanakan ritual untuk membersihkan diri dari pengaruh negatif. Setelah prosesi selesai, mereka biasanya akan diolesi ramuan tradisional untuk meredakan nyeri dan membantu proses penyembuhan. Bekas-bekas pukulan tersebut dianggap sebagai bagian dari upaya mereka menjaga keseimbangan alam dan keselamatan desa dari marabahaya

Tidak hanya sekedar tradisi, Matigtig juga menjadi manifestasi semangat ksatria masyarakat Bebandem dalam menjaga keseimbangan alam. Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat desa tidak hanya peduli pada kebersihan fisik, tetapi juga kebersihan jiwa, sebagai cara untuk menjaga keharmonisan dengan alam dan menjauhkan desa dari marabahaya. Matigtig tidak hanya menjadi identitas budaya Bebandem, tetapi juga menjadi simbol kekuatan spiritual dalam menjaga keutuhan desa. Dengan melestarikan ritual ini, masyarakat Bebandem meyakini bahwa desa mereka akan selalu dilindungi dari bencana, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, sekaligus memperkokoh hubungan mereka dengan leluhur dan alam. Tradisi ini pun menjadi daya tarik budaya yang memperkaya pariwisata lokal, memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk menyaksikan kebersamaan dan kepercayaan kuat masyarakat Bali terhadap harmoni alam dan spiritualitas.

Momen Penuh Energi dalam Prosesi Matigtig (Sumber: Koleksi Pribadi)

Tradisi matigtig juga memiliki dimensi sosial yang mendalam, di mana partisipasi dalam ritual ini bukan hanya dianggap sebagai upaya individu untuk membersihkan diri dari pengaruh negatif, tetapi juga sebagai cara untuk memperkuat ikatan antaranggota komunitas. Selama prosesi, semangat kebersamaan dan saling mendukung sangat terasa, menciptakan suasana yang penuh kegembiraan dan keceriaan meski dilakukan dalam konteks sakral. Ritual ini menjadi momen bagi warga untuk bersatu, berbagi cerita, dan saling mengenal satu sama lain lebih dekat. Dengan adanya interaksi langsung yang terjadi selama matigtig, tradisi ini tidak hanya memperkuat nilai-nilai kebersamaan, tetapi juga mendorong solidaritas sosial yang tinggi di antara warga desa.

Seiring dengan perkembangan zaman, matigtig juga mulai menarik perhatian para wisatawan dan peneliti, yang ingin memahami lebih dalam tentang keunikan tradisi ini. Kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya lokal semakin meningkat, dan masyarakat Bebandem pun berupaya untuk mengenalkan tradisi matigtig sebagai bagian dari kekayaan warisan budaya Bali kepada dunia luar. Dengan cara ini, matigtig tidak hanya dipertahankan sebagai ritual sakral, tetapi juga sebagai daya tarik budaya yang dapat mendukung pariwisata berkelanjutan. Dengan harapan, pengalaman yang ditawarkan kepada para pengunjung dapat memperluas pemahaman tentang nilai-nilai spiritual dan sosial yang terkandung dalam tradisi ini, sekaligus menginspirasi generasi muda untuk terus menjaga dan melestarikan warisan budaya yang berharga ini.