Pancoran Taman Beji Cengana telah dikenal sejak lama sebagai tempat mencari kedamaian serta peristirahatan spiritual. Sejak zaman dahulu, tempat ini digunakan sebagai lokasi untuk melaksanakan kegiatan melukat, yaitu sebuah ritual pembersihan diri secara spiritual yang bertujuan untuk menghilangkan pengaruh negatif, penyakit, dan hal-hal buruk lainnya.
Dalam sejarahnya, Pancoran Taman Beji Cengana erat kaitannya dengan cerita rakyat dan tokoh-tokoh suci yang menjaga tempat tersebut. Menurut cerita dari warga lokal setempat, dahulu ada seorang tetua di Desa Darmasaba ingin membangun rumah dan mencari bahan bangunan, termasuk batu paras. Saat menggali di tepi sungai, ia tanpa sengaja menemukan sumber air suci (Tirta). Ia kemudian membuat pancoran menggunakan sebatang bambu.
Di masa itu, wilayah Darmasaba dipimpin oleh Ki Bendesa, yang gemar memancing dan memasang bubu di sungai. Setiap kali memeriksa bubu, ia selalu menemukan daun pandan menggantikan ikannya. Karena penasaran, Ki Bendesa mengintip dan melihat lima wanita cantik (Dedari) sedang mandi di pancoran. Ia mencuri salah satu selendang mereka dan menjadikan salah satu wanita itu sebagai istrinya.
Sejak menikahi wanita tersebut, Ki Bendesa menjadi kaya raya dan selalu dapat menjamu tamunya. Namun, sang istri memberikan satu pesan yaitu "jangan membuka tempat menanak nasi miliknya". Karena penasaran, Ki Bendesa melanggar larangan tersebut dan menemukan hanya sehelai padi dan bulu ayam di dalamnya. Setelah kejadian itu, kekayaan Ki Bendesa mulai hilang.
Selendang istrinya akhirnya ditemukan di bawah batu dan ketan hitam, dan sang istri memutuskan kembali ke surga. Sebelum pergi, ia berpesan kepada anaknya untuk mencarinya di sumur. Tragisnya, sang anak tercebur ke sumur dan meninggal. Sumur itu kemudian dijadikan pelinggih bernama Ratu Alit di Jeroan Mangku Dalem, Desa Adat Darmasaba.
Pura Taman Beji Cengana (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pancoran Taman Beji Cengana tidak hanya menonjolkan nilai spiritualnya, tetapi juga keindahan arsitektur dan alam di sekitarnya. Pura yang berada di sekitar area pancoran ini dibangun dengan gaya tradisional Bali yang kental, dengan ukiran batu dan patung-patung dewa yang menghiasi setiap sudutnya. Pura ini juga dikelilingi oleh pepohonan rindang dan tanaman hijau yang menciptakan suasana sejuk dan damai, sehingga para pengunjung dapat merasakan kedamaian batin saat bersembahyang atau sekadar duduk merenung.
Hampir setiap hari-hari suci tertentu, Pancoran Taman Beji Cengana dikunjungi oleh warga desa setempat maupun dari luar desa yang ingin melakukan ritual melukat. Prosesi ini dilakukan dengan mencuci wajah, kepala, dan tubuh di bawah pancuran air yang mengalir. Ritual melukat biasanya dipimpin oleh seorang pemangku (pemimpin upacara keagamaan) yang memberikan bimbingan spiritual selama proses berlangsung. Melukat dipercaya bisa membersihkan aura negatif, memberikan perlindungan dari gangguan spiritual, serta membawa ketenangan dan kedamaian batin bagi mereka yang melakukannya.
Keasrian dan Kedamaian Pancoran Taman Beji Cengana (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pancoran Taman Beji Cengana tidak hanya berfungsi sebagai tempat spiritual, tetapi juga merupakan bagian penting dari tradisi dan budaya Bali yang kaya. Di sini, ritual dan kepercayaan lokal dilestarikan oleh generasi ke generasi, menjadikan Pancoran Taman Beji Cengana sebagai warisan budaya yang hidup dan terus berkembang di tengah perubahan zaman.
Mengunjungi Pancoran Taman Beji Cengana menawarkan pengalaman yang lebih dari sekadar menjalani ritual. Pengunjung dapat merasakan harmoni yang mendalam antara manusia, alam, dan Tuhan, yang merupakan esensi dari spiritualitas Bali. Keberadaan Pancoran Taman Beji Cengana ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Bali tetap relevan dan dihargai oleh masyarakat, sekaligus menarik bagi siapa pun yang ingin menyelami kekayaan spiritual dan kultural pulau Dewata.