Pura Prapat Nunggal: Pura Unik yang Berada di Kawasan Konservasi Hutan Mangrove
Pulau Bali terkenal akan keindahan alamnya dan juga terkenal dengan banyaknya pura yang megah dan sakral yang tersebar di seluruh wilayahnya. Salah satunya adalah Pura Prapat Nunggal. Pura ini menyimpan cerita yang menarik dan unik di baliknya.
Pura Prapat Nunggal merupakan salah satu Pura Khayangan Jagat yang terletak di Kawasan Konservasi Hutan Mangrove Tahura (Taman Hutan Rakyat) Ngurah Rai, Jalan Pelabuhan Benoa, Kota Denpasar. Untuk mencapai lokasi pura ini, para umat yang ingin berkunjung untuk sembahyang masuk melalui jalan berkapur yang berada di sebelah barat pintu masuk Jalan Pelabuhan Benoa.
Pura yang keberadaannya dikelilingi oleh air payau ini dipercaya sebagai pelindung daratan dari lautan. Pura ini ramai didatangi oleh umat Hindu terutama saat hari raya suci. Tidak hanya umat Hindu yang berkunjung, umat Buddha dan Konghucu juga turut berkunjung untuk melakukan persembahyangan ke pura ini.
Selain bersembahyang, ramai umat yang melakukan upacara pembersihan diri atau yang biasa dikenal sebagai Penglukatan agar segala unsur tidak baik yang melekat di badan menjadi sirna. Jero Mangku (sebutan untuk seseorang yang melangsungkan upacara pada pura tersebut) menjelaskan bahwa jika ingin melakukan Penglukatan sebaiknya dilakukan pada hari raya Purnama, Tilem, dan juga Kajeng Kliwon tepatnya pada sore hari dan membawa sarana upacara berupa pejati.
Setiap hari raya Tilem sasih ketiga, akan dilaksanakan acara pujawali di Pura Prapat Nunggal. Pujawali adalah perayaan hari jadi suatu tempat suci yang bertujuan untuk meningkatkan Sradha dan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Terdapat empat Ida Bhatara/Bhatari yang melinggih atau bersemayam di Pura Prapat Nunggal, Ida Bhatara atau Bhatari yang dimaksud adalah Ida Bhatara Segara, Ida Bhatara Lingsir, Ida Bhatari Niang, dan Ida Bhatara Ratu Gede Mecaling. Keempat Ida Bhatara/Bhatari memiliki tempat melinggihnya masing-masing.
Sebelum memasuki Pura Prapat Nunggal kita diwajibkan untuk ngatur piuning atau menghaturkan sarana upacara pada pelinggih atau tempat pemujaan yang berada diluar pura. Setelah melakukan ngatur piuning, para umat yang hendak bersembahyang kemudian melanjutkan perjalanannya menuju pura melewati jembatan kayu yang dimana disepanjang jalannya dikelilingi oleh tumbuhan-tumbuhan mangrove. Pura Prapat Nunggal tetap mempertahankan suasana yang damai dan tenang karena lokasi dari pura ini yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Selain itu, pura ini juga memberikan tempat bagi orang-orang yang ingin merenung dan menghubungkan diri antara alam dan spiritualitas dirinya.
Persembahyangan pertama di mulai dari Pura Beji, yang dimana terdapat pelinggih Ida Kanjeng Ratu Kidul. Persembahyangan kedua dilanjutkan di Pelinggih Simpang Empat Maha Brahma atau Buddha Catur Muka. Pada persembahyangan kedua ini perlu menghaturkan sarana upacara di keempat sisinya yang dimana setiap sisinya memiliki tempat permohonannya masing-masing.
Pelinggih Simpang Empat Maha Brahma atau Buddha Catur Muka (Sumber Photo: Koleksi Redaksi)
Pada sisi kanan untuk memohon jodoh yang baik, pergaulan yang baik dimasyarakat, wibawa dalam kepemimpinan, masalah-masalah dalam perkawinan supaya cepat selesai, masalah dengan teman baik dan sebagainya. Pada sisi belakang untuk memohon rezeki dagang agar lancar, usaha berkembang, naik gaji dan pangkat, menang tender, kemakmuran, jual rumah, urusan utang-piutang, dan sebagainya. Pada sisi kiri untuk memohon yang baik, selamat di perjalanan, ujian lulus, kebijakan, mengusir segala kesialan dan kemalangan, dan sebagainya. Dan pada sisi depan untuk memohon kesehatan, ketentraman, kerukunan, damai, panjang umur, dijauhkan dari segala penyakit, marabahaya, dan kesembuhan untuk yang sakit. Dan persembahyangan terakhir, yaitu di bagian utama puranya dengan sarana upacara yang dihaturkan oleh Jero Mangku.
Keunikan dari proses berdirinya Pura Prapat Nunggal berawal dari seorang nelayan yang sedang mencari tangkapan laut. Di sebelah utara lokasi pura, nelayan tersebut melihat gundukan sebidang tanah di hutan mangrove benoa. Gundukan tanah yang kosong tidak ditumbuhi pohon ditengah hutan mangrove lalu nelayan tersebut menancapkan galah untuk tempat hasil tangkapannya, akan tetapi selalu gagal. Kemudian terjadi fenomena gaib. Konon, Ratu Bhatari Niang Sakti menunjukkan dirinya sebagai sosok wanita tua di hadapan nelayan tersebut saat itu. Sosok wanita tua itu lalu menyampaikan pesan agar dirinya segera dibuatkan “rumah” (pelinggih atau pura). Kejadian tersebut lalu diceritakan kepada tokoh adat Suwung, kemudian diadakan paruman yang juga dihadiri tokoh Parisada Hindu Bali, sehingga disepakati bahwa dilakukannya pembangunan pelinggih di tanah gundukkan didalam hutan mangrove tersebut. Pelinggih tersebut yang menjadi asal mula terbangunnya Pura Prapat Nunggal. Masyarakat sekitar juga mempercayai bahwa kawasan hutan mangrove diyakini terdapat banyak Rerencang atau prajurit Ratu Betari Niang Sakti yang menjaga hutan mangrove tersebut agar tidak mudah dirusak dan kelestariannya tetap terjaga.