Sagung Ayu Wah: Srikandi Tabanan, Pemimpin Perlawanan Penjajahan Belanda pada Balikan Wangaya
Dalam kisah heroik ini, kita menyaksikan perjuangan tak terlupakan Sagung Ayu Wah, seorang wanita pemberani dari kerajaan Tabanan, yang memimpin perlawanan sengit terhadap penjajahan Belanda pada awal abad ke-20. Setelah Kerajaan Badung jatuh ke tangan Belanda, Sagung Ayu Wah memimpin pengikut setianya ke desa Wangayagde untuk melarikan diri dan bersiap menghadapi perang. Dipimpin oleh semangat ksatria dan patriotisme yang menggebu, Sagung Ayu Wah memimpin rakyat Wangayagde melawan pasukan kolonial, menciptakan gerakan “Balikan Wangaya”. Meskipun menghadapi kekalahan fisik dan akhir tragis, perlawanan ini menegaskan bahwa seorang wanita seperti Sagung Ayu Wah dapat menjadi pemimpin pemberani, meninggalkan warisan perjuangan yang inspiratif bagi Bali dan generasi-generasi selanjutnya.
Dalam lembaran sejarah yang penuh perjuangan, salah satu bab yang tak terlupakan adalah kisah heroik Sagung Ayu Wah, seorang wanita pejuang dari kerajaan Tabanan yang memimpin perlawanan sengit melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-20.
Pada tanggal 20 September 1906, Kerajaan Badung jatuh ke tangan Belanda, dan pandangan pemerintah kolonial itu beralih ke kerajaan tetangganya, Tabanan. Serangan Belanda terhadap Tabanan dimulai pada tanggal 25 September 1906, menciptakan situasi genting di mana pasukan kolonial yang berkekuatan relatif kecil berhasil menguasai Tabanan tanpa banyak perlawanan.
Di tengah kekacauan itu, Sagung Ayu Wah, putri bungsu almarhum Raja Tabanan, bersama sejumlah pengikut setianya, memutuskan untuk melarikan diri. Tujuannya adalah mencari perlindungan dan bantuan di desa Wangayagde, di mana Kepala Desa Pasek Kubayan memberikan suaka dan tempat bersembunyi.
Sagung Ayu Wah, meskipun seorang perempuan, mewarisi semangat ksatria ayahnya. Dia tidak hanya memiliki keberanian untuk melawan penjajah, tetapi juga semangat patriotisme yang membakar di dalam jiwanya.
Desa Wangayagde, sebagai daerah otonom dalam kerajaan Tabanan, menunjukkan solidaritas yang tinggi dalam menghadapi penjajahan. Dipimpin oleh Sagung Ayu Wah, rakyat Wangayagde bersatu untuk membalas dendam dan melawan penjajahan Belanda. Inilah awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai “Balikan Wangaya”.
Pada bulan Desember 1906, pasukan Wangayagde bersiap untuk melancarkan perlawanan. Dengan bantuan Pasek Kubayan, mereka mempersiapkan diri secara matang. Serangan dimulai dengan semangat tinggi, tetapi mereka dihadang oleh pasukan Belanda yang siap tempur. Meskipun pasukan Wangayagde menggunakan pusaka-pusaka suci dari Pura Luhur Batukaru, mereka harus menghadapi tantangan besar.
Patung Sagung Wah (Sumber: Koleksi Pribadi)
Perjuangan sengit meletus, dan pasukan Wangayagde harus berhadapan dengan senjata modern milik pasukan Belanda. Sagung Ayu Wah, pahlawan perlawanan tersebut, berhasil ditangkap oleh pasukan kolonial dan diasingkan ke Pulau Lombok, di mana akhirnya ia meninggal dunia. Meskipun tragis, pengorbanan dan perlawanan yang ditunjukkan oleh Sagung Ayu Wah dan pasukan Wangayagde tetap menjadi inspirasi yang tak terlupakan.
Perlawanan Desa Wangayagde tidak hanya menggambarkan semangat perlawanan rakyat terhadap penjajahan, tetapi juga menunjukkan bahwa seorang wanita bisa menjadi pemimpin pemberani. Kisah Sagung Ayu Wah, meskipun diakhiri dengan pahit, menjadi bukti bahwa semangat perlawanan dapat membentuk jalan menuju kebebasan dan kehormatan.
Perlawanan Desa Wangayagde meninggalkan warisan perjuangan yang harus diabadikan. Para tokoh seperti Pasek Kubayan, Pan Renteh, Pan Tembeh, dan lainnya yang terlibat dalam perlawanan diasingkan atau bahkan meninggal dunia, namun semangat perlawanan tetap hidup. Desa Wangayagde, bersama dengan banyak desa lain di Bali, terus mengenang peristiwa tersebut sebagai bagian integral dari identitas dan sejarah mereka.
Kisah perlawanan Wangayagde di bawah pimpinan Sagung Ayu Wah adalah cerminan dari semangat perjuangan rakyat Bali melawan penjajahan Belanda. Meskipun menghadapi kekalahan fisik, warisan semangat perlawanan yang ditinggalkan oleh Sagung Ayu Wah dan pasukan Wangayagde tetap hidup dan memberikan inspirasi bagi generasi-generasi selanjutnya. Dengan mengingat kembali peristiwa tersebut, kita tidak hanya menghormati pahlawan-pahlawan tersebut, tetapi juga belajar dari mereka untuk menjaga dan mempertahankan kebebasan dan martabat tanah air kita.