Mekare-kare, Tradisi Unik Pertarungan Daun Pandan
Terdapat banyak sekali adat istiadat unik yang ada di Indonesia. Dan di Bali, terdapat salah satu tradisi ikonis yang selalu dilestarikan oleh masyarakatnya dan dinantikan oleh wisatawan domestik dan internasional. Tradisi ini berupa pertarungan menggunakan daun pandan dan perisai yang dibuat dari anyaman rotan. Tradisi ini bernama Mekare-kare atau dapat disebut juga sebagai Tradisi Mageret Pandan dari Desa Tenganan, Bali.
Tradisi Mekare-kare atau Mageret Pandan adalah sebuah tradisi pertarungan menggunakan daun pandan yang bertujuan sebagai persembahan untuk menghormati Dewa Indra sebagai Dewa Perang dan juga untuk para leluhur. Dewa Indra dikisahkan berperang melawan seorang raja keturunan raksasa bernama Maya Denawa yang melarang rakyatnya untuk percaya dan bersembahyang kepada Tuhan. Karena perlakuan yang tidak menyenangkan dari raja tersebut, membuat masyarakat memohon Dewa Indra untuk membebaskan mereka dari raja Maya Denawa. Oleh karena itu, untuk menghormati Dewa Indra, dilakukanlah tradisi Mekare-kare ini. Selain itu tradisi Mekare-kare ini juga merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yang merupakan upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.
Tradisi ini diadakan setiap tahun di bulan Juni, dan diadakan di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi ini dilaksanakan selama 2 hari dan dilaksanakan didepan balai pertemuan yang terdapat di halaman desa. Pada umumnya tradisi ini dilakukan pada pukul 2 sore.
Pertarungan dengan daun pandan (Sumber Photo : Koleksi Penulis)
Mekare-kare atau Mageret Pandan ini dilakukan dengan senjata berupa daun pandan yang sudah diikat sehinga membentuk seperti gada. Dan perisai yang digunakan terbuat dari anyaman rotan. Tradisi ini bersifat wajib untuk dilakukan oleh anak laki-laki yang mulai memasuki masa remaja hingga yang berumur dewasa. Warga-warga yang datang akan mengenakan pakaian adat khas desa Tenganan yaitu kain tenun Pegringsingan. Dan untuk para pria biasanya akan mengenakan saput atau selendang, kamen dan juga udeng tanpa mengenakan atasan atau telanjang dada.
Upacara Keliling Desa (Sumber Photo : Koleksi Penulis)
Sebelum memulai tradisi Mekare-kare, tradisi ini diawali dengan upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan dan kelancaran. Kemudian para peserta akan melakukan ritual minum tuak, dimana tuak akan dituangkan ke daun pisang dan para peserta pertarungan akan saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Yang pada akhirnya akan dikumpulkan dan dibuang ke samping panggung.
Penengah pertarungan pandan (Sumber Photo : Koleksi Penulis)
Saat Mekare-kare akan dimulai, akan ada seseorang sebagai penengah jalannya pertarungan ini yang biasanya akan dilakukan oleh pemimpin adat di Desa Tenganan. Sebagai penengah, ia akan memberikan aba-aba kepada peserta yang bersiap-siap dan juga sama layaknya sebagai wasit. Ketika penengah mengangkat tangannya, maka kedua peserta dapat saling menyerang. Peserta akan mencoba untuk merangkul dan memukul panggung lawannya sambil menggeret atau menggoresnya dengan pandan yang mereka gunakan. Peserta lain ikut memberi semangat sembari diiringi irama gamelan yang bertempo cepat. Ketika salah satu peserta jatuh, penengah akan memisahkan kedua peserta tersebut dan pertandingan dianggap selesai. Durasi pertarungan ini hanya berkisar 1 menit, dan dilakukan secara bergantian, sehingga seluruh rangkaian tradisi ini kurang lebih berdurasi 3 jam.
Pengobatan menggunakan kunyit (Sumber Photo : Koleksi Penulis)
Setelah selesai, para peserta yang mengalami luka gores dari pertarungan akan diberikan obat ramuan kunyit untuk menyembuhkan lukanya. Dan juga melakukan makan bersama yang disebut sebagai Megibung. Meskipun tradisi ini dilakukan dengan saling melukai satu sama lain, tidak ada yang merasa dendam atau marah dan tetap ceria karena tulus ikhlas dalam menjalani tradisi ini untuk menghormati Dewa Indra.