Dewa Yama: Dewa Kematian dan Penguasa Dunia Bawah
Menceritakan tentang kisah manusia pertama yang mengalami proses kematian. Dalam perjalanannya melewati dimensi antara hidup dan mati, Dewa Yama diangkat menjadi Penguasa Dunia Bawah yang memimpin alam kematian. Dengan menegakkan hukum karma manusia, Dewa Yama mengadili ruh-ruh manusia berdasarkan perbuatan mereka semasa hidup dan memberikan balasan yang setimpal.

Setiap budaya yang ada di dunia ini memiliki pembahasannya tersendiri mengenai kematian, baik dalam bentuk ritual, kepercayaan, maupun mitologi. Dalam agama Hindu, konsep kematian juga memiliki peran yang sangat penting, di mana hal tersebut diatur oleh sosok dewa yang khusus bertanggung jawab atas kematian dan kehidupan setelahnya. Dewa ini adalah Dewa Yama, yang dikenal sebagai Dewa Kematian.
Dewa Yama (Sumber: Koleksi Pribadi)
Yama juga dikenal dengan julukan ‘Dharmaraja’, yang berarti penguasa hukum atau keadilan. Julukan ini menggambarkan perannya dalam memberikan penghakiman dan pengadilan kepada roh-roh yang telah meninggal, dengan menghadiahkan mereka surga atau memberikan hukuman berupa neraka atau reinkarnasi, tergantung pada karma atau perbuatan mereka selama hidup. Sebagai Dewa Kematian, Yama berperan penting dalam menegakkan hukum karma, dengan menentukan nasib setiap roh berdasarkan tindakan yang mereka lakukan di dunia.
Dewa Yama merupakan manusia pertama yang mengalami proses kematian, dan dengan demikian, ia menjadi sosok yang membuka jalan menuju alam kematian. Karena itu, Dewa Yama diberi kehormatan dan tanggung jawab besar sebagai penguasa alam kematian, yang dikenal sebagai 'Yamaloka'.
Dewa Yama sebagai manusia pertama yang mengalami proses kematian (Sumber: Koleksi Pribadi)
Dalam menjalankan tugasnya sebagai penguasa alam kematian, Dewa Yama tidak bekerja sendirian, melainkan dibantu oleh beberapa asisten yang memiliki peran penting. Salah satu asistennya adalah Chitragupta, yang berperan sebagai penasihat sekaligus pencatat segala perbuatan manusia selama hidup di bumi. Chitragupta mencatat setiap tindakan baik dan buruk, yang nantinya akan menjadi dasar bagi Yama dalam memberikan keputusan di alam kematian.
Selain Chitragupta, Dewa Yama juga dibantu oleh para Yamaduta, yang merupakan utusan kematian. Yamaduta bertugas mengambil roh-roh manusia saat waktu kematian mereka tiba dan membawanya ke hadapan Yama untuk diadili. Dengan bantuan kedua asisten ini, Yama dapat menjalankan peran utamanya dalam menegakkan hukum karma dan menjaga keseimbangan alam semesta.
Dewa Yama memiliki dua ekor anjing. Setiap anjing ini memiliki empat mata yang melambangkan kewaspadaan dan penglihatan tajam terhadap setiap jiwa yang mendekati jalan menuju kediaman Yama. Selain itu, mereka juga digambarkan memiliki lubang hidung yang sangat besar, simbol kemampuan mereka untuk mengendus dan mendeteksi makhluk-makhluk yang telah mati. Kedua anjing ini bertugas menjaga jalan di sekitar kediaman Dewa Yama, memastikan bahwa roh-roh yang datang tidak dapat melarikan diri dan bahwa mereka mencapai Yamaloka untuk diadili oleh Yama sesuai dengan hukum karma.
Dewa Yama memiliki karakteristik berkulit gelap atau hitam yang menggambarkan simbol kematian. la mengendarai kerbau hitam yang membawa roh-roh ke dunia bawah, pasha (tali) yang digunakan untuk menarik roh-roh yang telah mati dan membawanya ke hadapannya untuk diadili. Selain itu, Dewa Yama juga menggunakan mahkota kekuasaan sebagai simbol statusnya sebagai raja dunia bawah serta memegang tongkat yang menandakan otoritasnya sebagai hakim bagi roh-roh.
Markandeya yang sedang bersembahyang di depan Siwalingga (Dokumen Pribadi)
Kisah tentang Dewa Yama tak luput dengan Kisah Markandeya, seorang resi yang sangat giat dalam melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa. Sejak lahir, Markandeya diramalkan akan memiliki waktu hidup hanya selama 16 tahun. Meskipun ramalan tersebut membuatnya merasa sedih, Markandeya tidak menyerah pada takdirnya. Sebaliknya, ia semakin giat dalam melakukan pemujaan kepada Dewa Siwa.
Setiap hari, ia duduk di depan lingga Siwa, berdoa dengan sepenuh hati dan mengucapkan mantra-mantra suci. Markandeya bertekad untuk menggunakan sisa hidupnya untuk pelayanan dan pengabdian yang tulus kepada Dewa Siwa, berharap bahwa melalui dedikasi dan keikhlasannya, ia dapat memperoleh berkah dan perlindungan dari sang dewa.
Tiba saatnya ketika Markandeya mencapai usia 16 tahun, waktu yang telah ditentukan oleh takdir. Pada momen itu, Dewa Yama, sang Dewa Kematian, datang untuk mengambil nyawa Markandeya sesuai dengan ramalan yang telah ditetapkan. Dewa Yama mendekati Markandeya dengan membawa Pasha, tali kematian yang digunakan untuk menangkap jiwa-jiwa yang telah meninggal.
Saat itu, Markandeya sedang dalam meditasi yang mendalam di depan lingga Siwa sama seperti hari-hari sebelumnya. Tanpa menghiraukan keadaan Markandeya, Dewa Yama menjalankan tugasnya dengan melemparkan tali Pasha untuk menangkap Markandeya. Namun, secara tidak sengaja, tali tersebut juga mengikat lingga Siwa yang disembah oleh Markandeya. Tindakan tersebut tidak hanya menjadi kesalahan fatal bagi Yama, tetapi juga membangkitkan kemarahan Dewa Siwa.
Bangkitnya kemarahan Dewa Siwa (Sumber: Koleksi Pribadi)
Kemudian, dalam momen yang penuh ketegangan, Dewa Siwa yang murka terhadap tindakan tersebut menginjak dada Dewa Yama sebagai bentuk perlindungannya terhadap Markandeya. Serangan tersebut membuat Dewa Yama meninggal untuk kedua kalinya. Dewa Yama mengalami kematian yang sama yang sebelumnya ia atur untuk orang lain. Sementara itu, Markandeya diberkahi dengan kehidupan abadi oleh Dewa Siwa.
Setelah meninggalnya Dewa Yama, bumi menjadi tidak seimbang. Tanpa adanya Dewa Yama yang menjalankan tugasnya untuk mengatur proses kematian, manusia tidak lagi merasa takut akan kematian dan hidup dalam keadaan abadi. Akibatnya, populasi di bumi semakin meningkat, menciptakan kepadatan yang tidak terkontrol bahkan menyebabkan kekacauan di dunia. Mereka mulai berbuat semena-mena tanpa takut perbuatannya akan tercatat dalam buku kehidupan dan mendapatkan karma.
Melihat keadaan yang semakin memburuk, Dewa Siwa, Dewa Wisnu, dan Brahma berkumpul untuk membahas situasi ini. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan yang dimana demi mengembalikan keseimbangan dunia, Dewa Yama harus dihidupkan kembali dari kematian dan menjalankan tugasnya sebagai pengatur kematian. Dengan demikian, Dewa Yama dihidupkan kembali dan diberi perintah untuk kembali menjalankan perannya, memastikan bahwa setiap jiwa yang meninggal diadili dengan adil, dan mengembalikan ketertiban dan keseimbangan di bumi
Dewa Yama mengajarkan kita pentingnya hidup dengan penuh kesadaran dan perilaku yang baik, karena setiap tindakan akan menghasilkan karma yang akan menentukan nasib kita di kehidupan selanjutnya.
Yama bukan hanya simbol kematian, tetapi juga pengingat akan nilai-nilai spiritual yang mendalam dalam tradisi Hindu.