Intaran: Pohon Mujarab Penuh Khasiat Beserta Mitologinya
“Alisne madon intaran” begitulah bunyi salah satu sesawangan yang kerap kali dilontarkan oleh masyarakat Bali. Intaran atau Mimba dalam Bahasa Indonesia memiliki makna yang mendalam di hati masyarakat, khususnya masyarakat Hindu di Bali. Tentunya tanaman Intaran tidak lepas dari mitologinya. Selain memiliki khasiat yang sangat mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit, tanaman obat tradisional ini juga digunakan dalam upacara sakral keagamaan, serta disebut sebagai rajanya pestisida organik.
Pernahkah kalian mendengar kalimat “Alisne madon intaran” yang sering dilontarkan oleh orang tua atau sekelompok masyarakat di Bali? Hal tersebut merupakan sebuah perumpamaan atau dalam bahasa Bali disebut sesawangan. Munculnya perumpaman tersebut bukanlah tanpa alasan. Perumpamaan tersebut biasa diucapkan untuk menunjukkan kekaguman terhadap bentuk alis seseorang. Benar, dalam agama Hindu daun intaran digunakan sebagai pralambang alis manusia karena memiliki bentuk bersirip atau bergerigi menyerupai alis manusia yang indah. Tidak hanya daunnya, sebagain besar bagian dari pohon intaran memiliki kekuatan tersembunyi yang masih jarang diketahui.
Dalam praktiknya, pohon intaran termasuk sebagai salah satu usadha Bali. Kata usadha berasal dari bahasa Sansekerta yakni “ausadha” yang berarti tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Namun, usadha Bali secara luas diartikan sebagai praktik atau tata cara pencegahan, pengobatan, dan pemulihan dari suatu penyakit, baik yang tampak (sekala) maupun yang tak tampak (niskala). Usadha Bali sendiri terbagi menjadi beberapa kategori, salah satunya adalah Usadha Taru Pramana. Usadha Taru Pramana lahir dari tapa seorang mpu yang terkenal yakni Mpu Kuturan. Karena kekhawatiran Mpu Kuturan akan wabah penyakit cakbyag (mati di tempat) pada kala itu, maka Mpu Kuturan melakukan pertapaan dan mendapatkan pawisik (petunjuk) dari Bhatari Durga, yakni berupa kemampuan mendengar suara-suara pohon di hutan yang menjelaskan manfaat dari pohon-pohon tersebut untuk penyembuhan berbagai macam penyakit. Dari sanalah lahir lontar Taru Pramana. Lontar ini merupakan jenis ilmu pengobatan yang mengandalkan metode herbal yang didalamnya berisi catatan tentang berbagai jenis tanaman obat herbal beserta fungsinya dalam pengobatan. Selain ramah lingkungan dan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem, tanaman obat tradisional tentu tidak akan banyak memiliki efek samping bagi kesehatan manusia dikemudian hari. Lontar Taru Pramana berisikan sekitar 202 tanaman obat mujarab, salah satunya adalah tanaman Intaran.
Tanaman Intaran atau di Indonesia dikenal dengan nama Mimba atau lebih dikenal lagi dengan nama Neem merupakan tanaman perdu yang pertama kali ditemukan di tanah Hindustani, India. Intaran dapat tumbuh subur di daerah tropis pada dataran rendah. Bahkan pohon intaran kerap kali ditemukan di pinggir jalan. Tanaman yang memiliki nama latin Azadirachta indica A. Juss. ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia sejak tahun 1500-an. Tanaman ini juga memiliki sejarah yang erat dengan presiden pertama RI yakni Ir. Soekarno. Karena khasiatnya yang beragam, pada tahun 1955 saat melaksanakan ibadah haji, Ir. Soekarno memberikan kenang-kenangan kepada pemerintah Kerajaan Arab Saudi berupa pohon mimba untuk ditanam di padang Arafah, Arab Saudi. Sejak saat itu, di negeri seribu satu malam tersebut, pohon mimba dikenal dengan sebutan pohon soekarno.
Pohon Intaran Tua (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)
Pohon intaran bisa mencapai ketinggian hingga 20 meter. Berkulit tebal, daunnya menyirip kasar, seragam, lonjong, dengan tepi bergerigi dan runcing. Buahnya berjenis buah berbiji dengan panjang kurang lebih 1 cm berbentuk agak lonjong. Buah intaran dihasilkan satu hingga dua kali dalam setahun. Bijinya ditutupi cangkang keras berwarna coklat dan di dalamnya terdapat kulit buah berwarna putih. Daun intaran tersusun dalam pola spiral dan menyatu pada ujung rantai membentuk daun majemuk. Di ujung tangkainya terdapat anak daun berjumlah genap 8 sampai 16 helai daun. Warna daunnya coklat kehijauan, daunnya agak melengkung, berbentuk sabit, simetris, dan panjang helaian daunnya yakni 5 cm, dengan lebarnya sekitar 3 cm hingga 4 cm.
Tanaman intaran secara garis besar memiliki tiga manfaat bagi masyarakat. Pertama intaran atau neem tentunya memiliki kegunaan utama sebagai pengobatan tradisional. Hampir semua bagian tanaman ini dapat digunakan dalam proses penyembuhan suatu penyakit. Secara ilmiah, daun intaran dari Taru Pramana ini, mengandung β-sitosterol, hyperoside, nimbolide, quercetin, quercitrin, rutin, azadirachtin dan nimbin. Beberapa diantaranya dianggap memiliki efek menekan aktivitas kanker. Pohon intaran mempunyai kegunaan yang beragam. Di India tanaman ini disebut “The Village Pharmacy”. Intaran digunakan untuk mengobati penyakit kulit, anti-inflamasi dan demam. Intaran memiliki sifat antibakteri, antivirus, antidiabetes, serta antikardiovaskular, (McCaleb, 1986). Neem juga digunakan untuk pengobatan hipertensi, obat cacing, dan bisul. Kulit batang atau kulit kayunya dapat diseduh, dan seduhannya digunakan sebagai obat malaria. Kulit kayu atau batangnya yang dipotong pada titik tertentu selama bertahun-tahun akan memproduksi cairan dalam jumlah besar. Di India cairan ini dapat diminum sebagai obat penyakit lambung. Daunnya sangat pahit dan digunakan sebagai pakan ternak di Madura. Rebusan daunnya dapat menambah nafsu makan, mengobati disentri, maag, serta malaria. Minyaknya digunakan untuk mengobati eksim, kepala kotor, kudis, parasit, hingga menghambat terjadinya perkembangbiakan bakteri. Kulit kayunya digunakan untuk Mengatasi sakit perut, menguatkan lambung dan menurunkan demam.
Bibit Pohon Intaran (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)
Beberapa resep pengobatan yang menggunakan pohon intaran yang kerap kali digunakan adalah resep untuk mengatasi disentri. Diperlukan sepertiga genggam daun mimba dan 2 batang mimba yang telah dicuci bersih dan dipotong-potong sebelumnya. Setelah itu, rebus kedua bagian pohon mimba tadi dengan 3 gelas air bersih hingga hanya tersisa 3/4 bagiannya. Dinginkan rebusan mimba tersebut, lalu saring dan tambahkan gula seperlunya. Ramuan ini dapat diminum 2 kali dalam sehari sebanyak 3/4 gelas. Untuk mengatasi eksim, 20 lembar daun mimba dicuci dan digiling halus, diremas dengan air kapur sirih seperlunya, kemudian ditempelkan pada kulit yang terkena eksim dan dibalut 2 kali sehari sebanyak yang diperlukan. Resep yang terakhir, daun intaran dapat digunakan untuk mengobati penyakit gila yang dibarengi dengan beberapa bahan obat lainnya seperti munggi, sesawi, dan teriketuka. Selanjutnya bahan-bahan tersebut diolah menjadi obat tetes (Pulasari, 2009).
Manfaat yang kedua sekaligus menjadi mitologi masyarakat Hindu di Bali adalah daun intaran digunakan sebagai pelengkap sarana upacara keagamaan yakni rangkaian upacara Pitra Yadnya. Dalam prosesi Mreteka Layon (memandikan mayat), umat Hindu meyakini bahwa dengan menggunakan lembaran daun intaran pada kedua sisi alis mayat yang sudah dimandikan, reinkarnasi dari layon tersebut kelak akan memiliki bentuk alis yang indah, melengkung tajam bak daun intaran. Penggunaan daun intaran pada prosesi ini dilakukan dengan meletakkan sehelai daun di masing-masing sisi alis, dimana ujung daunnya dihadapkan keluar, kesamping kanan dan kiri.
Prosesi Mreteka Layon (Sumber Photo : Koleksi Redaksi)
Tidak bisa dipungkiri, pestisida merupakan salah satu bahan yang dibutuhkan petani untuk memperoleh hasil panen yang bagus. Daun intaran juga dapat digunakan sebagai biopesticide (pestisida alami). Intaran dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dengan memadukan campuran bahan lain seperti: serai wangi, lengkuas, gadung, sabun dan alkohol. Intaran dikatakan sebagai rajanya pestisida organik karena mengandung bahan aktif azadirachtin (yang banyak terdapat pada bijinya). Meskipun pestisida alami dari intaran tidak langsung membunuh serangga sasaran (butuh waktu 7-10 hari) tetapi pestisida ini mempunyai efektifitas yang cukup tinggi dan berdampak spesifik terhadap organisme pengganggu.
Keanekaragaman hayati serta kebudayaan masyarakat Bali, khususnya dalam hal pengobatan yang sudah sejak dulu dimanfaatkan oleh nenek moyang kita sudah seharusnya terus dilestarikan. Dengan mengetahui betapa ajaib dan mujarabnya pohon intaran serta mempelajari makna filosofi dibaliknya, menjadi salah satu cara kita untuk terus melestarikannya. Pengetahuan obat tradisional bak perpustakaan yang sedang terbakar “Library on Fire” (Soedjito, 2005) karena pengetahuan obat tradisional dapat menjadi acuan penemuan obat baru di masa depan.