Pemberontakan I Gusti Agung Maruti: Perselisihan Tampaksiring dan Pejeng, hingga melibatkan Raja Gianyar
Tampaksiring merupakan kecamatan yang kaya akan destinasi wisata, pura, dan tempat indah lainnya. Selain memiliki banyak tempat wisata, di Kecamatan Tampaksiring juga terdapat sebuah desa yang menjadi pembatas antara Kecamatan Tampaksiring dan Kecamatan Pejeng, yang bernama Desa Sanding.
Desa Sanding merupakan desa yang terletak di tengah tengah Kecamatan Tampaksiring dan Kecamatan Pejeng, sekaligus menjadi pembatas antara dua Kecamatan itu. Desa Sanding sudah ada sejak zaman megalitikum dengan ditemukannya sarkofagus di Banjar Padangsigi, tulisan Bali kuno pada yoni yang tersimpan di Pura Puseh Desa Sanding yang terbaca angka tahun 1312 caka, dan juga berdasarkan kebaradaan arca yang tersimpan di Pura Masceti yang diperkiraka berasal dari masa Bali Madya.
Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir di gelgel, ada seorang tokoh yang bernama Bujangga Anglayang mengungsi ke Sanding. Di Desa Sanding Bujangga Anglayang menikah dan memiliki seorang putra yang bernama Bang Sanding yang akan menggantikan ayahnya menjadi dukuh di Desa Sanding. Bang Sanding memiliki empat orang putra, yaitu Sang Sanding, Dukuh Mayasan, Dukuh Mawang, dan Dukuh Dadapan. Desa Sanding mendapat serangan dari Kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Arya Kepakisan, Pasek Gelgel, Arya Kebon Tubuh, Arya Penatih. Untuk menghindar dari serangan tersebut seluruh penduduk Desa Sanding diungsikan ke berbagai daerah. Desa Sanding menjadi sepi, hanya ada anggota pasukan dari Raja Gelgel saja yang berjaga-jaga.
Tahun 1638 terjadi percobaan perebutan kekuasaan oleh I Gusti Agung Maruti (patih) dengan mencegat iring – iringan Dalem Dimade (Raja Gelgel) yang akan menuju ke Pura Besakih untuk sembahyang. Pasukan Raja tidak mampu untuk melawan balik karena pasukan I Gusti Agung Maruti amat banyak. Raja Gelgel berhasil di tangkap dan di sembunyikan di Desa Galiran. Mendengar bahwa Raja Gelgel di tahan oleh I Gusti Agung Maruti, Kerajaan Tabanan yang dipimpin oleh Ki Tabanan sepakat untuk membebaskan Raja Gelgel.
Pura Persimpangan Desa Sanding (Sumber : Koleksi Redaksi)
I Gusti Agung Maruti yang tahu akan di serang merasa tidak mampu untuk melakukan perlawanan dan tidak bisa untuk meneruskan cita – citanya. I Gusti Agung Maruti kemudian menghadap Raja untuk memohon ampunan atas perbuatannya dan meminta Raja untuk mengatakan tidak terjadi apa apa. Permohonan I Gusti Agung Maruti di penuhi oleh Raja Gelgel untuk menghindari pertumpahan darah. I Gusti Agung Maruti Kembali menjabat sebaga patih di Kerjaan Gelgel.
Sikap Raja Gelgel yang baik membuat para pejabat merasa kecewa terhadap Raja karena terlalu berlebihan kepada I Gusti Agung Maruti. Disamping itu kekecewaan para pejabat juga disebabkan oleh kebijakan Raja yang meberikan Keris Pusaka Ki Lobar kepada menantunya yang bernama Den Bencingah. Melihat lemahnya kepemimpinan Dalem Dimade membuat I Gusti Agung Maruti berbuat melebihi kekuasaan Raja dan melakukan pemberontakan.
Tahun 1651 pecahlah pemberontakan di Kerajaan Gelgel dibawah pimpinan I Gusti Agung Maruti. Istana Swecapura dikurung rapat-rapat dan tiap pintu dijaga dengan ketat. Dalam peperangan tersebut Dalem Dimade mengalami kekalahan. Dalem dimade beserta dua anaknya I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe menyelamatkan diri menuju Guliang. Dalem Dimade wafat di Guliang, dan setelah sekian lama menetap di Guliang, I Dewa Pemayun dan I Dewa Jambe berpisah. I Dewa Jambe pergi ke Sidemen Karangasem, dan I Dewa Pemayun pergi ke Bukit Tampaksiring. I Dewa Pemayun memiliki tiga putra, yaitu I Dewa Pemayun Putra (pindah ke Pejeng), I Dewa Pemayun Made (pindah ke Blahbatuh), dan I Dewa Pemayun Anom (pindah ke Tampaksiring).
Di Tampaksiring I Dewa Pemayun Anom meluaskan kekuasaannya sampai ke sebelah selatan Bukit (bekas desa yang ditinggalkan oleh para dukuh terdahulu) dan Kulub. Perluasan kekuasaan ini mengakibatkan perselisihan dengan kakaknya I Dewa Pemayun Putra yang berkuasa di Pejeng. Karena tidak kuat melawan kakaknya sendiri, I Dewa Pemayun Anom meminta perlindungan kepada Raja Gianyar untuk melerai pertikaian. Raja Gianyar I Dewa Manggis Api mengutus putra dan keponakannya untuk membuat sebuah benteng di wilayah perbatasan antara kedua wilayah Tampaksiring dengan Pejeng, yaitu Sanding. Batas benteng tersebut dari Pura Persimpangan Sanding Mancawarna sampai ke selatan sebelum Pura Desa Blusung.
Pura Desa Blusung (Sumber : Koleksi Redaksi)
I Dewa Pemayun Anom dijaga oleh empat orang pacek beserta pengiringnya. Tiga orang pacek berasal dari daerah Bitra dan ditempatkan di benteng timur yang diberikan nama Sanding Bitra. Pacek sebelah barat Sanding Bitra (tengah) berasal dari daerah Desa Seronggo Gianyar, tempat itu diberi nama Sanding Serongga, pacek paling barat berasal dari Desa Abianbase Gianyar dan diberi nama Sanding Abianbase. Pasukan dari Kerajaan Gianyar berangkat ke Sanding pada tahun 1854. Setelah perselisihan antara Tampaksiring dan Pejeng dapat diatasi, Raja Gianyar mengirim pacek atas nama Puri Gianyar yang ditempakatkan di Sanding Gianyar.